Lina duduk di kursi mobilnya, memandangi mansion tua yang berdiri megah di hadapannya. Udara sore itu cukup dingin, dan bayangan bangunan tua itu terpantul samar di kaca mobil yang sedikit berkabut. Mansion tua yang sudah lama kosong, tapi pesona misteriusnya seolah memanggil-manggil dirinya. Ini bukan pemotretan biasa, ada sesuatu yang berbeda dari pekerjaannya kali ini.
"...tell me somethin' girl...are you happy in this modern world?...." suara dering handphone membuatnya tersentak. Sepenggal lagu yang dinyanyikan Lady Gaga dan Bradley Cooper berjudul Shallow.
"Lina, Kamu udah nyampe mana ?" tanya suara dari dalam handphone begitu tombol hijau yang terpampang digulirnya ke atas.
"Aku di sini, Ren," jawab Lina dengan suara bergetar. "Udah di depan mansionnya."
Reni, sahabatnya, terkekeh dari ujung telepon. "Syukurlah kalau gitu. Aku masih nggak habis pikir kamu mau-maunya terima job foto di tempat angker kayak gitu."
Lina tersenyum kecil, meskipun hatinya berdebar kencang. "Yah, apalagi kalau bukan duit, Ren? Lagipula, siapa tahu bisa jadi pengalaman seru."
"Kalau kamu ngerasa nggak nyaman, pulang aja, Lin. Masih banyak job foto di luar sana."
Lina tersenyum tipis, meskipun Reni tidak bisa melihatnya. "Ah, hari masih terlalu siang buat hantu berkeliaran. Lagi pula, kapan lagi bisa dapat job sekeren ini? Foto-foto mansion tua berhantu... bisa jadi karya seni yang ikonik."
Reni tertawa kecil di ujung telepon. "Kamu emang fotografer gila! Tapi aku yakin, kalau tiba-tiba kerasa ada yang nggak beres, kamu palingan bakal langsung kabur."
"Iya lah, ngabur aku secepat kilat," Lina setuju sambil tertawa pelan, meskipun hatinya dipenuhi kegelisahan.
Setelah beberapa kata penyemangat dari Reni, Lina akhirnya menutup telepon dan keluar dari mobil. Dia menarik nafas dalam-dalam, mencoba mengusir kegelisahannya. Kamera sudah siap di tangan, dan langkahnya membawa dia mendekati pintu kayu besar di depan mansion.
Mansion tua itu konon peninggalan seorang pengusaha kaya di masa kolonial, terletak di tepi hutan rimba di sebuah kawasan pedesaan. Dikelilingi oleh pepohonan tinggi dan semak-semak yang rimbun, bangunan ini berdiri megah dengan arsitektur kolonial yang megah, mencerminkan kejayaan dan kekayaan pemiliknya yang telah lama tiada. Dinding mansion yang dulunya mungkin putih bersih kini terlihat kusam dan pudar, dengan cat yang terkelupas di beberapa sudutnya, menandakan betapa lamanya bangunan ini ditinggalkan.
Atapnya yang tinggi, terbuat dari genteng merah tua, menambahkan kesan anggun dan klasik pada keseluruhan bangunan. Jendela-jendela besar berhiaskan tirai kuno yang berdebu, memberikan kesan bahwa setiap ruangan di dalamnya menyimpan rahasia dan kenangan yang terpendam. Halaman depan mansion dipenuhi dengan rumput liar yang tumbuh tinggi, seolah-olah alam berusaha merebut kembali apa yang pernah dimiliki, sementara jalan setapak berbatu yang sempit dan berliku mengarah ke pintu masuk utama, di mana gerbang besi berkarat berdiri angkuh, mengingatkan siapa pun yang mendekat akan kemewahan yang telah pudar.
Suara derit pintu tua yang terbuka perlahan membuat bulu kuduknya meremang. Di dalam, suasana suram menyambutnya. Lorong panjang dengan lantai kayu yang berderit setiap kali dia melangkah membuat suasana semakin mencekam. Debu tebal mengambang di udara, terpantul oleh cahaya tipis dari jendela yang retak-retak.
Saat Lina melangkah ke dalam mansion, hawa sejuk menyentuh kulitnya, dan bau lembap serta dedaunan busuk menyeruak ke indra penciumannya. Suasana di dalam mansion terasa angker dan misterius, dengan suara burung dan angin yang berbisik di antara pepohonan di luar, seolah mengingatkan setiap pengunjung bahwa mereka tidak sendirian.
Terlihat beberapa perabotan antik yang terbuat dari kayu jati berkualitas tinggi, meski kini berdebu, masih mencerminkan keanggunan dan kemewahan yang pernah menghiasi mansion tersebut. Lukisan-lukisan potret keluarga pemilik yang terpasang di dinding terlihat memudar, seakan-akan mereka memandang dengan nostalgia, menceritakan kisah hidup yang telah lama berlalu.
Setiap ruangan tampak seperti saksi bisu dari kisah cinta dan kehilangan yang terlupakan, penuh dengan misteri dan rasa sakit yang tak terucapkan. Lina merasakan bahwa mansion ini tidak hanya sekadar bangunan tua, tetapi juga sebuah entitas yang memiliki nyawa, memanggilnya untuk menyelidiki lebih jauh dan menemukan rahasia yang terpendam di dalamnya.
Langkah-langkah kakinya terdengar jelas di lantai kayu yang lapuk, setiap deritannya seperti peringatan agar dia berhati-hati. Lina mendongak ke langit-langit yang tinggi, di mana lampu gantung besar menggantung tak bergerak. Lampu itu sepertinya sudah lama tidak menyala, tapi masih berdiri megah, seperti saksi bisu dari masa lalu mansion ini.
"Ayo, Lina. Fokus pada pekerjaan," katanya pada diri sendiri. Lina mengangkat kameranya dan mulai memotret. Dia berpindah dari satu ruangan ke ruangan lain, mengabadikan detail-detail kusam dari mansion itu---cermin tua yang retak, lukisan-lukisan berdebu, dan furnitur antik yang terlihat seperti tak tersentuh selama bertahun-tahun. Cahaya matahari sore yang masuk melalui jendela memberikan kontras indah pada bayang-bayang gelap di dalam mansion.
Setelah beberapa saat, Lina menemukan sebuah ruangan yang terasa lebih pribadi. Sebuah perpustakaan kecil dengan rak-rak buku yang sudah lapuk, dan di dindingnya tergantung serangkaian foto-foto tua. Foto-foto itu tampak biasa saja pada pandangan pertama---potret keluarga dari masa lalu, dengan pakaian formal yang rapi dan ekspresi serius.
Tapi ada satu yang membuatnya tertegun.
Di salah satu foto, Lina melihat seorang wanita yang tampak... mirip dengan dirinya. Wajahnya, bentuk alis, bahkan garis senyumnya. Semua begitu familiar. Dia mendekatkan wajahnya pada foto itu, memeriksa setiap detail. Wanita itu tidak hanya mirip---dia bisa saja Lina dari zaman lain.
"Ini... aneh," gumamnya, matanya menelusuri wajah wanita itu. "Apa mungkin ini cuma kebetulan?"
Perasaan tidak nyaman mulai merayap di punggungnya.
Dia kembali mengangkat kamera dan mulai memotret deretan foto-foto itu, tetapi semakin dia memotret, semakin banyak wajah yang tampak mirip dengannya. "Apa-apaan ini?" bisiknya. Jantungnya mulai berdegup kencang. Apa yang terjadi di sini?
Saat dia membalikkan badan untuk keluar dari ruangan itu, tiba-tiba terdengar suara samar. Suara bisikan, nyaris tak terdengar.
"Lina...," suara itu memanggil.
Dia tersentak. Tubuhnya mendadak kaku. "Siapa itu?" Dia menoleh ke segala arah, tetapi tidak ada seorang pun. Ruangan itu sunyi. Terlalu sunyi.
"Lina..." Suara itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas.
Lina tidak bisa menunggu lagi. Dalam kepanikan, dia berlari sekencangnya keluar dari mansion, menembus udara dingin yang menusuk di luar. Nafasnya terengah-engah, dan dadanya terasa sesak saat menghampiri mobilnya.
---
Di sepanjang perjalanan pulang, Lina tidak bisa mengusir bayangan mansion itu dari pikirannya. Ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Foto-foto wanita itu... kenapa mereka begitu mirip dengannya? Apakah ada hubungan yang lebih dalam dari sekadar kebetulan? Tengkuknya berkali-kali merinding.
Setelah perjalanan pulang yang terasa seperti mimpi buruk, Lina akhirnya sampai di apartemennya dan langsung merebahkan diri di tempat tidur. Dia merasa seluruh energinya terkuras habis. Dia biarkan pikirannya yang gelisah perlahan-lahan tenggelam dalam kelelahan. Matanya perlahan tertutup, dan tanpa sadar, dia jatuh tertidur.
Dalam tidurnya, Lina bermimpi. Di mimpi itu, dia kembali ke mansion, tetapi suasananya berbeda. Tidak ada lagi debu dan kegelapan. Sebaliknya, taman di sekeliling mansion itu indah, penuh dengan bunga-bunga bermekaran. Di tengah taman itu, seorang pria berdiri. Wajahnya samar, tapi ada sesuatu yang familiar dari dirinya.
"Kamu datang," kata pria itu dengan lembut. "Aku sudah menunggu."
Lina berjalan mendekat, merasa seolah dia mengenal pria itu seumur hidupnya, meskipun tidak bisa mengingat kapan dan di mana mereka bertemu.
"Siapa kamu?" tanya Lina dengan suara yang lebih lembut daripada yang dia maksudkan.
Pria itu tersenyum hangat, membuat Lina merasa aman di dekatnya. "Terlalu lama, sayang. Sangat lama. Tapi sekarang, waktunya kita bertemu kembali."
---
Keesokan harinya, Lina terbangun dengan perasaan aneh yang sulit dia jelaskan. Mimpi itu terasa begitu nyata, seolah-olah dia benar-benar bertemu dengan pria itu. Wajah samar pria tersebut masih terngiang di kepalanya, dan dia tak bisa menyingkirkan dari pikirannya.
Masih tersisa waktu satu jam untuk Lina pergi ke kantor. Segera dia mandi dan berbenah, lalu mempersiapkan semua barang yang harus dia bawa sesuai jadwal hari itu. Perlahan, bayang-bayang mimpinya semalam memudar, berganti dengan prediksi kejadian-kejadian yang mungkin terjadi nanti di kantor.
Di tengah perjalanannya menuju kantor, melewati trotoar yang lumayan ramai oleh lalu-lalang pejalan kaki, langkah Lina mendadak terhenti ketika seorang pria menghampirinya dari arah seberang jalan. Dia terkejut bukan main. Wajah pria itu... persis seperti pria dalam mimpinya semalam.
"Hai," kata pria itu sambil tersenyum. "Maaf kalau ini terdengar aneh, tapi... aku merasa kita pernah bertemu sebelumnya. Mungkin hanya perasaan, tapi... boleh aku tahu namamu?"
Lina tercengang. Ingatan akan mimpi semalam kembali menyeruak dalam benak. Wajah pria yang samar-samar itu kini seolah mewujud nyata, persis di hadapannya.
"Aku... Lina," jawabnya terbata sambil menyodorkan tangan untuk berjabat.
Ketika tangan mereka bersalaman, Lina merasakan getaran hebat yang merambat ke sekujur tubuhnya. Pria itu Nampak tersenyum hangat, sementara Lina masih terbengong.
"Namaku Arya," katanya. "Senang bertemu denganmu, Lina."
Singkat cerita, pertemuan yang terasa takdir itu menjadi awal hubungan mereka. Hari demi hari, Lina dan Arya semakin akrab. Hubungan mereka berkembang dengan cepat. Dan setelah beberapa bulan, merekapun akhirnya resmi pacaran.
---
Setiap kali Lina bersama Arya, ada rasa nyaman yang mendalam, seolah-olah mereka memang ditakdirkan untuk bertemu. Mereka sering tertawa bersama, berbagi cerita, dan Lina merasakan dirinya bisa menjadi diri sendiri setiap kali berada di dekat Arya.
Tapi ada satu hal yang terus menghantui pikirannya---mimpi itu, dan mansion tua itu. Setiap malam, mimpi tentang Clara dan kekasihnya terus datang, seolah-olah ada yang belum selesai dari masa lalu. Lina belum menceritakan pengalaman misteriusnya di mansion kepada Arya. Bagian dari dirinya takut, takut apa yang akan dia temukan jika dia benar-benar menggali lebih dalam.
Suatu malam, saat mereka duduk berdua di sofa, menikmati secangkir teh hangat, Arya memecah keheningan.
"Sayang, aku...ngerasa harus cerita sesuatu ke kamu," katanya dengan suara serius.
Lina menoleh, memasang wajah penasaran. "Ada apa?"
"Aku sering mengalami mimpi aneh sebelum bertemu denganmu. Mimpi tentang seorang wanita di sebuah mansion tua. Aku merasa seperti dipanggil ke sana, seolah-olah ada yang menungguku. Dan sejak bertemu denganmu, mimpi itu hilang... tapi perasaan bahwa kita sudah saling kenal itu masih ada."
Lina terdiam. Tubuhnya menegang. "Aku...aku juga punya cerita yang aneh, Mas. Ada sesuatu yang terjadi sebelum kita bertemu... sesuatu di mansion itu. Aku belum pernah cerita ini ke siapa-siapa," kata Lina, suaranya pelan.
Arya mendengarkan dengan seksama, ekspresi wajahnya penuh perhatian.
"Sebelum aku bertemu denganmu, aku pernah dapat job foto di sebuah mansion tua. Di sana... aku mengalami banyak hal aneh. Ada foto-foto yang mirip denganku, dan aku juga mendengar suara-suara... seolah-olah seseorang memanggilku," suaranya bergetar.
Lina melanjutkan ceritanya dengan detail, termasuk mimpinya yang mirip-mirip dengan mimpi Arya. Bagaimana di mimpi itu, dia kembali ke mansion, tetapi suasananya berbeda. Taman di sekeliling mansion yang indah, penuh dengan bunga-bunga bermekaran. Lalu di tengah taman itu, ada seorang pria berdiri dengan wajahnya yang samar, dan itu adalah Arya.
Arya terdiam sesaat sebelum berbicara. "Sayang, ini terdengar gila!"
Lina terdiam, berusaha mencerna semuanya. "Ini... ini terlalu aneh untuk jadi kebetulan, Mas..."
"Aku tahu," Arya mengangguk. "Dan aku merasa ini semua ada hubungannya dengan masa lalu. Dengan sesuatu yang belum selesai."
"Dan aku... aku merasa ada hubungan antara kita dan tempat itu, Mas. Kita harus kembali ke sana!" timpal Lina.
Arya memegang tangan Lina dengan lembut, mengangguk setuju. "Jika itu yang harus kita lakukan, kita akan pergi bersama."
Akhirnya, merekapun memutuskan untuk kembali ke mansion tua, tempat Lina pertama kali merasakan pengalaman aneh itu. Mereka berharap bisa menemukan jawaban di sana.
---
Dengan perasaan gugup, Lina dan Arya melangkah menuju mansion tua yang telah mengganggu pikiran mereka selama berminggu-minggu. Jalan menuju mansion terasa lebih suram daripada sebelumnya, seolah-olah bayangan masa lalu menanti mereka. Arya menggenggam tangan Lina erat-erat, memberi kekuatan.
"Kamu siap?" tanya Arya, menatap Lina penuh perhatian.
Lina menarik napas dalam-dalam. "Ya siap nggak siap... aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Begitu mereka masuk ke dalam mansion, suasana berubah drastis. Rasanya lebih berat, seolah-olah ada sesuatu yang menekan dada mereka. Bayangan di dinding tampak bergerak-gerak samar. Arya menyalakan senter, dan mereka berjalan perlahan ke dalam.
"Foto-foto itu ada di sini," bisik Lina, mengarahkan senter ke ruang perpustakaan yang dulu membuatnya ketakutan. Kali ini, dengan Arya di sisinya, dia merasa sedikit lebih berani. Namun, perasaan gelisah tetap merayap di dalam dirinya.
Setelah beberapa saat mencari, mereka menemukan rak buku yang tersembunyi di belakang selembar tirai tua. Dengan hati-hati, Arya menarik rak tersebut, dan di baliknya mereka menemukan sebuah kotak kayu tua yang tertutup rapat
.
"Kamu lihat ini?" Arya berkata, suaranya rendah.
Kotak itu sudah sangat tua, tapi masih dalam kondisi baik. Ada ukiran nama Clara di permukaan kotaknya. Lina merasa jantungnya berdegup semakin kencang.
"Kurasa... kotak ini milik Clara," bisik Lina.
Dengan gemetar, dia membuka kotak itu. Di dalamnya terdapat tumpukan surat kuno, surat-surat cinta yang ditulis dengan tangan halus. Dibacanya satu persatu, Arya ikut-ikutan. Hingga akhirnya mereka menemukan sesuatu yang mengejutkan di bawah tumpukan surat-surat itu. Foto seorang pria.
Lina menggigil ketika melihat wajah pria dalam foto itu---karena pria itu terlihat tidak asing. Arya segera menyambar foto itu dari tangan Lina dan memeriksanya dengan cermat.
"Ini... seperti aku," dia bergumam, hampir tak percaya. "Apa artinya semua ini?"
Lina menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberaniannya.
"Mas... kita ini  sepertinya adalah reinkarnasi dari Clara dan kekasihnya. Semua ini... kejadian di mansion, mimpi-mimpi kita... semuanya terhubung."
Arya memandangnya dalam-dalam, perlahan menyadari apa yang Lina katakan.
"Tapi...bagaimana bisa, sayang? Mereka berdua orang Belanda, sedangkan kita..."
"Mas," Lina memotong. "Clara itu sudah berdarah campuran Jawa, bukan Belanda asli. Demikian juga Frederick, kurasa juga sama blasteran. Itu sangat mungkin terjadi".
"Oke...oke. Lalu jika kita adalah reinkarnasi dari mereka, apa yang harus kita lakukan? Bagaimana kita memutus siklus ini?"
Lina mengingat kembali surat-surat cinta Clara. Dari surat-surat itu bisa ditarik benang merah cerita tentang masa lalunya dengan Frederick. Seorang perwira Belanda yang ditarik pulang ke negerinya. Netherland lebih membutuhkannya bertugas di sana ketimbang di Indonesia. Frederick berjanji akan kembali pada Clara jika sudah tepat waktunya, tetapi nyatanya dia tak pernah datang lagi ke Indonesia. Clara terjebak di mansion ini, dalam penantian yang tak berujung hingga tutup usia. Dan sekarang, Lina tahu kenapa dia merasa begitu terikat pada tempat ini. Dia merasa harus menyelesaikan apa yang belum selesai.
"Kurasa," Lina berkata pelan, "kita harus melakukan sesuatu yang Clara dan Frederick tidak sempat lakukan. Kita harus menyelesaikan cerita mereka."
