Mohon tunggu...
Nurul Fauziah
Nurul Fauziah Mohon Tunggu... Freelancer - Mencintai tulis-menulis

Alumni Ilmu Sejarah FIB UI. Mencintai Literasi dan Musik. Menggemari Film dan Anime. Menulis untuk Bahagia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mande Rubayah: Penantian yang Sia-Sia

25 Agustus 2021   06:15 Diperbarui: 25 Agustus 2021   06:17 2047
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mereka yang hanya orang-orang kampung tidaklah tahu bagaimana harus bersikap pada para bangsawan dan saudagar yang datang ke pantai mereka. Jadilah mereka hanya diam. Sibuk mengelus dada masing-masing, berbisik-bisik saling menguatkan saat melihat perlakuan durhaka Malin pada Mande Rubayah.

“Mande!” seru seorang gadis saat wanita tua itu sadar, membuat orang-orang sekitar langsung menoleh. Mande Rubayah berusaha duduk. Kepalanya masih terasa berat dan tubuhnya terasa benar-benar lemah. Namun ia meminta gadis itu menyandarkannya ke dinding. Ia ingin duduk.

“Mana Malin?” tanya Mande Rubayah lemah. Nyaris berbisik, hingga gadis berselendang kuning itu harus mendekatkan telinganya ke mulut Mande Rubayah. “Mana Malin, Nak? Mana anakku?” tanya Mande Rubayah lagi.

Gadis berselendang kuning itu meringis. Begitupun dengan semua orang yang berada di sana. Mande Rubayah menatap tidak mengerti. 

Seorang lelaki tua dengan peci hitam dan tongkat kayu memasuki kamar Mande Rubayah. Ia seorang tetua kampung. Lelaki tua itu mencoba menjelaskan kejadiannya, berusaha memberi pengertian terhadap apa yang dilakukan Malin terhadap Mande Rubayah.

Wanita tua itu menangis. Tangisan tiada kira dengan buliran air mata yang mengalir deras di pipinya. Isak tangisnya membuat semua orang di sana menunduk, ikut merengut sedih atas kepedihan yang diterima wanita itu diusia senja. 

Mande Rubayah pun mengangkat kedua tangannya. Berusaha berdoa, meski tenggorokannya terasa tercekik dan dadanya terasa sangat berat.

“Oh Tuhan!” isak Mande Rubayah keras. Tak kuasa menahan rasa kecewa dari suaranya. “Kalau inilah janji yang diucapkan anakku, betapa beratlah janji itu untukku. Oh Tuhan!  Kalau benar pemuda tadi bukanlah anakku, maka ampunilah aku. Namun jika pemuda tadi adalah anakku, darah dagingku, Malin Kundang anakku, maka kumohon berilah keadilanmu Tuhan! Kumohon!”

Sungguh, bagai lesatan tembakan anak panah, serpihan doa itu melesat jauh ke angkasa. Langsung menuju singgasana Sang Maha Raja, menggetarkan atap langitnya. Urusan malam itu benar-benar panjang. 

Mendadak, langit pada malam itu bergemuruh. Petir dan kilat saling menyambar. Desau angin yang bertiup kencang mendorong lautan menampiaskan gulungan ombaknya. Badai besar tak terkira. 

Langit seolah-olah marah. Seolah-olah berusaha memberikan keadilan terbaik bagi Mande Rubayah. Memberi penghakiman.

Maka terguncanglah kapal besar Malin yang tengah berlayar itu. Arus lautan meninggi, menabrak deru angin lantas menampar keras lumbung kapal besar nan megah itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun