Mohon tunggu...
Oktarano Sazano
Oktarano Sazano Mohon Tunggu... -

pencari hikmah

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cerpen : Lelaki yang Berteduh

29 Januari 2011   03:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:05 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Jarum-jarum gerimis yang menancap di bumi memaksa Pierre membalikkan tubuhnya. Kakinya yang panjang memudahkannya membuat langkah-langkah yang besar. Ia kuatir sebelum ia berlindung air akan tumpah dari langit dan membuatnya basah kuyup dan ia tidak suka itu. Beruntung ia mendapatkan tempat berteduh, halte bus tua yang sudah tidak digunakan lagi. Pierre menjangkau punggungnya dengan tangan kiri. Hanya sedikit bagian yang basah. `Untung saja` bisiknya.

Cuaca memang tidak menentu beberapa hari ke belakang di Ruse, kota di bagian utara Bulgaria. Kadang hujan di siang hari, pagi hari atau bahkan dini hari tapi tidak pernah malam hari. Keyakinan itu juga yang membuat Pierre tidak membawa jas hujan. Sekali ini ia kena batunya.

`Sial!` Pierre menggerutu ketika melirik arlojinya. Jarum pendek sudah menyentuh angka sepuluh. Jika hujan tidak segera reda ia akan pulang terlalu larut dan istrinya, Barbara akan mengamuk. Tapi yang lebih jeleknya lagi ia kalah bermain judi malam ini. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung seratus dua puluh ribu Lev! Dan ia berhutang separuhnya pada si pendek Dimitri, rekannya berjudi. Kepalanya mau pecah! Dari mana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Dengan gelisah Pierre menggoyang-goyangkan badannya, mengumpat tidak jelas.

`Kau tidak bisa menghentikan hujan hanya dengan umpatanmu, Tuan`

Suara yang mengejutkan Pierre.

Pierre memutar tubuhnya dan mencari asal suara tadi.

Halte itu tidak memiliki lampu dilangit-langitnya tetapi penerangan jalan lima meter dari tempatnya berdiri berpendar kekuningan memberikan cukup cahaya untuk ia bisa melihat orang yang terjebak bersamanya dalam hujan. Ia baru sadar jika ia tidak sendirian di tempat itu, dan bersama… seorang perempuan!.

`Maaf saya tidak melihat anda, nyonya`

`Tidak apa-apa.`

Perempuan itu maju selangkah, memberikan kesempatan buat lelaki di depannya memandang lebih jelas. Rambutnya dipotong pendek dengan warna coklat terang seperti kacang goreng yang biasa di sajikan Barbara saat ia menonton televisi. Jas hitam mengkilap dengan bulu-bulu berwarna keabuan melekuk manis membentuk huruf u mengelilingi lehernya yang putih kemerahan. Rahang yang sempurna dan mata hijau yang menentramkan. Ia taksir umurnya dua puluh empat dan dari keluarga kelas atas.

Perempuan itu sepertinya sedikit tidak nyaman dengan tatapan Pierre. Dengan cepat ia mengangkat pergelangan tangan dan menunjuk beberapa senti dari pangkal telapaknya `Jam berapa sekarang, Tuan?`

`Oh, maaf` Pierre tersentak. Buru-buru ia melirik kembali arloji. Melihat sosok di depannya ia menjadi lupa dengan permasalahan dan tentu saja amukan Barbara.

`Jam sepuluh malam lewat beberapa menit`

Perempuan itu menghela nafasnya.

Sunyi sesaat.

Sedikit canggung, Pierre berinisiatif memecah keheningan. `Perkenalkan nyonya, saya Pierre`

`Kau orang Prancis?` tanya perempuan itu. `Bonjour monsieur? Comment allez vous?`
Mata Pierre membesar. `Tres bien.` dengan aksen parisien yang kental. `Vous parlez francais?` sambungnya dengan cepat.

Perempuan itu mengernyitkan keningnya, seolah sedang berfikir sebelum akhirnya tertawa kecil. `Tidak-tidak, bahasa Prancisku payah sekali. Tapi aku tahu kau dari Prancis saat kau menyebutkan namamu`

Pierre tersenyum. `Kau melakukannya dengan baik, aku mengira kau juga orang Prancis`

`Benarkah?` mata perempuan itu berbinar.

`Benar` Pierre berusaha meyakinkan

Senang dengan pujian itu si perempuan mengajak Pierre bersalaman.