Arya mendekati Lina, menggenggam tangannya dengan lembut. "Apa maksudmu?"
Lina menatap Arya dalam-dalam. "Mereka tidak pernah bisa bersama... Tapi kita bisa. Mungkin itulah cara kita memutus siklus ini. Dengan memilih jalan yang berbeda, dengan tidak membiarkan masa lalu mendikte hidup kita."
Arya meremas tangan Lina, ekspresinya penuh dengan pemahaman. "Rupanya ini semua adalah takdir kita, Lina. Kita sudah pernah bertemu di masa lalu, dan sekarang kita punya kesempatan untuk memperbaiki semuanya."
Mereka saling menatap, menyadari bahwa satu-satunya cara untuk memutus siklus yang telah berulang ini adalah dengan menyatukan diri mereka dalam kehidupan sekarang ini. Arya mendekap Lina, dan Lina merasakan kedamaian yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
"Sayang, ada satu hal yang ingin kutanyakan padamu", bisik Arya lembut.
"Apa?" tanya Lina datar, masih menghayati dekapan Arya yang terasa nyaman.
"Bagaimana kamu tahu tentang masa laluku?"
"Maksud kamu?"
Arya menghela napas panjang. "Setelah perceraianku, hidupku memang berantakan. Aku merasa tersesat hingga aku berjumpa de...."
Lina terbelalak, ditepisnya dekapan Arya. "M..maksudmu? Kamu..., kamu ini duda, Mas?"
Arya terdiam beberapa saat, lalu tersenyum. "Kalau semua ini benar, aku tidak mau menunda lagi. Aku ingin kita selalu bersama, Lina. Aku tidak ingin masa laluku berulang kembali. Apa kamu siap menerimaku ?"
Lina masih menatap tajam mata Arya yang sebaliknya teduh, tapi mulutnya masih belum bisa berucap sepatah katapun.
"Aku minta maaf, tidak berterus terang sedari awal. Kamu boleh marah, bahkan jika perlu menamparku. Berkali-kalipun tidak masalah," kata Arya sambil tersenyum tenang.
Lina mulai mengerti arti senyum dan sikap tenang Arya. Dia sudah mengenalnya lumayan lama. Ada kesamaan dalam diri mereka berdua, keras kepala demi mempertahankan apa-apa jika itu diyakini benar. Itu artinya, dia boleh saja marah tapi jangan sekali-kali menolak lamaran Arya. Karena jika kebenaran sudah terungkap sampai sejauh ini, ke ujung duniapun dia mencoba lari, bakalan Arya kejar sampai mati.
"Plak!" suara tamparan di pipi Arya terdengar keras menggema, terpantulkan oleh dinding ruangan mansion yang lembab dan catnya banyak terkelupas.
---
Beberapa minggu kemudian, di bawah sinar matahari yang lembut di sebuah taman kota yang jauh dari mansion tua itu, Lina dan Arya berdiri berdua, mengucapkan janji sehidup semati. Tidak ada lonceng besar atau pesta mewah, hanya mereka dan cinta yang mereka rasakan, seperti janji yang terucap berabad-abad lalu namun kini akhirnya terpenuhi.
Ketika mereka mengucapkan sumpah, angin bertiup pelan, seolah membawa kelegaan dari masa lalu. Clara dan kekasihnya kini bisa beristirahat dengan damai, karena cinta mereka akhirnya menemukan akhir yang bahagia---meskipun dalam kehidupan yang berbeda.
Lina menatap Arya dengan senyum hangat. "Aku merasa... segalanya akhirnya masuk akal."
Arya mencium kening Lina lembut. "Kita berhasil, Lin. Kita telah menulis cerita kita sendiri."
Mereka berdiri di sana, membiarkan masa lalu dan masa depan melebur dalam harmoni. Kali ini, cinta mereka tidak akan terhenti oleh waktu.
---
TAMAT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H