[Cerpen berikut ini adalah salah satu tugas individu saya saat mengikuti matkul umum "Penulisan Populer." Dosen meminta kami untuk menulis ulang cerita rakyat dengan memakai perspektif baru dan alur maju-mundur. Oleh karena saya berasal dari Padang, saya akhirnya menulis legenda populer dari Minang saja. Selamat membaca!]
Mande Rubayah menatap nanar lelaki berpakaian mewah yang berdiri pongah di hadapannya. Seluruh tubuhnya bergetar dan untuk sesaat, wanita tua itu kehilangan suaranya.
“Ini ibu, Nak!” sahut Mande Rubayah. Buliran air mata membasahi pipi kerutnya. “Ini ibu, Malin. Tidakkah kau ingat?”
Malin menatap Mande Rubayah dengan pandangan jijik, lalu menggeleng. “Kau bukan ibuku.”
Seakan disambar petir, Mande Rubayah terkesiap begitu mendengar pernyataan anak semata wayangnya. Jantungnya berdetak hebat dan tubuh rentanya terguncang. Bulir air mata berjatuhan membasahi selendangnya sementara matanya berkedip-kedip tak percaya.
Oh Tuhan, bagaimanalah? Bukankah ini anaknya? Bukankah ini Malin Kundang anak kesayangannya? Tidakkah ini Malin Kundang anaknya yang berbakti, yang selalu membantunya, yang sopan dan santun pada semua orang? Oh Tuhan…
Kenangan itu tiba-tiba muncul. Bagai siluet dari cahaya matahari senja di ujung lautan sana, Mande Rubayah seperti melihat ingatan-ingatan lama yang ada di kepalanya. Ingatan-ingatan yang membuncah jiwanya. Ingatan-ingatan yang entah kenapa memberatkan bahu dan dadanya.
Sejenak, dunia terasa sunyi. Seolah ikut terhanyut dalam pusaran perasaan yang menusuk-nusuk hatinya. Hembusan angin malam pun seakan tidak mau menyentuhnya. Sempurna diam membiarkan Mande Rubayah mengenang segalanya.
Malin Kundang adalah anaknya yang berbakti. Anaknya yang sholeh, sopan santun, dan pekerja keras. Sejak kecil, ia terbiasa membantu ibunya membuat kue-kue dan menjualnya di pasar. Sekali dua meminta izin ikut melaut dengan para nelayan, sekali dua pula ikut para petani berladang di hutan.
Keluarga kecil mereka hidup penuh kemiskinan di pesisir pantai. Ayah Malin Kundang pergi mengelana ke negeri seberang, namun tidak pernah kembali pulang. Hal itu membuat Mande Rubayah tidak memiliki pilihan selain harus bekerja keras siang dan malam demi memenuhi kebutuhan hidup.
Malin kecil pun tumbuh dengan segala keterbatasan hidup tetapi tidak sekalipun mengeluh dengan keadaan mereka.
Suatu hari, sebuah kapal dagang besar singgah ke pantai mereka. Para bujang kampung segera berlarian ke dermaga dan menjadi kuli angkut barang-barang untuk dibawa ke pasar rakyat.
Para saudagar kaya yang berlayar dengan kapal itu memberi mereka upah, besar kecilnya upah tergantung dari seberapa keras upaya mereka membantu para saudagar itu berdagang di sana.
Seperti para bujang kampung lainnya, Malin juga ikut berlarian ke pantai. Berlomba-lomba meraih barang dagangan yang diangkut salah seorang saudagar. Kemudian meminta izin untuk membantu mereka berjualan di pasar dari pagi hingga larut malam.
Salah seorang saudagar pun terkesan dengan kerja keras Malin. Pemuda itu cerdas, pintar berbicara, dan penuh sopan santun saat berdagang. Saudagar itu mendapat untung yang besar.
Berpikir bahwa memiliki pemuda seperti Malin akan mendatangkan banyak keuntungan untuknya, ia pun mengatakan niatnya pada nahkoda kapal mereka untuk membawa Malin ikut serta dalam pelayaran mereka ke negeri seberang. Nahkoda memberi izin dan mengutarakan niat sang saudagar pada Malin. Pemuda itu terkesiap tidak percaya.
“Ibu, aku mohon izinmu untuk membiarkanku berlayar dengan saudagar itu.” Pinta Malin pada ibunya. Deru napasnya terengah-engah karena berlarian dari dermaga menuju rumahnya, keringat membasahi seluruh tubuhnya, namun raut wajahnya terlihat gembira. “Saudagar itu bilang ia terkesan dengan kerja kerasku. Jadi ia ingin membawaku ke negeri seberang untuk berdagang. Kumohon izinkan aku, ibu. Aku ingin mengubah hidup kita.” Lanjutnya.
Mande Rubayah, demi mendengar kata negeri seberang, ia jadi teringat akan suaminya dan mengeluh. “Tapi nak, kalau kau pergi, dengan siapalah ibumu akan tinggal? Ibu akan sendiri di sini. Tak usahlah kau pergi, nak!”
Malin menggeleng. Ia berlutut dan menyentuh kedua tangan ibunya. Mata pemuda itu menatap Mande Rubayah dalam. Ada gurat kesungguhan dari mimik wajahnya.
“Ibu, aku ingin mengubah keadaan kita. Aku merasa berat melihat Ibu terus bekerja keras siang malam untuk memenuhi segala kehidupan kita. Aku sudah besar, Bu. Biarlah aku yang sekarang bekerja keras untuk kita. Izinkanlah Malin berlayar menjemput janji-janji di luar sana. Malin berjanji akan pulang bu. Malin berjanji hidup kita akan lebih baik setelah ini.”
Aduhai apalah daya seorang ibu mendengar kesungguhan anaknya?
Mande Rubayah, meski dengan isak tangis yang menyesak hingga dadanya, memeluk Malin dan mengangguk. “Baiklah, Nak. Pergilah! Pergilah kau ke negeri seberang sana. Jemputlah janji-janji kehidupan itu. Namun Nak, berjanjilah kau pada ibumu ini. Berjanjilah kau tidak akan lupa pada ibu, Nak! Berjanjilah kau akan pulang. Berjanjilah!”
Saban hari setelah itu, berangkatlah Malin bersama rombongan para saudagar ke negeri seberang. Kapal besar itu berlayar tenang menuju ujung lautan sana dan menghilang dari pandangan. Mande Rubayah memandang kepergian Malin dengan kapal besar itu dengan sedih.
Ada rasa perih yang mendadak muncul di hatinya saat sekeping jiwanya pergi menjauh.
Orang-orang di dermaga itu menatap iba, satu dua menenangkan Mande Rubayah, berbisik bilang saban hari Malin pasti pulang.
Akan tetapi, bagaimanalah? Perasaan seorang ibu yang ditinggal pergi anaknya tetaplah sebuah sebuah perasaan yang tidak tertahankan. Mande Rubayah hanya berdiri diam dan mengangguk. Matanya masih memandangi ujung lautan sana yang mulai menyemburatkan cahaya merah, pertanda sang surya mulai tenggelam di sana.
Mande Rubayah terduduk. Kakinya yang kurus berlapis tulang sudah tak mampu menopang tubuhnya yang bergetar hebat. Ingatan-ingatan itu muncul seperti sebuah klise, menikam hatinya, membuat pening kepalanya.
Apalah arti penantiannya selama bertahun-tahun ini? Apalah gunanya ia berdiri di tepi dermaga setiap hari, bertanya pada para pelaut dan saudagar kabar anaknya di negeri sana, berdoa siang malam agar anaknya baik-baik saja di rantau sana?
Apalah artinya kesabaran menunggu anaknya membawa janji, lantas saat berita baik itu datang, saat para bujang kampung datang tergopoh-gopoh memberi tahu kepulangan anaknya, saat ia memaksa tubuh rentanya untuk berlari terhuyung-huyung ke dermaga, anak kesayangannya justru tidak mengenalinya lagi?
Mande Rubayah tak sanggup lagi. Wanita tua itu tersungkur ke tanah, pingsan. Sementara anaknya, Malin beserta istri dan rombongan saudagar kaya lainnya, segera melepas sauh. Kembali berlayar menuju ke negeri seberang.
Akan tetapi, tanpa diketahui oleh semua orang pada hari itu, kuasa Tuhan tidaklah ada yang tahu. Urusan itu ternyata panjang, menuntut pertanggungjawaban.
Malam itu, perkampungan kecil nelayan di pesisir pantai itu heboh. Semenjak subuh penduduk ribut dengan kabar kedatangan Malin yang pulang sebagai seorang saudagar yang kaya. Pemuda itu berhasil di rantaunya. Ia punya kapal besar, Barang dagangannya laris, kenalannya luas, dan ia mempersunting anak gadis rantau yang tiada tara cantiknya, kedudukannya terhormat pula.
Penduduk sudah berangan-angan betapa bahagianya Mande Rubayah melihat anaknya berhasil menjemput janji-janji kehidupan di rantau sana, mengira-ngira seberapa penghormatan Malin pada ibunya.