`Aku Anna, Anna Bashkehayova, panggil saja aku Anna dan aku belum menikah`

`Oh, maaf nona`

`Tidak apa-apa`

`Kau orang baru di sini, nona? Sepertinya aku baru melihatmu`

Anna mengatup kedua bibirnya membentuk garis lurus.`Iya, baru malam ini. Aku baru saja datang dari Sofia beberapa jam yang lalu. Aku sedang menunggu teman.`

Tidak ingin di cecar pertanyaan lebih lanjut Anna balik bertanya. `Bagaimana denganmu?`

`Aku sudah cukup lama di Ruse. Sekitar delapan bulan yang lalu. Datang langsung dari Paris`

`Waktu yang cukup untuk mengenal kota ini dengan baik bukan? Kau sudah menikah?` selidik Anna.

Pierre sedikit tergagap, ia ingat istrinya. Tapi dengan cepat Pierre mengendalikan dirinya. `Maaf kau bertanya apa?`

Anna mengulangi pertanyaannya. `Kau sudah menikah?`.

`Belum`

Pierre tidak tahu mengapa ia mesti berbohong, hati kecilnya yang menuntun. Sudah terlalu larut untuk pulang dan ia bersama seorang perempuan cantik. Ia merutuk dirinya sendiri tapi ia bisa merasakan naluri laki-lakinya tumbuh. Usianya tiga puluh tahun dan belum terlalu tua untuk perempuan seperti Anna.

Kepala Pierre berdenyut keras. Beberapa gelas Bulgarian Diamond di meja judi membuat otot-otot wajahnya menegang. `Sial, jangan sekarang,` ujarnya dalam hati. Tambah lagi wajah Barbara menjejal di fikirannya. Barbara yang setengah cantik tapi mulai membosankan muncul dimana-mana.

Ia berkenalan dengan Barbara di atas jembatan Mirabeau dan Seine yang mengalir dibawahnya. Ketika itu Barbara berusia 19 tahun, ramping dan mempesona seperti layaknya gadis-gadis Prancis. Mereka menikah secepatnya, pada tanggal baik pertama setelah perkenalan itu. Ayah Barbara takut Pierre berubah fikiran. `Tidak ada pemuda lain yang pantas dengan Barbara, ia mahasiswa Sorborne dan akan bekerja di kantor pemerintah. Barbara akan berkecukupan selamanya,` katanya kepada Pauline, istrinya yang menunjukkan sikap keberatan terhadap perkawinan yang buru-buru ini.

Lulus dari Sorborne, ia memutuskan bekerja di sebuah agen properti yang cukup besar di Paris. Lalu anak-anak itu lahir di tahun berikutnya. Jean Apollinaire, Paul Reverdy. Barbara mulai sibuk dengan anak-anak. Ia suka anak-anak tapi perhatian Barbara lebih besar pada mereka. Mengisi kekosongan ia mulai terbiasa berjudi. Tidak banyak.

Tapi semuanya berubah sejak sembilan bulan yang lalu. Selama hampir lima tahun bekerja, perusahaan tempatnya mencari nafkah membuka cabang di Bulgaria dan mengirimkannya kesana. Ia semakin kesepian hanya berjudi yang membuatnya bersemangat. Salah seorang teman memperkenalkannya pada Dimitri, lelaki pendek yang ramah. Semula hanya permainan judi belaka tapi dengan licik ia mengurungnya pada kegilaan semu. Blackjack dan dadu. Pertama hanya sekedar beberapa lev, namun terus naik puluhan lev, ratusan lev, dan akhirnya ribuan lev. Puncaknya malam ini. Ia bisa kehilangan rumahnya dan juga Barbara!

Hujan menetes dari ujung-ujung atap halte bus yang berwarna terakota dan membentuk kubangan di dekat kakinya. `Bangsat` gumamnya. Wajah Dimitri yang bulat seolah menatap dari pantulan air dengan mata yang mengejek. Sungguh, ia tidak takut dengan Dimitri tapi ia memiliki beberapa pengawal bertubuh kekar yang membuatnya harus tahu diri. Mungkin beberapa hari lagi mereka akan datang ke rumah dan membuat keributan besar! Pierre memejamkan matanya tidak berani membayangkan kejadian yang lebih tragis lagi.

Menit-menit yang senyap.

`Kau tidak apa-apa?`

Suara Anna membawa kembali kesadaran Pierre.

`Ya, aku tidak apa-apa. Sedikit tidak enak badan tapi tidak apa-apa`

Anna menarik rambutnya keatas daun telinga dan tersenyum

`Aku juga merasa begitu , hidungku terasa dingin dan mengeras`

Dalam temaram hujan Pierre mendapati wajah Anna yang penuh dan kilauan kebiruan yang melekat di ujung telinganya. Jelas itu sebuah anting dengan permata yang besar. Tentu harganya tidak murah. Puluhan ribu Lev atau bahkan ratusan ribu!

Sel kelabu di kepala Pierre bekerja dengan cepat. Tidak perlu analogi yang rumit untuk membuatnya mengerti kesempatan yang tidak datang dua kali. Hujan yang kesetanan membangkitkan semua keberanian Pierre.

Pierre memperhatikan Anna lebih lekat. Menyusun rencana.

Anna bisa merasakan perubahan itu. Wajah Pierre yang sempat kebingungan menjadi tajam saat memandang dirinya. Ini bukan kebetulan yang disengaja. Mereka hanya berdua, terperangkap dalam hujan dan ia tidak tahu persis dengan siapa ia berbicara. Yang ia tahu Pierre seorang laki-laki dan laki-laki dimana-mana sama saja! Seperti anjing mereka menggigit siapapun yang mereka inginkan. Jika saat ini tidak hujan mungkin ia sudah aman di Bucharest atau bahkan Praha.

Aman, ya aman. Aman dari kejaran orang-orang yang ingin menghabisinya. Dua belas jam yang lalu ia berhasil kabur dari cengkraman Rosemary setelah membunuh lelaki hidung belang yang dikenalnya seminggu lalu. Lelaki gendut penuh lemak yang tidak tahu diri. Memukulnya setiap kali ada kesempatan berkencan. Kejinya Rosemary memaksanya terus melayani lelaki tadi, ia tahu tubuhnya adalah ladang yang siap digarap dan Rosemary adalah petaninya. Mengisi kantung-kantung dengan uang hasil perzinahan.

Akhirnya pada suatu kesempatan ia memperoleh celah kebebasan itu. Satu malam di Sofia di sebuah hotel berbintang empat ia menghabisi pelanggannya dengan cara menggorok lehernya. Kematian yang pantas buat anjing. Ia suka idenya anjing, ketamakan dan membunuh. Secepat kilat ia berkemas dan membawa semua yang ia miliki. Rencananya ia ingin memulai hidup lagi. Menjadi perempuan baik-baik di tempat yang tak seorangpun mengenalnya. Ia meninggalkan Sofia dan melewati Zlatitsa, Troyan, menembus lembah pebukitan untuk sampai di Lovec, melanjutkan menuju Byala dan tiba di Ruse. Ia menghirup udara basah. Jika bukan karena hujan maka hanya tinggal satu jam saja dan ia akan sampai di Giurgiu, Rumania.

Anna Bashkehayova, seorang perempuan di umur pertengahan dua puluhan. Memberikan kenikmatan yang tentunya dengan imbalan yang layak. Pelacur, kata orang-orang di luar. Tapi ia tidak ambil pusing. Kehidupan begitu keras dan menjadikannya tegar. Dulu ia memang polos namun sekarang dia perempuan matang. Yang mengerti bagaimana menampilkan godaan agar lelaki terpikat. Telah dipelajarinya gelagat yang bisa membuat lelaki bertekuk lutut.

`Kapan temanmu akan menjemputmu?`

Pierre menahan intonasinya terdengar wajar. Ia ingin Anna tidak merasa terganggu. Hanya dengan menjadi lelaki baik maka ia akan mendapatkan perempuan muda itu dengan mudah.

`Aku tidak tahu. Sebenarnya aku merasa sedikit takut di sini.` Anna merendahkan nada suaranya, terdengar seperti meminta naungan. Ia sempat memperhatikan Pierre , pria dewasa tanggung , sedikit berbau alkohol. Laki-laki rumahan yang bosan dengan kehidupan pernikahan yang datar. Semula ia ingin mencoba lebih manis, mengecoh Pierre menjadi perempuan yang sedung menunggu. Tapi tatapan matanya yang berubah membuatnya mawas diri. Seperti kelinci ia dilumat oleh mata srigala yang haus akan sesuatu. Ia akan memainkan peran menjadi perempuan muda penggoda kelas atas dan akan memberi Pierre pelajaran. Ketika lelaki itu sudah tunduk maka ia bisa memanfaatkan Pierre untuk menyeberang perbatasan.

`Kau tahu hotel yang terdekat Pierre?`

Pierre mencari jawaban.

`Di Alen Mak, tiga mil dari sini. Kenapa?`

`Aku pikir aku butuh istirahat jika temanku tidak datang. Aku butuh kehangatan malam ini` Anna menutup kata terakhir dengan sedikit memonyongkan bibirnya yang sensual. Sebuah kerlingan genit dari mata bulat dengan alis yang persis semut beriring dikerjap-kerjapkan sedemikian rupa [seakan-akan memamerkan bulu matanya yang lentik]. Lelaki manapun akan sadar bahwa itu adalah sebuah ajakan.

`Apa kau mau mengantarkanku kesana jika hujan reda?` Anna mengulurkan badannya lebih dekat pada Pierre.

Pierre merasa tubuhnya sedikit bergetar. Rencananya ia akan memaksa Anna untuk menyerahkan semua perhiasannya lalu meninggalkan perempuan itu sendirian. Ia belum pernah melakukannya, mengancam perempuan baik-baik. Tapi Anna seperti mengundang masuk dirinya ke sebuah dunia yang membuat kepalanya berdenyar.

Anna menarik lebih kencang ikatan jas hitam yang melilit tubuhnya. Membentuknya menjadi sebentuk lekuk yang penuh dan sintal. Dengan sigap ia membusungkan dadanya lebih tinggi.

`Bagaimana?`

Pierre mengiyakan. Goresan-goresan dan carut marut kalimat kotor di tembok halte membuatnya teringat tentang sesuatu. Entah kenapa, wajah istrinya muncul kembali. Seorang perempuan setengah cantik berusia tiga puluh sedang menunggu di rumah. Ia terbayang kenakalan istrinya di tahu-tahun pertama pernikahan. Bercinta di tangga, karpet ataupun berdiri menempel di dinding. Getar-getar yang membuatnya begitu kembali menjadi begitu bergairah.

Anna membuka telapak tangan dan menjulurkannya kearah hujan. Beberapa tetes hujan sebesar jagung mendarat di ujung jemarinya.

`Aku suka hujan. Kau tahu kenapa?`

Pierre memandang Anna dengan rasa penasaran

`Kita seperti butir-butir hujan itu, anak-anak hujan yang lahir dari langit, murni. Tapi kemudian Tuhan memilihkan tempat dimana mereka harus jatuh. Di tempat berlumpur, jalanan, atau bahkan di dalam sekuntum bunga. Butir-butir yang menyerupai masyarakat manusia. Mereka membawa cerita mereka sendiri-sendiri.` Anna menjentikkan jarinya membuang basah. Lalu ia menelusupkannya dengan pelan ke balik belahan jas hitamnya menyentuh dadanya.

Mata Pierre berkilat-kilat. Dulu sewaktu kuliah ia pernah ikut kelompok teater dan akrab dengan sajak-sajak Paul Eluard. Que voulez-vous nous etions desarmes, Que voulez-vous la nuit etait tombee,Que voulez-vous nous nous sommes aimes. Apa boleh buat kita tanpa senjata, apa boleh buat malam telah tiba, apa boleh buat kita saling bercinta. Ia memang tidak memiliki senjata apapun kecuali kekuatan fisik untuk memaksa Anna tapi ia juga tidak ingin membuang kesempatan lain, bercinta dengan Anna.

Pikirannya melayang-layang. Bayangan masa muda sesaat belum menikah. Menikmati percintaan dengan perempuan yang baru saja dikenalnya sehabis pulang dari kampus. Ataupun bersama teman-teman menghabiskan malam di bar-bar murahan dan menggoda gadis-gadis berdada montok yang berseliweran. Betapa mengasyikkan. Seperti permainan fikiran. Mereka-reka apakah sebenarnya yang ada dalam diri seorang gadis sehingga degup jantungnya bertambah kencang ketika mereka sekedar membalas rayuan yang mereka berikan. Rahasia yang tersembunyi dalam seorang gadis. Ya itulah yang membuatnya begitu bersemangat. Tindak tanduk Anna. Semua tingkahnya begitu terbuka. Seperti menawarkan kebahagiaan baru yang demikian rahasia. Walaupun baru saja bertemu tapi getar itu demikian hebat. Anna, seakan-akan perempuan yang menyerahkan dirinya utuh untuk di relief. Aturan main akan ditentukan oleh dirinya. Pasrah dijadikan lahan permainan laki-laki tergoda. Seperti waktu itu ketika ia masih melajang, bersama teman-teman menebak-nebak isi hati perempuan yang mereka inginkan menjadi kekasih. Ia begitu yakin Anna berusaha menariknya, memikatnya dengan tawaran, `Ayo siapakah aku. Carilah tahu siapa diriku sebenarnya`.

Anna sudah tahu semuanya. Lelaki itu menginginkan dirinya. Umpan kerapuhan yang ia tawarkan telah memikat kuat. Kail pancing dengan umpan terhebat. Rahasia dan godaan.

Jam kota berdentang sebelas kali. Jalanan semakin sepi. Tapi hujan belum berhenti.

Pierre memutar kepalanya. Rencananya berubah. Mungkin lebih baik jika ia sedikit bermain-main dengan Anna. Yang harus ia lakukan adalah mengajak perempuan itu ke hotel dekat Tutrakan. Memaksanya melucuti pakaian dan bercinta dengannya. Lalu meninggalkan perempuan itu begitu saja.

`Kau sedang memikirkan sesuatu, Pierre?`

Seperti tertangkap basah merencanakan sesuatu, Pierre mengelak.

`Tidak , tidak. Aku suka dengan kata-katamu yang tadi`

`Pengalaman hidup, kau mengerti itu bukan?` Anna melanjutkan.

`Sepertinya kau tahu banyak..` Pierre mengembangkan senyum. Simpul. `Tahu banyak … Tidakkah terlalu berbahaya melakukan ini semua. Bisa jadi besok ia akan melaporkan dirinya dan semuanya akan terbongkar` bisiknya pelan. Hatinya gentar. Tapi kilatan cahaya dari telinga perempuan muda itu mengaburkan akal sehatnya.

`Aku harap hujan akan reda sebentar lagi. Aku sedikit lelah.` Anna memeluk dirinya sendiri dan dengan sengaja ia menjatuhkan kepalanya di pundak Pierre.

Ada perasaan aneh yang merambat di dada Pierre, meski demikian ia membiarkan Anna melakukan itu. Jas hitamnya sedikit terbuka dan belahan dadanya merona. Pierre merasakan kepalanya mulai berdenyut-denyut. Sesuatu membara dalam dirinya. Sebenarnya ia tidak pernah melakukan pengkhianatan pada istrinya. Meski berjudi tapi ia tidak pernah berselingkuh. Perempuan ini benar-benar membuatnya galau. Jika ia bercinta dan mengambil semua perhiasan Anna lalu besok ia tertangkap maka Barbara akan meninggalkannya saat itu juga.

`Aku akan membunuhnya` senyum menyeringai merenggang di bibir Pierre ` Ya, aku akan membunuhnya. Pura-pura membawanya ke hotel lalu membawanya ketepian sungai Danube. Mencekiknya, mendorong tubuhnya ke arus yang deras. Tidak akan ada yang tahu. Kota ini terlalu kecil sejak dia menginjakkan kakinya pertama kali. Hujan akan menyurutkan langkah siapapun untuk keluar rumah. Besok pagi , mayatnya akan ditemukan jauh di Svishtov atau bahkan oleh polisi perbatasan Rumania di Zimnicea. `Pierre mengeraskan rahangnya. `Tidak akan ada yang tahu`

Menit-menit lenyap dalam sepi. Angin dingin mengulum mereka berdua. Anna bisa merasakan sesuatu yang mengancamnya. Ia tidak mungkin mengacaukan skenario yang ia buat sekarang.

Anna merapatkan tubuhnya. Kepalanya mendongak dan mendapati mata Piere yang biru dengan hitam yang pekat.

`Aku kedinginan Pierre, maukah kau memelukku?`

Sekarang Pierre merasa makin menemukan jalan. Sebuah kemerdekaan dari sebuah hidup yang membuatnya jengah. Anna bagai sebuah oase yang menyejukkan ketika gairah membakar dirinya. Ia membuka kembali kenangan beberapa tahun pernikahan setelah anak-anak lahir, saat dia akan melakukan dengan istrinya. Persenggamaan yang muram. Layu dan kaku. Perjuangan yang berat seperti sebuah keengganan menerimanya. Kemudian semua akan berakhir dengan kemarahan dan pertengkaran. Mungkin ini sebuah jawaban atas kebosanannya selama ini. Melalui Anna ia akan kembali menjadi seorang laki-laki. Besok semua masalah akan beres dan ada semangat baru bersama Barbara.

Pierre melapangkan tangannya. Merengkuh Anna dalam pelukan. Anna menurut begitu saja. Sebenarnya ia sudah tahu banyak cara bercinta. Semua tipe lelaki pernah ia coba. Mereka datang , menyuruhnya membuka baju, kemudian menerkam dirinya seperti anjing buas. Menggigit, menusuk , berdarah-darah atau sekedar menggelepar-gelepar di atas tubuhnya dengan singkat sebelum akhirnya mendengkur keras dan menendang dirinya dengan uang. Busuknya mereka memperlakukan ia seperti sundal, sampah yang layak di permalukan. Pernah sekali ia berharap akan keluar dari kehidupan nista dan mencari laki-laki yang tepat. Dalam pelukan Pierre seakan ada harapan baru yang lahir dari hatinya.

Awan gelap tidak berhenti memuntahkan butiran hujan yang ada dalam perutnya. Pierre semakin mengencangkan otot-otot tubuhnya. Ia merasa kuatir rencananya akan buyar jika terlalu lama mengendap. Wajah Dimitri dan pengawalnya, keengganan Barbara, rumah, anak-anak, dan permata dalam anting Anna berputar-putar kencang masuk ke dalam otaknya, silih berganti. Sementara Anna semakin melesakkan tubuhnya. Pierre terbawa. Ia mengelus rambut Anna dan membalikkan tubuh Anna sedemikian rupa sehingga dengan gerakan berikutnya Anna sudah tak berdaya dalam rangkulannya. `Jika tidak sekarang maka tidak sama sekali! Sekarang Pierre! Sekaranglah waktunya!` suara-suara dalam kepala Pierre mendesak mengubah sendiri jalan cerita yang sudah ia atur dalam kepalanya. Anna terhenyak, sekarang mereka sudah begitu dekat. Ia mengatur rongga pernafasan, mengeluarkan desahan yang membuat Pierre semakin bergejolak. Lelaki itu akan jatuh dalam pelukannya dan menuruti semua kehendak. Besok, ia akan menikmati kebebasan dengan tubuhnya sendiri. Memilih jalan hidup. Memilih dengan siapapun ia inginkan . Seperti saat ini bersama Pierre.

Anna menekan badannya. Lebih lekat pada lelaki itu. Pierre menahan nafas. Ia tidak boleh membuat kesalahan. Tangannya merambat kepunggung Anna, mengeraskan jemari. Ia butuh jari yang kuat, satu kali cengkraman saja untuk menghabisinya. Anna membalas dengan melingkarkan tangannya ke pinggang Pierre dan memejamkan mata. Pierre merasa sekujur tubuhnya memanas. Ia menurunkan kepala dan mengatupkan matanya. Bibir Anna yang ranum tapi dingin menyentuh lembut tepi bibirnya. Pierre tidak mampu menahan nafsu yang memuncak dan melumatnya lebih dalam. Pertama kali dalam hidupnya ia mencium perempuan lain selain Barbara. Kedua belah tangannya mengatup batang leher Anna. Dalam detik yang demikian cepat Anna merasa dirinya terbawa dalam ingatan waktu tersiksa dalam rengkuhan anjing-anjing rakus dalam ruang gelap, seperti neraka, dadanya sesak, sebuah perintah mengalir deras dari kepalanya menuju urat di seluruh tubuhnya. Sejenak Pierre terlupa dengan niatnya. Kenikmatan yang menyengat sehingga Pierre tidak bisa membedakan rasa sakit yang menyayat leher dan kemerdekaan yang baru saja ia esap. Sebuah benda tipis tajam menembus pembuluh darah tepat di lehernya.

Pierre seharusnya mendapatkan perempuan itu, tapi ia tak bisa. Sebab ia jatuh lunglai di lantai yang pecah. Wajahnya tepat menghadap tanah yang rekah. Aroma tanah basah dan angin dingin membawanya ketepian sungai Seine bertahun-tahun yang lalu. Matahari di atas kepala, ladang gandum yang keemasan, sayur mayur dan Barbara yang datang padanya dengan seikat bunga viola dan jari yang terluka. Ia mengusap jemarinya dengan cinta dan menghiburnya dengan syair Rimbaud, tapi amis yang keluar dari jari Barbara menusuk hidungnya tak tertahankan dan lehernya semakin tercekat.

ma faim, Anne, Anne
Fuis sur ton ane
Fuis sur ton ane*

Saat itu bulan September di Ruse, tengah malam. Pertengahan musim gugur dan hujan yang semakin deras saja.

***
*Laparku, Anne, Anne
Lari di atas keledaimu
Lari di atas keledaimu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun