Bagaimana perasaan Anda apabila mimpi yang Anda alami saat tidur terasa sangat nyata atau bahkan, menjadi kenyataan?
Untung-untung jika bunga tidur tersebut sangat indah dan luar biasa. Katakanlah menjadi tuan putri kerajaan antah berantah misalnya. Menikmati hidup ala negeri dongeng yang menikah dengan pangeran berkuda putih.
Apalagi kalau pangerannya macam Chris Evans, Robert Pattinson, atau Cha Eun Woo. Bangun tidur pasti ngeces auto dimarahin emak. Haha.
Namun apa jadinya jika mimpi yang Anda lihat dan justru menjadi kenyataan merupakan kejadian pembunuhan yang mengerikan dan tak dapat dihentikan sama sekali?
Rasanya pasti nganu, trauma. Ingin curhat pasti dibilang gila karena tidak ada yang percaya tetapi jika tidak, batin pasti tersiksa.
“Amit-amit deh amit-amit!”
Dan horornya adalah, situasi semacam itu justru menjadi formula utama film yang akan kita bahas, Malignant. Sebuah film sakit terbaru besutan sutradara horor tercinta kita, James Wan.
Dibintangi oleh Annabelle Wallis yang telah menunjukkan performa aktingnya di genre horor melalui franchise Annabelle (2014-2017), film ini pun meraih skor sebesar 76% versi tomatometer dari rottentomatoes.com serta 6,3/10 poin dari imdb.com sejak artikel ini dipublikasikan.
Sinopsis
Diceritakan bahwa protagonis utama kita, Madison Mitchell harus mengalami serangkaian kejadian horor pasca menjadi korban KDRT oleh suaminya sendiri.
Entah bagaimana, Madison selalu bermimpi tentang peristiwa pembunuhan yang tampak sangat nyata. Untuk kemudian menyadari bahwa mimpi tersebut benar-benar terjadi dan pembunuhnya—siapapun itu—tampak terhubung dengannya.
Meskipun dilanda kekalutan dan kebingungan atas semua hal aneh yang menimpanya, Madison pun mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi guna melindungi dirinya sendiri.
Namun justru usaha tersebut hanya membuatnya tenggelam semakin dalam pada misteri yang malah semakin melekatkan dirinya dengan si pembunuh.
Orang tersebut mengenalkan dirinya sebagai Gabriel. Dan Gabriel bilang, ia tidak akan pernah pergi dari dirinya.
Alur Cerita yang Random dan Aneh tapi Menyenangkan
“Hmm oke. Hah? Sebentar-sebentar, gimana? Woah! Haha mantap.”
Kalimat di atas adalah secuit reaksi yang saya lontarkan sepanjang film yang yah cukup membuat saya bertanya-tanya, “saya sebenarnya sedang menonton film apa?”
Hal tersebut bukannya tanpa alasan. Sebab, pendekatan yang disajikan Malignant memang berubah-ubah, walaupun melaju dengan pasti hingga akhir cerita.
Awalnya, kita dihadapkan dengan sekelumit template horor ala Insidious dan Conjuring yang sanggup membuat bulu kuduk meremang oleh kengeriannya.
Lantas entah bagaimana, genre Malignant mendadak berubah dari sekedar horor menjadi full-thriller di mana para karakter dihadapkan dengan nuansa psikopat Gabriel ala series Hannibal Lecter dan Saw.
Dan jauh lebih edannya lagi, genre film kembali berubah menjadi full-action dibabak terakhir film dengan laga yang brutal dan sadis ala Deadpool.
Situasi semacam ini mungkin terbilang baru apabila Anda sering menonton horor.
Pasalnya, daripada mencoba konsisten dengan treatment film horor pada umumnya, kita justru diberi situasi acak yang bukannya tidak terbaca ritmenya, tetapi lebih karena memang tidak biasa saja.
Kita dituntun untuk melupakan setiap sensasi yang telah kita rasakan dari satu babak ke babak selanjutnya.
Maksud saya, awalnya kita dibuat merinding di babak pertama. Lalu dipaksa tegang dibabak kedua.
Lantas dengan meninggalkan semua atensi yang telah dibangun sebelumnya, kita justru "dihajar" oleh sensasi aksi yang alih-alih menakutkan, justru terasa menyenangkan.
Percaya tidak percaya, saya dengan anehnya malah tertawa ketika mendadak Wan menyajikan adegan pertarungan brutal yang eksplisit.
Mungkin karena saya sama sekali tidak berekspektasi adanya adegan laga nan gila akan terjadi. Jadi kerandoman Malignant terasa fresh dan unik.
Dipenuhi Eksperimen dan Nostalgia James Wan terhadap Film-Film Terdahulunya
Alih-alih dibungkus oleh elemen-elemen horor yang rapi dan dinamis, Malignant justru berasa dilematis.
Wan berperan layaknya seorang Chef yang mencoba mix & match resep terbaru masakannya dengan harapan mampu menampilkan hidangan baru yang akan mengubah seantaro dunia horor.
Tidak peduli apapun risikonya. Sesuai kalimat posternya, "A new vision of terror."
Saya pribadi bisa merasakan usaha Wan untuk merepresentasikan visi terbarunya mengenai pendekatan model ini.
Sayangnya usaha Wan masih belum sempurna. Menurut saya pribadi, Wan masih “takut-takut” mencoba, setengah-setengah, meraba-raba apakah cocok atau tidak.
Hal ini diwujudkan dengan karakter Gabriel yang ga jelas mau disebut apa. Wan terlalu memaksa untuk “mengilmiahkan” Gabriel yang pada akhirnya, hanya memberikan berbagai macam pertanyaan tak terjawab alias plot hole.
Misalnya, saya gagal paham mengapa Gabriel bisa menghubungi polisi ketika Madison masih sadar.
Apakah alien Gabriel merekam pembicaraannya melalui tape recorder lalu mengatur waktu? Atau memakai sihir yang membuatnya mampu mengendalikan mimpi para anggota polisi? Entahlah.
Selain itu, Malignant juga bukan hanya sekedar eksperimen Wan merenovasi “hantu/villain” dunia horor sesuai jargon posternya, tetapi juga dipenuhi nostalgia dirinya sendiri.
Hal ini ditampilkan dengan penggambaran sinematografi dan tone yang mirip dengan film-film yang ia pimpin sebelumnya.
Sebut saja treatment horor ala Conjuring universe, tone kemerah-merahan mirip Insidious, aksi brutal ala Saw, putaran kamera ala Aquaman, dan sebagainya.
Saya pribadi sangat terkesan dengan satu adegan di mana pengambilan gambar diambil dari atas ruangan, menyoroti pelarian Madison kesana-sini di rumahnya yang terlihat begitu cantik dan elegan.
Sejujurnya saya tidak menonton seluruh trailer Malignant karena ogah spoiler, tetapi rupanya adegan tersebut ditampilkan di sana.
Sayang sekali. Padahal momen tersebut lebih layak menjadi kejutan agar penonton bisa “cuci mata” di tengah kengerian yang ada.
Malignant memang tidak Mampu Memuaskan banyak Pihak
Harus saya akui bahwa di beberapa titik, plot terasa lebay dan berisi plot hole. Selain itu, akting dan chemistry para pemain terasa sangat hambar.
Contohnya, saya merasa gerah dengan akting para karakter pembantu yang kaku. Kekoa Shaw misalnya, si polisi ganteng yang sama sekali tidak berhasil menarik simpati saya sebagai karakter.
Film ini pastilah tidak akan cocok apabila Anda menantikan horor yang memang berfungsi “meneror” layaknya semesta Conjuring.
Menurut saya pribadi, satu-satunya hal yang mampu menyelamatkan Malignant dari tragedi kritikan banyak pihak, adalah babak ketiga filmnya.
Saat plot keluar jalur menjadi komedi karena berubah orientasi ala film superhero. Terlihat ajaib, tapi memang faktanya adegan laga milik Gabriel dengan semua orang di kantor polisi memang menghibur.
Seolah-olah membayar semua kecacatan berbagai elemen yang ada dan membuat saya pribadi dengan rela hati melupakannya.
Ditambah dengan plot-twist yang alot dan ampuh di akhir film, klimaks Malignant dengan anehnya terasa luar biasa.
Namun tetap saja, saya sarankan Anda untuk tidak berekspektasi lebih apabila belum menontonnya. Nikmati dan biarkan saja Wan bersenang-senang dengan “mainan barunya.”
Oleh karena itu, saya pun memberi skor 7.5/10 untuk Malignant.
Sekian review saya. Selamat menonton di bioskop kesayangan Anda!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H