Itulah alasan bujang-bujang kampung berlarian ke rumah Mande Rubayah. Berharap wanita renta itu tersenyum lebar memeluk anaknya, melupakan muram murja yang selama ini dilihat penduduk kampung dari wajah Mande Rubayah saat memandangi ujung lautan.
Malam itu penduduk berkumpul di rumah Mande Rubayah. Para lelaki duduk bersama di bawah alun-alun Rumah Gadang yang reot sedangkan para wanitanya duduk melingkar di kamar Mande Rubayah. Memijit-mijit bahu dan kakinya. Berupaya berdoa dan menghibur.
Kejadian siang tadi benar-benar jauh dari harapan semua orang. Saat Malin beserta istrinya turun dari kapal besar lantas Mande Rubayah berlari memeluknya.
“Anakku! Anakku! Kau pulang, Nak! Kau pulang!” seru Mande Rubayah senang. Tubuh tuanya memeluk Malin erat. Buncah air mata bahagia mengalir dipipinya, membuat haru penduduk di sekitar sana.
“Mas, siapa wanita ini?” tanya seorang wanita cantik yang berdiri bersisian dengan Malin Kundang. Istrinya. “Kenapa ia memelukmu?”
“Ibu merindukanmu, Nak!” sahut Mande Rubayah tanpa menghiraukan perkataan istri anaknya. Wanita tua itu melepas pelukannya, mendongak dan memandang wajah anaknya, kedua tangannya mengusap pipi Malin. “Ya Tuhan Nak! Kau berhasil! Kau jemput janji-janji itu, Nak! Ya Tuhan, terima kasih. Kau sehat, Nak? Bagaimana kabarmu di rantau sana?”
“Dia ibumu?” seru istri Malin setelah terdiam beberapa saat. Wanita cantik itu tampak kebingungan dan mencoba mencerna yang sedang terjadi.
“Apa-apaan ini, Mas? Kau bilang kau yatim piatu! Siapa wanita lusuh ini?” Istri Malin berteriak histeris. Nada sinis dan merendahkan dari wanita cantik itu membuat semua orang terkejut.
Demi mendengar teriakan istrinya dan tatapan curiga dari para koleganya, Malin pun melepas pelukan Mande Rubayah dan mendorong wanita tua itu hingga tersungkur.
Pemuda itu menatap Mande Rubayah tajam sembari mengangkat telunjuk padanya. Menghardiknya. “Kau siapa? Berani-beraninya tubuh kotormu memelukku! Kau mengotori pakaianku!”
Semua orang di dermaga itu terperanjat. Beberapa orang kampung menjerit tertahan, satu dua mengelus dada dan membekap mulut. Para saudagar dan kolega Malin saling bersitatap bingung. Sementara istrinya bersidekap, menatap benci pada wanita lusuh yang berani memeluk suaminya.
Mande Rubayah yang tidak mengerti dengan perlakuan anaknya berusaha berdiri, lalu berjalan mendekat. “Malin, ini ibu Nak! Ini Ibu. Ibu sudah tua, Nak. Tetapi ini ibumu, Nak!”
“Aku tidak punya ibu seperti kau, wanita tua! Ibuku orang terpandang dan bangsawan sedangkan kau hanyalah wanita tua lusuh yang kotor dan menjijikkan!” Malin kembali berseru.
Pemuda itu berbalik. Menatap istrinya, para kolega, lalu seluruh awak kapalnya. “Kita pergi dari sini! Tidak ada gunanya berlabuh di tempat orang yang mengaku-ngaku sebagai ibuku. Bisa-bisa nanti semua orang mengaku sebagai ayahku, saudaraku, keluargaku. Kita pergi!”
Maka di sore itu, saat sang surya mulai menyemburatkan jingga di tepian samudra, saat burung-burung camar bersahutan manja kembali ke sarangnya, dan saat angin malam mulai bertiup kencang mendorong layar kapal besar Malin yang semakin menjauh, para penduduk membopong Mande Rubayah ke rumah.
Mereka yang hanya orang-orang kampung tidaklah tahu bagaimana harus bersikap pada para bangsawan dan saudagar yang datang ke pantai mereka. Jadilah mereka hanya diam. Sibuk mengelus dada masing-masing, berbisik-bisik saling menguatkan saat melihat perlakuan durhaka Malin pada Mande Rubayah.
“Mande!” seru seorang gadis saat wanita tua itu sadar, membuat orang-orang sekitar langsung menoleh. Mande Rubayah berusaha duduk. Kepalanya masih terasa berat dan tubuhnya terasa benar-benar lemah. Namun ia meminta gadis itu menyandarkannya ke dinding. Ia ingin duduk.
“Mana Malin?” tanya Mande Rubayah lemah. Nyaris berbisik, hingga gadis berselendang kuning itu harus mendekatkan telinganya ke mulut Mande Rubayah. “Mana Malin, Nak? Mana anakku?” tanya Mande Rubayah lagi.
Gadis berselendang kuning itu meringis. Begitupun dengan semua orang yang berada di sana. Mande Rubayah menatap tidak mengerti.
Seorang lelaki tua dengan peci hitam dan tongkat kayu memasuki kamar Mande Rubayah. Ia seorang tetua kampung. Lelaki tua itu mencoba menjelaskan kejadiannya, berusaha memberi pengertian terhadap apa yang dilakukan Malin terhadap Mande Rubayah.
Wanita tua itu menangis. Tangisan tiada kira dengan buliran air mata yang mengalir deras di pipinya. Isak tangisnya membuat semua orang di sana menunduk, ikut merengut sedih atas kepedihan yang diterima wanita itu diusia senja.
Mande Rubayah pun mengangkat kedua tangannya. Berusaha berdoa, meski tenggorokannya terasa tercekik dan dadanya terasa sangat berat.
“Oh Tuhan!” isak Mande Rubayah keras. Tak kuasa menahan rasa kecewa dari suaranya. “Kalau inilah janji yang diucapkan anakku, betapa beratlah janji itu untukku. Oh Tuhan! Kalau benar pemuda tadi bukanlah anakku, maka ampunilah aku. Namun jika pemuda tadi adalah anakku, darah dagingku, Malin Kundang anakku, maka kumohon berilah keadilanmu Tuhan! Kumohon!”
Sungguh, bagai lesatan tembakan anak panah, serpihan doa itu melesat jauh ke angkasa. Langsung menuju singgasana Sang Maha Raja, menggetarkan atap langitnya. Urusan malam itu benar-benar panjang.
Mendadak, langit pada malam itu bergemuruh. Petir dan kilat saling menyambar. Desau angin yang bertiup kencang mendorong lautan menampiaskan gulungan ombaknya. Badai besar tak terkira.
Langit seolah-olah marah. Seolah-olah berusaha memberikan keadilan terbaik bagi Mande Rubayah. Memberi penghakiman.
Maka terguncanglah kapal besar Malin yang tengah berlayar itu. Arus lautan meninggi, menabrak deru angin lantas menampar keras lumbung kapal besar nan megah itu.
Nahkoda dan para awak berusaha menyeimbangkan kapal. Percuma. Para saudagar dan kolega juga mencari perlindungan, sibuk berdoa pada Sang Penguasa Lautan. Pun dengan istri Malin Kundang, memeluk suaminya dengan tubuh gemetar ketakutan.
Saat itulah Malin menyadari kedurhakaannya. Pemuda itu menatap langit lautan yang bergemuruh di balik kaca ruangannya dan mendadak teringat perilaku bejat pada ibunya. Malam itu, langit seolah sempurna mengukir kedurhakaannya pada ibunya, seolah sedang menampilkan kembali kesombongannya sebagai seorang anak.
Malin pun berlari ke luar ruangan. Segera menuju puncak kapal tanpa menghiraukan teriakan istrinya yang memintanya untuk kembali. Di sana, Malin Kundang segera berlutut dan menengadahkan tangannya, berdoa. Buliran air hujan tampias di wajahnya, menyembunyikan air mata yang sudah membanjiri pipinya.
“Oh Tuhan! Ampuni hamba! Ampuni hamba Oh Tuhan! Ibu, Ampuni Malin ibu!” teriaknya. Pemuda itupun bersujud. Meraung meminta maaf, menangis tiada tara, memohon pada Sang Maha Raja.
Terlambat. Sangat terlambat. Kejadian itu berlangsung sangat cepat. Doa pemuda itu tiada guna. Langit terlanjur marah. Badai semakin kasar menghempas lautan, menimbulkan gelombang tinggi yang membalikkan kapal dengan mudah.
Esok harinya, muncullah fenomena itu. Dampak dari urusan panjang yang melibatkan penguasa langit dan lautan itu. Semua orang berkumpul di tepian pantai, persis di kaki tebing pinggiran kampung. Kapal besar nan megah itu karam. Tidak ada yang tersisa di sana, kecuali satu.
Tubuh Malin Kundang yang bersujud, berubah menjadi batu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H