Mohon tunggu...
Sejo Qulhu
Sejo Qulhu Mohon Tunggu... Penulis - Travel Writter Travel Vloger

Saya santri kampung, tapi bukan santri kampungan!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sumur Keramat Ciraya

5 Februari 2021   15:03 Diperbarui: 5 Februari 2021   15:15 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejo Qulhu, dok. pribadi

 

Sejo Qulhu

Bau asap kemenyan dan buhur menyelimuti rumah Ki Jaka. Malam jumat adalah malam yang pas untuk Komar mandi ke Sumur Keramat. Komar yakin dengan ucapan banyak orang, "Kalau mandi di sumur itu hasil maksud akan terkabul," Kata Rohman teman sebayanya yang kini punya usaha toko bangunan. Komar bersandar di kursi dekat kamar pertapaan Ki Jaka. Malam ini banyak sekali tamu  yang mendatangi Rumah ki Jaka.

Satu persatu tamu dipersilakan masuk ke kamar pertapaan Ki Jaka. Kini giliran Komar memasuki kamarnya, Ki Jaka melemparkan segenggam bunga tujuh rupa di hadapan Komar.

Jantung Komar berdebar-debar, ia memikirkan apa yang barusan Ki Jaka peragakan adalah sesat atau tidak. Sepintas terbayang semenjak Korona melanda, Komar di-PHK dari pekerjaannya di Jakarta. Kini ia kembali menganggur di tanah kelahirannya Cikolot Desa Pelangi. Tak ada cara lain pikirnya, selain doa dan arahan Ki Jaka.

Lalu Komar menyodorkan rokok Gudang Garam Merah di dekat paha Ki Jaka yang sedang duduk bersila. Lalu Ki Jaka menyulut dan mengisap rokoknya.

"Saya ingin mandi di Sumur Keramat Ki," ucap Komar.

Ki Jaka memejamkan matanya seolah membaca badan Komar juga situasi di Sumur Keramat.

"Sebelum mandi di sumur itu kamu harus merapalkan mantra dulu di makam keramat Ki Jaga Raksa. Itu guru saya Mar. Setelah itu mandinya pakai boeh (Kain putih pembungkus jenazah). Cabut rambut tujuh helai. Terakhir, gayungnya pakai batok kelapa ambil 7 gayung lalu mandikan di sekujur tubuh tanpa mengeluarkan napas sambil berharap apa yang kamu inginkan Mar," ucap Ki Jaka. Ia menghisap rokoknya kembali dengan nikmat.

"Baik, Ki." jawab Komar khidmat.

"Cepat ke sana Mar... Ini malam yang bagus Jumat kliwon."

Komar menyalami Ki Jaka.

***

Letak sumur keramat berada di bukit gunung Ciraya. Komar mendaki sendirian dengan membawa bekal seadanya. Ia sorotkan senter di hadapan jalanan yang terjal. Suara jangkrik dan tonggeret terngiang di telinganya. Komar ingat pesan Ki Jaka Ketika di perjalanan melihat yang aneh-aneh, jangan takut teruskan perjalanannya hingga sampai.

Komar tak berani menoleh ke kanan dan ke kiri. Sesekali ia melihat cahaya putih melintas di depannya secepat kilat. Suara wanita tertawa. Ia terus bertahan di pendakiannya jantungnya berdebar-debar. Komar melihat plang Makam Keramat Ki Jaga Raksa dan Sumur Keramat. Komar tersenyum sembari termengah-mengah.

Mulut komar berkomat-kamit merapalkan mantranya di makam Ki Jaga Raksa. Selepas berdoa Komar menghadapkan mukanya ke langit. Ia melihat bulan yang mulai menguning bulat. Ia menyegerakan mandi dan mengganti bajunya dengan boeh. Ia laksanakan apa yang Ki Jaka perintahkan padanya. Komar mendekat ke Sumur kobakan, sumur yang tidak terurus banyak lumut juga rumput liar menutupi kobakan. Di dalam kobakan sumur banyak sampah plastik, dedaunan airnya keruh, tapi Komar tetap melangsungkan perintah Ki Jaka. Semua perintah Ki Jaka sudah ia tunaikan. Waktu sudah pukul 02.00 dini hari, Komar bersegara kembali ke rumahnya hingga tertidur pulas.

***

Ruminah menghela nafasnya dalam-dalam ketika mendengar dengkuran suaminya yang telentang di resbang. Sudah pukul 07.00, Komar belum bangun juga.

Ucapan Dudi masih terngiang di pikiran Ruminah. Dudi sering memergoki Komar di Rumah Ki Jaka.

"Awas Rum. Si Komar jangan sampe rusak akidahnya!" ucap Dudi.

"Iya Kang," jawab Ruminah sembari membawa pakaian yang sudah ia setrika. Ia hendak pergi ke rumah Nani majikannya.

Ruminah hanya bisa pasrah banting tulang untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Terkadang Ruminah geram ketika suaminya memorotinya untuk membeli rokok dan menghabiskan hingga satu bungkus satu hari. Kulit pergelangan tangan Ruminah mengelupas dirongrong sabun sedikit demi sedikit walaupun upahnya tak seberapa menjadi buruh cuci.

Dari pagi hingga sore pakaian terus ia kucek dengan sabun. Ia paksa kulit tangannya walaupun perih dirasa. Telunjuk kanan dan jempol kiri ia tambali dengan handsaplast agar mengurangi rasa perih yang ia derita.

***

Sore hari, Komar terbangun dari pembaringannya. Ia merasakan gatal-gatal di tubuhnya. Komar melihat kulit pergelangan tangannya dipenuhi bentol bintik-bintik merah seperti bekas gigitan nyamuk.

Sembari menunggu Ruminah tiba, Komar mengepulkan asap rokok di ruangan tengah rumahnya. Pengap terasa oleh Iwan anak Komar usia delapan tahun sedang duduk di dekatnya. Iwan tak hentinya terbatuk-batuk rumah bilik hanya satu jendela pentilasi udara pengap oleh asap rokok. Ruminah mendorong pintu Rumahnya.

"Mana hasil penantuanmu Rum?" tanya Komar.

Ruminah menghela nafas ia berdiri mematung di hadapan suaminya.

"Ma... Asep belum makan. Tadi kata ibu guru Asep belum bayar SPP," gerutu Iwan.

Ruminah hanya lesu mendengarkan ucapan mereka berdua.

"Iya Sep. Sabar ya Nak," jawab Ruminah.

Ruminah menuju dapur, lalu diadang suaminya. Tangan Komar menelisik ke saku gamis istrinya.

"Hah! Kerja dari pagi sampe sore cuma dapet segini?" Komar membentak.

Ruminah merebut kembali uang 50 ribu rupiah yang berada di genggaman Komar. Tamparan mendarat di pipi Ruminah, plak. Iwan tersedu-sedu melihat kedua orangtuanya berkelahi. Air mata Ruminah mengalir hingga dagu. Tangannya mengusapusap pipinya yang merah lebam. Komar menggandelkan tas Kanderon seraya membanting pintu dengan kencang brag. Ia lekas menuju kediaman Ki Jaka.

Langit mulai redup. Rumah bilik berukuran 4x6 itu meninggalkan keluh tangis.

***

Komar duduk termangu di hadapan Ki Jaka. Para tamu antusias mendengarkan gurauan Ki Jaka yang sedang duduk bersila. Bagi Komar, tampang Ki Jaka memang menyeramkan ia menggenakan jubah hitam kepalanya dililit udeng juga bulu di bawah bola matanya hitam diberi sifat. Terdengar beberapa kali Ki Jaka terbatuk-batuk. Batuk Ki Jaka semakin keras, para tamu malu untuk menutupi hidung.

"Waduh... Usia saya sudah tua. Wajar penyakit saya sering kambuh. Dulu sempat ke dokter, katanya sih saya punya penyakit asma bronkitis," Ki Jaka mengelap tangannya yang terdapat bercak darah.

Sebetulnya malam ini Komar hendak menanyakan kenapa setelah ia mandi di sumur keramat, badannya terasa gatal-gatal. Ia menunggu tamu selesai konsultasi pada Ki Jaka.

Tetiba di sela-sela itu Ki Jaka terbatuk kencang, ia tertelentang di keramik yang beralaskan tikar. Tangannya menyilang memegang dada.

Komar dan tamu yang lainnya terperanjat, mereka tak berani mendekati Ki Jaka.

"Ki Jaka...," teriak Komar. Tangannya menepuk-nepuk lengan otot Ki Jaka. 

Biodata

Sejo Qulhu adalah nama pena dari Setiawan Jodi Fakhar. Youtuber Muda Banten dan Relawan Rumah Dunia yang mempunyai cita-cita ingin menjadi penulis best seller internasional juga ingin menjelajahi dunia.

Mahasiswa UIN Banten itu Pernah juara 2 Menulis Cerpen di Writting Chalenge, Juara 3 Badminton Tingkat Kabupaten Pandeglang. Pemenang Undian Mobil Pajero Tap Mantap Tokopedia 2019.

Pengalaman Organisasi; Kumandang, PMII, UKM PRIMA dan Rumah Dunia hingga kini.

Motto Hidupnya "Hidup adalah Kompetisi"

Jika ingin lebih dekat, kunjungi IG @sejo_qulhu FB Setiawan Jodi Fakhar, Twitter @Squlhu, Youtube Sejo Qulhu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun