Mohon tunggu...
selamat martua
selamat martua Mohon Tunggu... Penulis - Marketer dan Penulis

Hobby: Menulis, membaca dan diskusi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Berdemo dan Sekolah Kehidupan

14 Oktober 2020   07:10 Diperbarui: 14 Oktober 2020   07:22 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Enggak ikutan demo?" Aku bertanya pada Putriku yang sedang menempuh Kuliah di Jurusan Bisnis Manajemen.

"Ngapain demo?" tanya balik Putriku.

"Demo, ngapain?" Aku mengulang karena kaget dengan jawabannya.

"Iya Ayah! Ngapain cape-cape demo!" Kata Putriku menjelaskan alasannya tidak berdemo.

"Lho demo itu khan asyik Kak!" si Bungsu yang anak SMK menyemangati.

"Apa Kamu enggak merasa ada manfaatnya demo?" Aku mencoba mengajak Putriku berpikir dari sudut pandang yang lain.

"Emmmm, ada sih," jawabnya ragu.

"Nah tuuuuh, ada khan manfaatnya. Udah demo sanaaaa!" Si Bungsu masih tetap jadi kompor.

"Menurutmu apa?" Kesempatanku untuk mengejar jawabannya.

"Yaaaa, Aku khan nanti bakal jadi Karyawan seperti Mereka juga, jadi Aku harus tahu bagaimana Perusahaan memperlakukan diriku kelak," jawabnya seolah-olah benar.

"Cuma itu?" Aku terus mencecar Putriku untuk lebih kritis.

"Terus, Aku juga harus tahu tentang Hak dan Kewajiban, sebagai Pegawai," jawabnya lugas.

"Jadi Kamu bersekolah hanya bermimpi untuk jadi pegawai?" Aku kembali menanyakan lebih tajam.

"Prioritas utamaku sih Jadi Karyawan yang sukses dan setelah itu baru deh berpikir jadi Pengusaha," Kata Putriku mencoba menjelaskan lebih detail.

"OK, Kita kembali ke topik awal. Kenapa Kamu enggak ikutan demo?"

"Aku punya cara lain untuk berjuang," Kata Putriku tegas.

"Berjuang? Emang jaman perang?" potong si Bungsu.

"Eiiiits, Anak SMK sebaiknya simak dulu yaaaa!" Aku mencoba meyakinkan si Bungsu.

"Seperti apa, contohnya!" sahutku melanjutkan pertanyaan yang belum selesai.

"Aku belajar di Kampus seperti ini juga sedang berjuang untuk kehidupan ke depan," Putriku menjelaskan alasannya.

"Hmmmm, good reason," jawabku singkat.

Begitulah Dialog pertama kali dengan Putriku di saat Ia berada di awal-awal menikmati bangku kuliah. Cara pandangnya yang sangat pragmatis saat itu, seakan memberi alarm kepada diriku agar terlibat dalam membantu dirinya memahami makna hidup. Aku tidak ingin Putriku termasuk Mahasiswi Kupu-Kupu (Kuliah-Pulang, Kuliah-Pulang) yang hanya asyik dengan Kampus dan lebih mengutamakan Intelectual Capital dibandingkan Psychological Capital dan Social Capital.

Bisa dibayangkan saat teknologi digital sudah masuk ke dalam aspek kehidupan, bila Mahasiswa tidak sensitif terhadap gejolak sosial yang ada, wuah bisa gawat niiih! Pikirku. 

Dalam diskusi, Aku secara halus memberikan tantangan pada dirinya untuk mengembangkan Psychological Capital dan Social Capital dengan banyak bergaul di dalam dan di luar Kampus. Aku lebih senang di saat Ia selesai nanti menceritakan seberapa besar jaringan pertemanan yang Ia miliki dibanding dengan hasil Kuliah yang ia capai.

Saat ini Putriku telah tiga tahun sebagai mahasiswa dan pilihannya untuk menekuni jurusan Bisnis Manajemen, ternyata tidak diikuti oleh si Bungsu. Karena Si Bungsu lebih memilih menjadi seorang Engineer dan Kuliah di Kota yang berbeda. Putriku selalu bercerita bagaimana suasana perkuliahan, keterlibatannya di Organisasi di luar maupun di dalam Kampus.  

"Maaf Ayah, Aku kayaknya butuh uang saku tambahan nih!" kata Putriku suatu hari.

"Wuah tumben nih Budget defisit," sahutku bercanda.

"Ia, Kami mau konferensi Internasional di Padang," kata Putriku melanjutkan.

"Konferensi Internasional?" tanyaku heran.

"Iya ayah. Aku kan udah jadi CeO di Organisasi Kami," katanya mengejutkan aku.

"Yang Ayah tahu Kamu kan masih Vice President. Terus kapan terpilih jadi CeO?" Aku melanjutkan keherananku.

"Sudah dua bulan Ayah. Aku berhasil meyakinkan Ceo Internasional dengan Program-programku," Putriku menjelaskan secara meyakinkan.

"Wuah Selamat yaaa, Kaget juga sih. Kok enggak ngasih tahu Ayah sebelumnya?" tanyaku penasaran.

"Pengen ngasih surprise, eeeh malah kelupaan," sahutnya.

Mulai saat itu, secara diam-diam Aku pantau kegiatannya. Aku tetap mengingatkan untuk menyelesaikan kuliahnya sebagai prioritas. Ada perubahan yang signifikan dalam dirinya setelah Ia menjabat sebagai CeO di Organiasi tersebut. Ia lebih proaktif menelepon diriku untuk diskusi tentang mimpi-mimpinya dan implementasi dari program yang sudah Ia canangkan.

Terkadang kalau sudah lelah, Ia akan curhat sampe pagi, tentang kerepotannya mengelola antara waktu di Organisasi, tugas kelompok di Kampus dan juga organisasi di dalam Kampus. Kalau sudah seperti ini, Aku biasanya hanya mendengar, menanyakan apa yang Ia inginkan dan mendiskusikan jalan terbaik menurut dirinya. Yah semacam Coaching lah.

Satu waktu tiba-tiba ia datang menemuiku di Kantor. Tanpa ada telepon maupun chat, Ia sudah menunggu di ruanganku dan terlihat sedikit gelisah Ia memutar-mutar Smartphonenya. Aku sengaja lewat pintu belakang, sehingga kedatanganku tidak Ia sadari. Aku menyapanya dan sambil terkejut, Ia mencoba menenangkan diri untuk mengutarakan niatnya.

Ternyata Lusa Ia harus terbang ke India, untuk memenuhi undangan sebagai pembicara dalam Konferensi Organisasi se-Asia Pasifik. Ia punya program memperkenalkan keberagaman Budaya Indonesia dan menawarkan Indonesia sebagai Tuan rumah pertukaran Mahasiswa. 

Mendengar hal ini tentu Aku jadi panik dibuatnya. Apakah sudah mengurus Visa, dan seperti apa persiapan yang sudah Ia lakukan. Ia mengatakan segala sesuatu yang diperlukan selama disana sudah Ia siapkan, termasuk akomodasi dan tim yang akan Ia temui. Ia hanya minta doa restu dan Rupee sebagai bekal selama di India.

Sesaat setelah pulang dari India, Aku masih penasaran tentang kegiatannya di Organisasi tersebut. Apakah hanya sekedar organisasi kemahasiswaan seperti Himpunan Mahasiswa atau seperti Badan Eksekutif mahasiswa. Ia menjelaskan secara lugas, bahwa organisasi Mereka seperti Perusahaan umumnya, yang memiliki produk dan sudah kerjasama sponsorship dengan beberapa perusahaan besar di Indonesia.

