Mohon tunggu...
Nurul Fauziah
Nurul Fauziah Mohon Tunggu... Freelancer - Mencintai tulis-menulis

Alumni Ilmu Sejarah FIB UI. Mencintai Literasi dan Musik. Menggemari Film dan Anime. Menulis untuk Bahagia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mande Rubayah: Penantian yang Sia-Sia

25 Agustus 2021   06:15 Diperbarui: 25 Agustus 2021   06:17 2047
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nahkoda dan para awak berusaha menyeimbangkan kapal. Percuma. Para saudagar dan kolega juga mencari perlindungan, sibuk berdoa pada Sang Penguasa Lautan. Pun dengan istri Malin Kundang, memeluk suaminya dengan tubuh gemetar ketakutan.

Saat itulah Malin menyadari kedurhakaannya. Pemuda itu menatap langit lautan yang bergemuruh di balik kaca ruangannya dan mendadak teringat perilaku bejat pada ibunya. Malam itu, langit seolah sempurna mengukir kedurhakaannya pada ibunya, seolah sedang menampilkan kembali kesombongannya sebagai seorang anak. 

Malin pun berlari ke luar ruangan. Segera menuju puncak kapal tanpa menghiraukan teriakan istrinya yang memintanya untuk kembali. Di sana, Malin Kundang segera berlutut dan menengadahkan tangannya, berdoa. Buliran air hujan tampias di wajahnya, menyembunyikan air mata yang sudah membanjiri pipinya.

“Oh Tuhan! Ampuni hamba! Ampuni hamba Oh Tuhan! Ibu, Ampuni Malin ibu!” teriaknya. Pemuda itupun bersujud. Meraung meminta maaf, menangis tiada tara, memohon pada Sang Maha Raja.

Terlambat. Sangat terlambat. Kejadian itu berlangsung sangat cepat. Doa pemuda itu tiada guna. Langit terlanjur marah. Badai semakin kasar menghempas lautan, menimbulkan gelombang tinggi yang membalikkan kapal dengan mudah.

Esok harinya, muncullah fenomena itu. Dampak dari urusan panjang yang melibatkan penguasa langit dan lautan itu. Semua orang berkumpul di tepian pantai, persis di kaki tebing pinggiran kampung. Kapal besar nan megah itu karam. Tidak ada yang tersisa di sana, kecuali satu.

Tubuh Malin Kundang yang bersujud, berubah menjadi batu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun