Mohon tunggu...
Sekar Mayang
Sekar Mayang Mohon Tunggu... Editor - Editor

Editor. Penulis. Pengulas buku. Hidup di Bali. http://rangkaiankatasekar.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Artemis

23 Maret 2020   04:22 Diperbarui: 23 Maret 2020   04:17 1089
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata orang, kamu harus berada dalam jarak terlebih dahulu jika ingin merasakan namanya rindu.

Aku bilang, omong kosong.

Mereka tahu apa soal rindu? Mereka tahu apa soal jarak? Mereka hanya tahu lewat omongan orang lain, tetapi tidak pernah merasakannya sendiri. Bahwa, rindu itu bisa terjadi kapan saja, meskipun aku melihat subjeknya setiap hari.

***

Kami memulainya dalam diam, bahkan tak pernah terpikir sebelumnya bahwa kami akan menjalani setapak ini.

Ah, sebentar. Kenapa aku selalu menyebut 'kami' seolah-olah benar ada dua orang? Baiklah, aku ralat.

Aku memulainya dalam diam. Yah, sejak kapan aku berani bersuara lebih dulu? Tidak pernah. Aku hanya berani memandangnya dari kejauhan. Jarak terdekatku dengannya hanya, ehm, sepuluh sentimeter, mungkin. Itu, akan kuceritakan nanti.

Aku pertama kali melihatnya ketika ia memegang sebuah gitar akustik. Memangkunya, memainkannya pelan-pelan, menjelajahkan jemarinya pada papan kunci. Ia terlihat begitu sempurna, juga begitu berantakan. Begitu indah, sekaligus amat patah. Begitu bercahaya, tetapi suram di saat yang bersamaan.

Entah berapa lama aku hanya berdiri di balik deretan piano portable sambil memandangnya, tahu-tahu sosoknya sudah menghilang.

"Kamu melamun seperti orang pingsan," begitu kata rekan kerjaku.

Benarkah? Ya, mungkin aku terlalu larut dalam segala ketidakpastian yang kutangkap dari sosoknya. Dan, itu terjadi hampir setiap hari, ketika ia mengunjungi toko alat musik tempatku bekerja, selama kira-kira lima bulan. Ya, lima bulan! Lima bulan yang penuh kesenyapan karena aku tidak berani memulainya --- mengeluarkan suara untuk sekadar memberi tahu sosoknya bahwa aku ada di sini, aku melihatnya, aku mengaguminya, aku ingin dekat dengannya, aku ingin menjamah seluruh ketidakpastian dalam dirinya. Lima bulan yang membuat hidupku seperti jatuh ke jurang tanpa dasar. Dan, ketika dasar jurang mulai tampak, aku memberanikan diri bersuara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun