Maya tenggelam dalam dekapan hangat dada bidang Al. Wangi aftershave yang Al kenakan menggelitik cuping hidung Maya. Ia merasa sedang berada di sebuah kebun bunga warna-warni dengan aneka aroma.
"Aku belum ingin kehilangan kamu, Maya."
Suara Al membuyarkan khayalan Maya. Kalimat itu lagi, pikir Maya, bolehkan aku menyerah?
"Apa maumu?" tanya Maya yang kini sudah melepaskan diri dari dekapan Al.
"Mauku," jawab Al, "menjadi milikmu."
Maya diam saja. Wajahnya datar. Ia tidak sedang berpura-pura menahan emosinya. Ia memang tidak punya reaksi lain, seolah-olah hatinya sudah bebal dengan apa saja yang Al ucapkan. Sementara itu, Al tahu, ia sudah sangat keterlaluan kali ini. Ia bermain api tanpa memikirkan akibatnya. Lalu, sesuatu yang ia siramkan ke arah api itu ternyata bensin. Hasilnya, semuanya berantakan.
Tanpa pikir panjang lagi, Al meraih pinggang Maya, mendekapnya lagi. Kali ini, ia membiarkan instingnya berbicara banyak kepada Maya, lewat pagutan-pagutan lembut.
"Entah kenapa, Al," bisik Maya, "aku seharusnya tidak mengizinkan kamu menemaniku duduk di bangku taman waktu itu."
"Ssstt..." Al menempelkan telunjuknya ke bibir Maya. "Kamu sudah pernah bilang itu. Jangan mengulang kalimat yang sama."
Maya tersadar, ia sudah mengatakan hal yang sama. Otaknya sedikit terlena dengan ciuman Al. Di luar itu semua, Maya hanya merasa, ciuman itu sudah sangat menjelaskan apa yang hendak Al katakan.