Sebagai CeO, Ia ditargetkan untuk mendapatkan Revenue dan juga memikirkan agar organisasi itu bisa tumbuh dan berkembang. Aku berfikir, bahwa organisasi mereka tidak bersentuhan dengan organisasi Kemahasiswaan di dalam Kampus. Ternyata dugaanku meleset, karena hubungan organisasi mereka dengan organisasi Kampus saling bersinergi untuk mempersiapkan mahasiswa yang siap menghadapi situasi saat ini dan mendatang.

Satu ketika, tiba-tiba Putriku mengabarkan Ia dan teman-teman sedang berada di Jakarta dan bergabung dengan mahasiswa se Pulau jawa. Karena Aku terbiasa mendapat proposal tentang penambahan Budget untuk ikut konferensi, maka Aku pikir Mereka sedang melakukan konferensi dan pulangnya akan mampir ke rumah sebelum kembali ke Kampusnya.

"Gimana konferensinya sayang, sukses?" tanyaku ke Putriku keesokan harinya.

"Kami enggak Konferensi Ayah!" Jawabnya sambil bersandar di kursi.

"Terus ngapain dong?" Kataku santai.

"Kami Demo!" katanya bak disambar geledek.

"Demo?" Aku bertanya seakan tidak percaya.

"Ia, kami Demo!" katanya mengulangi.

"Demo apa?" tanyaku penasaran.

"Lho Ayah enggak nonton TV?" balik Putriku bertanya.

"Wuaduh Nak, Kamu khan tahu ayah enggak punya waktu nonton TV," jawabku membela diri.

"Wuah Ayah ini gimana sih!" katanya agak kecewa.

"Iyaaaa, mau gimana lagi sayang, memang Ayah enggak suka nonton TV," kataku memberi alasan.

"Kami menuntut cara kerja Anggota Dewan yang kurang meyakinkan. Kami sudah ketemu dengan Ketuanya dan sudah kami sampaikan kekhawatiran kami tentang cara-cara Mereka berdemokrasi," Putriku menjelaskan Panjang lebar.

"Terus hikmah apa yang Kamu dapatkan dari Demo itu?" tanyaku melanjutkan.

"Aku sedang kuliah kehidupan. Aku merasakan perbedaan antara yang Kami pelajari dengan kenyataan yang Kami hadapi," Kata Putriku menjelaskan dengan meyakinkan.

"Kuliah Kehidupan? Apa bedanya dengan Kuliah di kampus?" tanyaku penasaran.

"Yaa bedalah Ayah. Kalau di kampus kami mendapatkan konsep dan teori yang berbasis pengalaman yang sudah terjadi, sedangkan kalau Kuliah kehidupan, kami langsung mendapatkan pengalaman yang sedang dan akan terjadi," katanya menjelaskan dengan semangat.

"Kok Ayah enggak ngerti" tanyaku berlagak bloon.

"Gini Ayah. Kalau kuliah di kampus belajar dulu baru ujian, sedangkan kalau Kuliah di kehidupan, diuji dulu baru dapat pelajaran," jawanya dengan cermat.

Situasi saat ini terbalik. Kalau di awal Aku mendukung Putriku untuk melakukan demonstrasi agar Ia mendapatkan hikmah sekolah di kehidupan. Saat ini aku justru mengingatkan, kalaupun ia ikutan berdemo, tetap memperhatikan protokol kesehatan dan keselamatan, sehingga terhindar dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Hari ini Ia pamit kepadaku untuk kembali ke lapangan dan akan berjuang dalam rangka membatalkan salah satu Peraturan yang sangat meresahkan Generasi Mereka di tahun-tahun mendatang. Ia bercerita dengan detail tentang skenario yang akan Mereka lakukan untuk dapat bertemu dengan Target dan mengantisipasi penyusupan dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

"Kami Tidak akan pulang Kalau tuntutan Kami belum dikabulkan," Kata putriku

"Wuaduuuuuuuhhhhhh!"

WFH, 14-10-2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun