Dengan gemetar, dia membuka kotak itu. Di dalamnya terdapat tumpukan surat kuno, surat-surat cinta yang ditulis dengan tangan halus. Dibacanya satu persatu, Arya ikut-ikutan. Hingga akhirnya mereka menemukan sesuatu yang mengejutkan di bawah tumpukan surat-surat itu. Foto seorang pria.
Lina menggigil ketika melihat wajah pria dalam foto itu---karena pria itu terlihat tidak asing. Arya segera menyambar foto itu dari tangan Lina dan memeriksanya dengan cermat.
"Ini... seperti aku," dia bergumam, hampir tak percaya. "Apa artinya semua ini?"
Lina menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberaniannya.
"Mas... kita ini  sepertinya adalah reinkarnasi dari Clara dan kekasihnya. Semua ini... kejadian di mansion, mimpi-mimpi kita... semuanya terhubung."
Arya memandangnya dalam-dalam, perlahan menyadari apa yang Lina katakan.
"Tapi...bagaimana bisa, sayang? Mereka berdua orang Belanda, sedangkan kita..."
"Mas," Lina memotong. "Clara itu sudah berdarah campuran Jawa, bukan Belanda asli. Demikian juga Frederick, kurasa juga sama blasteran. Itu sangat mungkin terjadi".
"Oke...oke. Lalu jika kita adalah reinkarnasi dari mereka, apa yang harus kita lakukan? Bagaimana kita memutus siklus ini?"
Lina mengingat kembali surat-surat cinta Clara. Dari surat-surat itu bisa ditarik benang merah cerita tentang masa lalunya dengan Frederick. Seorang perwira Belanda yang ditarik pulang ke negerinya. Netherland lebih membutuhkannya bertugas di sana ketimbang di Indonesia. Frederick berjanji akan kembali pada Clara jika sudah tepat waktunya, tetapi nyatanya dia tak pernah datang lagi ke Indonesia. Clara terjebak di mansion ini, dalam penantian yang tak berujung hingga tutup usia. Dan sekarang, Lina tahu kenapa dia merasa begitu terikat pada tempat ini. Dia merasa harus menyelesaikan apa yang belum selesai.
"Kurasa," Lina berkata pelan, "kita harus melakukan sesuatu yang Clara dan Frederick tidak sempat lakukan. Kita harus menyelesaikan cerita mereka."