"Artemis," ucapnya sambil menyambut sodoran tanganku. "Kamu boleh panggil aku Ar supaya lidahmu tidak keseleo," katanya lagi diiringi cengiran jahil.
"Aku Jo," balasku.
"Ya, kamu sudah bilang itu tadi." Dan, cengiran itu muncul lagi.
Artemis.
Bukankah itu nama salah satu dewi dalam mitologi Yunani? Dewi Bulan?
"Dewi Hutan, tepatnya," katanya ketika suatu hari kami pulang dari menonton konser mini di taman kota. Lalu, ia menjelaskan banyak hal soal sang Dewi Hutan. Aku mendengarkan, tetapi hanya menangkap beberapa hal. Bahwa Artemis memiliki busur dan anak panah emas, memiliki anjing-anjing yang setia menemaninya berburu rusa, memiliki saudara kembar bernama Apollo, dan yang paling kuingat adalah, Artemis tidak pernah menikah.
Entah mengapa, hatiku mencelos mendengar poin terakhir itu.
Ya, ya, ya, aku tahu, yang tidak menikah itu Artemis sang Dewi Hutan, bukan Artemis yang sedang berjalan di sampingku sambil mengunyah biskuit cokelat, bukan Artemis yang dua bulan terakhir ini selalu menungguku sepulang kerja untuk menyusuri setapak taman kota, bukan Artemis yang ketika datang ke tempat kerjaku selalu mengambil gitar akustik di slot nomor lima dan memainkannya selama satu jam, meskipun beberapa kali slot itu diisi gitar yang berbeda, bukan Artemis yang minggu lalu baru kehilangan kucing tua kesayangannya dan ia tidak menangis sama sekali padahal aku tahu itu bohong karena satu jam setelah ia berkabar bahwa kucingnya mati, mata Artemis sembap luar biasa, bukan Artemis yang setiap pagi selama dua bulan terakhir ini selalu mengirimiku pesan singkat menanyakan bagaimana mimpiku semalam. Bukan, bukan Artemis yang itu.
"Jo?"
Tangan Artemis menghentikan langkahku. Kini kami berhadapan. Dalam jarak sepuluh sentimeter --- sepertinya --- sehingga aku bisa dengan jelas mengamati warna matanya yang luar biasa indah. Cokelat tua sempurna.
"Aku tidak akan ke mana-mana, Jo," ucap Artemis. Tangannya yang bebas mulai memainkan ujung-ujung rambutku yang menyentuh mantel.