Al agak terkejut dengan sikap Maya. Gadis itu terlihat seperti pribadi lain di mata Al. Pribadi yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Mungkin benar perkataan orang, pikir Al, cinta akan banyak mengubah kepribadian seseorang.
"Kalau aku bilang, aku tidak punya apa yang kamu sebut 'gadisku', apa reaksimu?"
"Ah," Maya mendengus kesal, "pertanyaan apa lagi ini? Kenapa kamu tidak bisa to the point saja kalau bicara? Aku merasa hanya buang waktu mendengar ocehanmu, Al." Maya tak lagi merasa sedih. Ia hanya merasa sedang dipermainkan.
"Tidak, Maya. Aku tidak sedang mengoceh."
"Reaksiku, aku tetap pergi. Aku malas berurusan dengan laki-laki tidak punya pendirian macam kamu, Al. Bisa langsung kita bahas poin pentingnya, please?"
Al menghela napas.
"Tidak ada gadis lain, Maya. Aku hanya mengarang cerita. Aku bahkan lupa untuk apa aku mengarangnya. Dan, sekarang, ketika kamu menyinggung soal gadis lain, aku tetap tidak ingat."
Maya terkejut, meski tak tampak diwajahnya. Dahinya sedikit berkerut. Sesungguhnya, ia tidak mengerti maksud ucapan Al. "Mengarang cerita?"
"Aku minta maaf."
"Padahal, aku sudah telanjur percaya, Al," ujar Maya setengah terisak. Ia bangkit dari bangku dan bersiap pergi. "Aku tidak pernah keberatan dengan statusmu. Aku tidak pernah mengeluh kalau kamu tidak bisa menerima ajakanku bertemu di sini. Aku tidak pernah menyinggung soal gadismu ketika sedang mengobrol. Aku tidak pernah menanyakan soal kejelasan hubungan ini. Tapi, aku tidak tahan dengan semua kepura-puraan ini, Al."
Al tiba-tiba saja berdiri dan langsung mendekap tubuh Maya. "Setop," bisik Al. "Jangan bicara lagi."