`Kau tahu hotel yang terdekat Pierre?`
Pierre mencari jawaban.
`Di Alen Mak, tiga mil dari sini. Kenapa?`
`Aku pikir aku butuh istirahat jika temanku tidak datang. Aku butuh kehangatan malam ini` Anna menutup kata terakhir dengan sedikit memonyongkan bibirnya yang sensual. Sebuah kerlingan genit dari mata bulat dengan alis yang persis semut beriring dikerjap-kerjapkan sedemikian rupa [seakan-akan memamerkan bulu matanya yang lentik]. Lelaki manapun akan sadar bahwa itu adalah sebuah ajakan.
`Apa kau mau mengantarkanku kesana jika hujan reda?` Anna mengulurkan badannya lebih dekat pada Pierre.
Pierre merasa tubuhnya sedikit bergetar. Rencananya ia akan memaksa Anna untuk menyerahkan semua perhiasannya lalu meninggalkan perempuan itu sendirian. Ia belum pernah melakukannya, mengancam perempuan baik-baik. Tapi Anna seperti mengundang masuk dirinya ke sebuah dunia yang membuat kepalanya berdenyar.
Anna menarik lebih kencang ikatan jas hitam yang melilit tubuhnya. Membentuknya menjadi sebentuk lekuk yang penuh dan sintal. Dengan sigap ia membusungkan dadanya lebih tinggi.
`Bagaimana?`
Pierre mengiyakan. Goresan-goresan dan carut marut kalimat kotor di tembok halte membuatnya teringat tentang sesuatu. Entah kenapa, wajah istrinya muncul kembali. Seorang perempuan setengah cantik berusia tiga puluh sedang menunggu di rumah. Ia terbayang kenakalan istrinya di tahu-tahun pertama pernikahan. Bercinta di tangga, karpet ataupun berdiri menempel di dinding. Getar-getar yang membuatnya begitu kembali menjadi begitu bergairah.
Anna membuka telapak tangan dan menjulurkannya kearah hujan. Beberapa tetes hujan sebesar jagung mendarat di ujung jemarinya.
`Aku suka hujan. Kau tahu kenapa?`