Akan tetapi, bagaimanalah? Perasaan seorang ibu yang ditinggal pergi anaknya tetaplah sebuah sebuah perasaan yang tidak tertahankan. Mande Rubayah hanya berdiri diam dan mengangguk. Matanya masih memandangi ujung lautan sana yang mulai menyemburatkan cahaya merah, pertanda sang surya mulai tenggelam di sana.
Mande Rubayah terduduk. Kakinya yang kurus berlapis tulang sudah tak mampu menopang tubuhnya yang bergetar hebat. Ingatan-ingatan itu muncul seperti sebuah klise, menikam hatinya, membuat pening kepalanya.
Apalah arti penantiannya selama bertahun-tahun ini? Apalah gunanya ia berdiri di tepi dermaga setiap hari, bertanya pada para pelaut dan saudagar kabar anaknya di negeri sana, berdoa siang malam agar anaknya baik-baik saja di rantau sana?
Apalah artinya kesabaran menunggu anaknya membawa janji, lantas saat berita baik itu datang, saat para bujang kampung datang tergopoh-gopoh memberi tahu kepulangan anaknya, saat ia memaksa tubuh rentanya untuk berlari terhuyung-huyung ke dermaga, anak kesayangannya justru tidak mengenalinya lagi?
Mande Rubayah tak sanggup lagi. Wanita tua itu tersungkur ke tanah, pingsan. Sementara anaknya, Malin beserta istri dan rombongan saudagar kaya lainnya, segera melepas sauh. Kembali berlayar menuju ke negeri seberang.
Akan tetapi, tanpa diketahui oleh semua orang pada hari itu, kuasa Tuhan tidaklah ada yang tahu. Urusan itu ternyata panjang, menuntut pertanggungjawaban.
Malam itu, perkampungan kecil nelayan di pesisir pantai itu heboh. Semenjak subuh penduduk ribut dengan kabar kedatangan Malin yang pulang sebagai seorang saudagar yang kaya. Pemuda itu berhasil di rantaunya. Ia punya kapal besar, Barang dagangannya laris, kenalannya luas, dan ia mempersunting anak gadis rantau yang tiada tara cantiknya, kedudukannya terhormat pula.
Penduduk sudah berangan-angan betapa bahagianya Mande Rubayah melihat anaknya berhasil menjemput janji-janji kehidupan di rantau sana, mengira-ngira seberapa penghormatan Malin pada ibunya.
Itulah alasan bujang-bujang kampung berlarian ke rumah Mande Rubayah. Berharap wanita renta itu tersenyum lebar memeluk anaknya, melupakan muram murja yang selama ini dilihat penduduk kampung dari wajah Mande Rubayah saat memandangi ujung lautan.
Malam itu penduduk berkumpul di rumah Mande Rubayah. Para lelaki duduk bersama di bawah alun-alun Rumah Gadang yang reot sedangkan para wanitanya duduk melingkar di kamar Mande Rubayah. Memijit-mijit bahu dan kakinya. Berupaya berdoa dan menghibur.
Kejadian siang tadi benar-benar jauh dari harapan semua orang. Saat Malin beserta istrinya turun dari kapal besar lantas Mande Rubayah berlari memeluknya.
“Anakku! Anakku! Kau pulang, Nak! Kau pulang!” seru Mande Rubayah senang. Tubuh tuanya memeluk Malin erat. Buncah air mata bahagia mengalir dipipinya, membuat haru penduduk di sekitar sana.