Malam itu, aku berada di rumah sakit. Tidur di pangkuan ibu.
“Bu, kalo bapak ada apa-apa, aku dijemput ya..” pintaku pada ibu. Ibuku mengangguk. Saat itu mungkin aku masih belum bisa merasakan kesedihan sedalam apa yang ibu rasakan. Hanya dzikir dan doa yang ibu lantunkan saat itu.
Keesokan harinya, aku pulang ke pondok. Aku di pondok hanya beberapa hari, setelah itu aku dijemput oleh saudaraku. Aku dijemput bukan pulang ke rumah, tapi ke rumah sakit. Karena bapak mau dioperasi, jadi ibu memenuhi permintaanku di malam itu. Selama itu aku sering bolak-balik pondok – rumah sakit.
Ruang ICU dikelilingi kaca, supaya keluarga pasien bisa melihat pasien dari luar, dan tidak diperbolehkan masuk. Aku melihat bapakku yang terbaring di ranjang ICU, badannya dipenuhi selang, terlebih di bagian kepala, untuk membuang cairan-cairan yang mengendap di otak. Siapa yang tega melihat orang tersayangnya dipenuhi selang? Antara hidup dan mati? Ketika aku melihat bapak, bapak juga menoleh ke arahku. Kulihat air matanya menetes. Tak tega, aku segera memalingkan wajahku.
Hingga akhirnya...
Baru saja kemarin aku pulang ke pondok. Sorenya, aku bermain dengan temanku. Tiba-tiba...
“Hilyaaaa....” aku mendengar suara kakak kelas memanggilku.
Aku segera memenuhi panggilannya, “iya kak?”
“Kamu dipanggil sama ustadzah. Disuruh ke kamarnya.” Terang kakak kelasku itu.
Aku segera menuju ke kamar ustadzah. Sesampainya disana, aku mendapati ustadzah sedang menyetrika.
“Assalamu’alaikum ustadzah, ustadzah cari Hilya?” tanyaku.