Beberapa hari setelah tabrakan itu, bosku mengajakku bicara. Itu agak aneh, mengingat lelaki tua itu hanya berurusan denganku untuk masalah pekerjaan, bukan soal kehidupan pribadi. Matthew, bosku itu, beberapa kali mengajakku duduk di kafe, membelikanku secangkir kopi dan sepotong keik, bertanya soal kabarku hari itu. Ritual itu bertahan hingga kini, meski hanya seminggu sekali. Hanya saja, setelah dua kali traktiran dari Matthew, aku mulai membayar kopiku sendiri.
Hal-hal ajaib terjadi di situ. Fakta-fakta yang membuatku terkejut, membuatku paham mengapa Artemis bisa hadir di hidupku.
Matthew mengenal Artemis. Ia dan ayah Artemis berteman sejak masih muda, sejak masih menjadi kru sebuah grup musik. Sayangnya, ayah Artemis terlalu banyak minum, hingga membuat tubuhnya menyerah, membuat Artemis yang masih tiga belas tahun kala itu tenggelam dalam permainan gitar akustik --- gitar tua peninggalan sang ayah. Setelah kematian ayah Artemis, Matthew memutuskan berhenti menjadi kru dan membuka toko alat musik kecil dari tabungannya selama bekerja pada grup musik itu. Lelaki tua itu juga yang membantu ibu Artemis selama di rumah sakit.
Intinya, aku masih memiliki Matthew yang selalu bersedia berbagi kabar soal Artemis. Matthew pulalah yang selalu mengingatkanku agar tidak terkejut jika suatu saat Artemis hanya akan melewatiku.
Aku mengerti.
Aku sudah bersiap untuk segalanya, termasuk bersiap kehilangan Artemis pada akhirnya.
***
Artemis duduk memangku gitar akustik. Gitar dari slot nomor satu.
Sudah dua puluh hari berturut-turut aku melihatnya lagi setelah lima puluh dua bulan mataku tak menangkap sosoknya. Permainan gitarnya tetap sama. Indah, menyiratkan kelembutan, seperti yang pernah aku rasakan. Ah...
Sesuai saran Matthew, aku tidak menyapa Artemis. Gadis itu pun tidak pernah menoleh ke arahku. Entah kenapa. Aku seperti tak kasatmata baginya. Ia hanya menyapa Matthew dan berlama-lama memeluk lelaki tua itu. Kadang, aku kembali menangkap rasa patah yang dulu pernah kulihat dari wajahnya, sebelum akhirnya menyadari, bahwa akulah yang patah, akulah yang tumbang, akulah yang berdarah.
Selesai dengan gitarnya, Artemis berdiri menghampiri sang ibu yang setia menunggunya sembari duduk di sofa di sudut toko. Ketika ibunya sudah keluar dari toko, Artemis mendadak berhenti di ambang pintu. Ia berbalik dan langsung menatapku.