Misalnya, saya gagal paham mengapa Gabriel bisa menghubungi polisi ketika Madison masih sadar.
Apakah alien Gabriel merekam pembicaraannya melalui tape recorder lalu mengatur waktu? Atau memakai sihir yang membuatnya mampu mengendalikan mimpi para anggota polisi? Entahlah.
Selain itu, Malignant juga bukan hanya sekedar eksperimen Wan merenovasi “hantu/villain” dunia horor sesuai jargon posternya, tetapi juga dipenuhi nostalgia dirinya sendiri.
Hal ini ditampilkan dengan penggambaran sinematografi dan tone yang mirip dengan film-film yang ia pimpin sebelumnya.
Sebut saja treatment horor ala Conjuring universe, tone kemerah-merahan mirip Insidious, aksi brutal ala Saw, putaran kamera ala Aquaman, dan sebagainya.
Saya pribadi sangat terkesan dengan satu adegan di mana pengambilan gambar diambil dari atas ruangan, menyoroti pelarian Madison kesana-sini di rumahnya yang terlihat begitu cantik dan elegan.
Sejujurnya saya tidak menonton seluruh trailer Malignant karena ogah spoiler, tetapi rupanya adegan tersebut ditampilkan di sana.
Sayang sekali. Padahal momen tersebut lebih layak menjadi kejutan agar penonton bisa “cuci mata” di tengah kengerian yang ada.
Malignant memang tidak Mampu Memuaskan banyak Pihak
Harus saya akui bahwa di beberapa titik, plot terasa lebay dan berisi plot hole. Selain itu, akting dan chemistry para pemain terasa sangat hambar.
Contohnya, saya merasa gerah dengan akting para karakter pembantu yang kaku. Kekoa Shaw misalnya, si polisi ganteng yang sama sekali tidak berhasil menarik simpati saya sebagai karakter.
Film ini pastilah tidak akan cocok apabila Anda menantikan horor yang memang berfungsi “meneror” layaknya semesta Conjuring.