Nahkoda dan para awak berusaha menyeimbangkan kapal. Percuma. Para saudagar dan kolega juga mencari perlindungan, sibuk berdoa pada Sang Penguasa Lautan. Pun dengan istri Malin Kundang, memeluk suaminya dengan tubuh gemetar ketakutan.
Saat itulah Malin menyadari kedurhakaannya. Pemuda itu menatap langit lautan yang bergemuruh di balik kaca ruangannya dan mendadak teringat perilaku bejat pada ibunya. Malam itu, langit seolah sempurna mengukir kedurhakaannya pada ibunya, seolah sedang menampilkan kembali kesombongannya sebagai seorang anak.
Malin pun berlari ke luar ruangan. Segera menuju puncak kapal tanpa menghiraukan teriakan istrinya yang memintanya untuk kembali. Di sana, Malin Kundang segera berlutut dan menengadahkan tangannya, berdoa. Buliran air hujan tampias di wajahnya, menyembunyikan air mata yang sudah membanjiri pipinya.
“Oh Tuhan! Ampuni hamba! Ampuni hamba Oh Tuhan! Ibu, Ampuni Malin ibu!” teriaknya. Pemuda itupun bersujud. Meraung meminta maaf, menangis tiada tara, memohon pada Sang Maha Raja.
Terlambat. Sangat terlambat. Kejadian itu berlangsung sangat cepat. Doa pemuda itu tiada guna. Langit terlanjur marah. Badai semakin kasar menghempas lautan, menimbulkan gelombang tinggi yang membalikkan kapal dengan mudah.
Esok harinya, muncullah fenomena itu. Dampak dari urusan panjang yang melibatkan penguasa langit dan lautan itu. Semua orang berkumpul di tepian pantai, persis di kaki tebing pinggiran kampung. Kapal besar nan megah itu karam. Tidak ada yang tersisa di sana, kecuali satu.
Tubuh Malin Kundang yang bersujud, berubah menjadi batu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H