Heri Purwanto (2007) menyatakan bahwa anak-anak berkebutuhan khusus merupakan anak-anak yang memiliki keunikan tersendiri dalam jenis dan karakteristiknya, yang membedakan mereka dari anak-anak normal pada umumnya. Keadaan inilah yang menuntut pemahaman terhadap hakikat anak berkebutuhan khusus. Keragaman anak berkebutuhan khusus terkadang menyulitkan guru dalam upaya mengenali jenis dan pemberian layanan pendidikan yang sesuai. Sehingga anak berkebutuhan khusus dengan anak normal memiliki karakteristik yang sangat berbeda, hal ini dapat dilihat dari perilaku mereka.
Perilaku merupakan suatu hal bertindak atau bermaksud dengan cara tertentu, perilaku juga sesuatu hal yang dapat dipelajari, tidak permanen namun dapat dilatih, diajarkan dan dirubah atau dimodifikasi. Pada anak yang memiiki gangguan perilaku maka pengelolaannya haruslah spesifik sesuai kebutuhan anak. Untuk modifikasi perilaku yang diprogramkan oleh guru disesuaikan pada kondisi dan lingkungan anak. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya gangguan emosi dan perilaku yaitu faktor biologi, faktor lingkungan atau keluarga, faktor sekolah, dan faktor masyarakat (Rohmawati, 2017).
Berdasarkan permasalahan yanng dialami anak berkebutuhan khusus terutama anak dalam gangguan emosi dan perilaku, perlu adanya bantuan dari pemerintah dalam menyediakan fasilitas layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dengan gangguan emosi dan perilaku di semua jenis jenjang pendidikan baik dasar sampai pendidikan tinggi dalam sistem pembelajaran, fasilitas yang mendukung serta peran guru yang sangat penting untuk pemberian motivasi dan arahan yang bersifat membangun kepada anak dalam gangguan emosi dan perilaku. (Dermawan, 2018: Wathoni, 2013)
Fokus guru terhadap perilaku anak berkebutuhan khusus yaitu:
- Meningkatkan perilaku yang kurang/ Defisit. Perilaku defisit adalah perilaku yang diharapkan dapat dimunculkan siswa  tetapi tidak muncul. Contoh: anak usia 10 tahun tidak mampu mengikat tali sepatu dan mengancingkan baju (disebut Defisit Behaviour).                                                                                                                                    Defisit Behaviour -- Adaptive Behaviour -- ditingkatkanÂ
- Mengurangi perilaku yang berlebih/ Excess Behaviour (perilaku yang seharusnya tidak muncul tetapi muncul. Contohnya anak yang menunjuk untuk membeli sesuatu tapi ibu mengatakan tidak kemudian anka menangis. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Excess Behaviour -- Mal Adaptive Behaviour -- dikurangi Â
Perilaku adaptif merupakan suatu kemampuan seserang untuk dapat mengatasi keadaan-keadaan yang terjadi di masyarakat dan lingkungannya. Seseorang dikatakan memiliki hambatan perilaku adaptif bila dapat hambatan dalam tiga hal yaitu 1) Maturation atau perkembangan, 2)Â Learning Capacity atau kemampuan belajar, dan 3) Social Ediushment termasuk Personal Independence end Social Responsibility atau penyesuaian perilaku sosial termasuk kebebasan pribadi dan rasa tanggung jawab sosial. (Sloan dan Birch: Delphie, 2005)
Adapun keterampilan yang diperlukan untuk kemandirian hidup dibeberapa area berikut ini: bina diri, sosial, komunikasi, mobilitas, bekerja, waktu luang, keikuseraan dalam masyarakat.
Beberapa prinsip dasar perilaku anak berkebutuhan khusus, diantaranya yaitu:
1. Perilaku lemah (Behavioral Defisit)
Seorang anak atau peserta didik dianggap memiliki perilaku lemah apabila ia gagal dalam menunjukkan suatu perilaku yang dianggap sesuai dengan usia tertentu, waktu dan tempat. Ketika pemberian ransangan, peserta didik gagal merespon secara tepat meliputi:
- Frekuensi yang diinginkan
- Intensitas yang mencukupi
- Dalam bentuk yang tidak wajar
- Terjadi pada kondisi sosial yang umumnya diterima (kanfer & Saslow)
2. Perilaku berlebihan
Perilaku berlebihan merupakan perilaku yang muncul pada waktu dan tempat yang tidak tepat. Tingkatan dari perilaku berlebih dapat terlihat dalam:
- Frekuensi (berapa banyak)
- Intensitas (berapa sering)
- Durasi (berapa lama)