Apa kabar dengan kedua tanganku? Yah, mereka tetap pada tempatnya: di dalam saku mantel. Aku begitu takut membuatnya semakin patah. Atau, mungkin aku takut membuat diriku sendiri patah menjadi jutaan bagian. Sinar Artemis begitu terang, membuatku hangat, menyingkirkan kebekuan yang selama ini bergelayut manja dalam diri.
"Aku lebih banyak tersenyum dalam dua bulan terakhir ini," ucapnya lagi. Lalu, Artemis membuat kami tidak berjarak lagi. Aku baru menyadarinya ketika merasakan hal ganjil dari tubuhku. Kelembutan itu menyapaku, menarikku perlahan untuk memulai perjalanan menyusuri ladang nektar, membuat cuping hidung berkenalan dengan wangi manis tanpa ingin berhenti menikmatinya.
Ciuman itu, kelembutan yang singkat namun kuat, membuatku berjanji pada diri sendiri, aku harus menjaga Artemis selama sisa hidupnya... atau mungkin hidupku.
Artemis kembali melangkah seolah-olah kami tidak melakukan apa-apa sebelumnya. Ia memasukkan sisa biskuit cokelatnya ke dalam tas dan berkata, "Kita pulang ke apartemenku kali ini, Jo. Aku akan memasak ramen pedas. Kita bisa makan sambil menonton rekaman konser Lindsey Stirling. Atau, kau mau nonton Coldplay lagi? Tidak pernah bosan, ya? Atau kau mau kita ke tempat penampungan hewan dulu sebelum ke apartemenku? Aku sebenarnya amat butuh pengganti Queen. Bulu-bulu lembut itu bisa menenangkan sarafku, Jo. Percayalah!" Tawa cerianya menggema sampai ke bilik-bilik jantungku.
Layaknya penggambaran sang Dewi Hutan sesungguhnya, langkah Artemis begitu ringan hingga nyaris seperti berlari. Aku jadi membayangkan sosoknya memakai gaun sewarna tanah sebatas lutut, dengan kaki-kaki telanjangnya, dengan busur di tangannya dan sekumpulan anak panah di punggungnya, dengan beberapa ekor anjing berlarian mengiringi langkahnya, dengan rambut panjang diikat semaunya, dengan wajah ceria seolah-olah Zeus sendiri tidak mengizinkan putrinya bertambah tua.
Semua yang kubayangkan serasa nyata di mataku. Sungguh. Hanya saja, imajinasiku terhenti ketika tubuh Artemis tergeletak di tengah jalan. Tak jauh darinya, sebuah mobil berhenti dengan roda-roda yang sedikit berasap.
Aku membatu. Aku membeku. Lagi. Seperti selamanya.
***
Aku masih orang yang sama setiap harinya. Setidaknya, aku masih bekerja di tempat yang sama karena bosku termasuk orang yang malas melakukan wawancara kerja dengan calon pegawai baru. Aku bukannya tidak pernah melakukan kesalahan di tempat kerja. Aku kerap melamun, di balik deretan piano portable, berlama-lama memandang titik yang sama, sampai salah satu rekan kerjaku membawaku kembali menjejak lantai toko. Semisal boleh menyombong, aku cukup andal membantu konsumen memilih alat musik yang tepat untuk mereka. Kebanyakan akan datang kembali bersama orang lain --- entah teman, entah salah satu anggota keluarganya --- dan membeli alat musik di sini. Mungkin itu juga sebabnya bosku tidak mau mempekerjakan orang lain.
Aku tidak pernah mengalami kesulitan finansial, meskipun isi dompetku tidak setebal Chris Martin, Mike Shinoda, atau Ed Sheeran. Gaji dari toko ini memang tidak besar, hanya sanggup membuatku bertahan hidup dengan makan dua kali sehari dan membayar sewa flat. Akan tetapi, aku punya cadangan penghasilan dari setidaknya beberapa kelas privat gitar akustik di sebuah tempat kursus bermusik. Kelas-kelas itu pulalah yang menolongku... menghalau sosok Artemis dari pikiranku, dengan susah payah.
Tidak banyak yang bisa kuceritakan selepas tabrakan itu. Aku hanya mengingatnya dengan samar. Raungan sirene ambulan, kelebat merah-biru lampu mobil polisi, salju tipis yang mulai turun, dan... wajah Artemis yang membiru. Bahkan, tidak ada yang menyadari bahwa Artemis tidak sendirian saat itu. Aku dan tubuhnya amat berjarak. Tidak ada yang menghampiriku, tidak juga polisi-polisi itu. Aku bergeming, hingga semuanya kembali sepi. Seorang pria tua menyenggol lenganku, membawaku kembali menjejak lantai taman kota.