Mohon tunggu...
Syarif Burhan
Syarif Burhan Mohon Tunggu... wiraswasta -

freelance di kontraktor bangunan, menulis di jejaring sosial dan blog

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Elegi Bukit Pinus

1 Februari 2012   02:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:13 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

''Dewa.. !!!, jeritku di dalam dada, bahkan Dejavu ini seolah sebuah magnet raksasa yang menuntunku untuk terus memeluk bayangmu. Pemandangan ini, sungguh mengingatkan pertemuan kita yang terakhir di Jogjakarta.

''sri, Aku harus pergi'', katamu, seolah acuh. Padahal aku tahu hatinya pecah saat mengatakannya.

''boleh aku ikut?, aku berjanji takkan berbuat aneh saat pernikahanmu'', sambil berkaca kaca, dan mengguncang bahunya yang bidang, Aku merayu. Dewa mengesah, seolah pertanyaan ini sebuah beban yang beratnya berton ton.

''Sri, jika kamu ikut, Aku tak yakin bisa menikah''

Seharian itu kami seolah  dua sejoli yang tak akan bertemu kembali, seolah besok tak ubahnya bayangan kelam yang memisahkan masa depan. Dewa berjanji, Ia akan menceraikan segera Meta setelah anaknya melahirkan. Anak yang di benihkan adik kandungnya Rangga. Meski pada awalnya Aku tak setuju, kenapa adiknya yang melakukan , justru harus Dia yang bertanggung jawab?.

''Tidak Sri, Ini tanggung jawabku, dulu Rangga masih muda ketika ini semua terjadi, orang tua kami sibuk di Jakarta. Sementara Aku sibuk disini, Ia kurang perhatian dan kasih sayang, Jika petaka ini bukan aku yang tanggung, Aku akan di hantui dosa Rangga, aib Meta dan kehormatan keluarga kami'', katamu meyakinkan kekhawatiran ku.

''toh Aku tak lama, dua bulan setelah menikah, Aku meceraikannya. tepat saat Ia melahirkan''.

Seperti biasa Dewa menghipnotis raguku, Ia begitu bijak, begitu peduli dengan hak orang yang di kasihinya, untuk itulah , meski seluruh hatiku remuk, Aku sungguh malu dan egois jika memaksa Ia menolak kewajiban, yang sesungguhnya mata rantai dari pribadi Rangga, adiknya yang memiliki karakter seperti bumi dan langit. Rangga begitu jahat, setelah menghamili Meta, di kemudian hari merampok sebuah toko emas, hingga satu butir peluru menamatkan hidupnya.

Suara deru motor menyadarkanku dari lamunan. Di kejauhan tampak rimbun pucuk pucuk pohon pinus yang melambai terseok angin, Aku terus melangkah ke balik bukit yang berhiaskan batu batu besar. Di sana kata penduduk lokal ada mata air jernih yang biasa di sebut ''Tuk Wudal'', beberapa pasang anak sekolah dengan seragam putih abu-abunya terlihat asyik bercengkrama, dasar anak anak bandel, ''kutukku dalam hati''. Jam baru menunjukkan angka sebelas, belum waktunya mereka pulang.

Sampai di sana, Aku mendekati air jernih yang keluar dari tanah cadas, ku basuh mukaku di situ, sementara hari telah beranjak siang. Terik matahari seolah membuntuti ku, setelah puas memanjakan penatku, Aku duduk di salah satu batu yang pipih kehitaman, tiba-tiba Aku mendengar tangis seorang perempuan di antara anak anak sekolah itu. Dahiku mengernyit, apalagi ini?, jangan ada tangis lagi, cukup aku seorang perempuan yang berteman tangisan. Seorang gadis remaja berumur likuran, ABG kata orang, tengah bertengkar dengan teman pasangannya, anak itu menghardik dan menampar pipinya, disaksikan temannya yang lain, tanpa seorangpun menolong anak itu. Dengan cepat Aku memburu ke sana,

''apa yang terjadi''?, tanyaku lantang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun