Mohon tunggu...
Syarif Burhan
Syarif Burhan Mohon Tunggu... wiraswasta -

freelance di kontraktor bangunan, menulis di jejaring sosial dan blog

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Elegi Bukit Pinus

1 Februari 2012   02:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:13 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

''mbak siapanya mas Dewa''?

''tidak penting siapa Aku, Aku hanya mau tahu Dewa dimana'', kataku ngotot.

Sita bingung, namun mungkin karena takut melihat emosiku, Ia lantas menunjuk

''di sana mbak, tak jauh kok, sebenarnya Aku harus pulang, tapi tak apalah, mbak sudah menolongku tadi. jika mbak memaksa, Aku akan mengantar ke tempat peristirahatan mas Dewa'', katanya sambil memegang tanganku. Aku mengangguk angguk tanpa berkata, seperti robot, Aku diam saja saat Sita menggandeng tanganku berjalan.

Kami segera bersanding, beriringan ke tempat Dewa, di sepanjang jalan kami banyak diam. Meski banyak pertanyaan di ruang kepala, Aku sepenuhnya tunduk kemana Sita membawaku. Di sebuah tikungan Sita berhenti, seolah ragu

''mbak cantik, itu disana di dalam gerbang itu mas Dewa tinggal, kita masuk saja"'. Sita menunjuk dagunya ke rerimbun pohon kamboja dan akasia.

''ah, namaku Sri, Srikandi'', sadar belum memperkenalkan nama pada Sita. Ia tertawa kecil,

''nama dan orangnya sama bagusnya, pantas, tapi sungguh sayang", Ia berteka teki sekaligus memuji.

''sudahlah, kau pun manis, ayo kita kesana'', jawabku tak sabar.

Matahari berada di atas kepala saat kami memasuki gerbang, tak ada apapun disana, Aku semakin bingung, meskipun tak sanggup bertanya, takut Sita melepaskan petunjuk emas ini. Setelah memasuki gerbang aroma bunga kamboja semakin menusuk, di sana sini ada yang ada bunga kamboja yang berserakan, alang alang yang tak di pangkas dan tanah retak. Tiba tiba Aku tersadar, meski tak ada nisan, tapi suasana dan aura yang terpancar menandakan areal ini sebuah pekuburan. Sita diam saja, tapi terlihat mukanya pucat pasi. Bercampur rasaku di hati, ada heran, ada penasaran dan bahagia yang mendominasi. Sama sekali tak bisa menerka arti pucat pasi dari Sita.

oh kekasih

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun