"Tidak apa-apa, Al. Aku memang harus pergi. Terima kasih untuk segala yang sudah kamu berikan selama satu tahun ini. Aku menghargai semuanya."
Maya berbalik, hendak beranjak dari hadapan Al. Tetapi, ternyata Al menahan tangan kiri Maya. Maya berusaha melepaskan tangannya, namun genggaman Al terlalu kuat.
"Jangan pergi," pinta Al. "Aku masih ingin kamu di sini."
Maya kembali berhadapan dengan Al. "Aku tidak keberatan menemanimu berjam-jam duduk di bangku taman ini, Al. Tapi, apa kamu memikirkan hatiku? Walaupun kamu menggenggam tanganku, memelukku, dan bahkan menciumi tubuhku, aku hanya merasa pikiranmu tidak sedang bersama tubuhmu saat itu."
"Maaf," ujar Al lirih. Ia masih menggenggam jemari Maya. "Aku belum bisa memilih."
"Kamu tidak perlu memilih, Al," tukas Maya. "Aku yang akan pergi. Aku..."
Maya tidak dapat meneruskan ucapannya. Air mata telanjur meluncur dari sudut matanya. Mereka lalu duduk kembali di bangku itu. Al merebahkan lagi punggungnya ke sandaran bangku taman. Ia menengadah, menatap langit yang miskin bintang.
"Mungkin kedengarannya egois, tapi aku belum ingin kamu pergi, Maya."
"Belum ingin?" gumam Maya. "Sempurna! Itu memperlihatkan wajah aslimu yang sebenarnya, Al. Seharusnya aku tidak pernah mengizinkan kamu duduk menemaniku waktu itu."
Al diam saja mendengar caci maki Maya. Ia tidak menyangkal, malam ini ego lelakinya muncul mendominasi otaknya. Maya masih menunggu Al bersuara, meski ia sebenarnya tidak tahan menunggu tanpa kejelasan seperti saat ini.
"Sebenarnya kamu tidak rugi apa-apa dengan perginya aku, Al. Kita tidak sedang berkomitmen apa-apa, kan? Kamu masih punya gadismu. Aku cuma, ya, aku bisa mencari yang lain. Kamu, berbahagia sajalah dengan kekasihmu. Jangan merasa terganggu karena aku pernah singgah sebentar di hidupmu. Aku yakin, sebentar saja, kamu pasti bisa melupakanku. Aku tidak ingin menghancurkan hubungan kalian. Melihatmu bahagia, itu sudah cukup bagiku."