Di sekolah, hari-hari berlalu dengan cepat, dan hari lomba PMR yang semakin dekat membuat seluruh anggota tim semakin semangat. Cinta, yang merasa tanggung jawab sebagai pemimpin tim semakin besar, berusaha sebaik mungkin untuk mempersiapkan dirinya. Raka, yang sejak awal sangat mendukung, tetap menjadi teman yang selalu memberi semangat. Ada rasa harapan yang besar di hati Cinta. Mereka bekerja keras, meskipun harus membagi waktu dengan les dan tugas sekolah.
Suatu malam setelah latihan, Cinta merasa lelah sekali. Ia duduk di depan meja belajarnya, mencoba mengerjakan tugas sekolah. Namun, kata-kata Laras tadi malam terngiang kembali di pikirannya. Cinta merasa sangat ingin membantu sahabatnya itu, tapi ia juga tahu bahwa ia harus menyelesaikan semuanya dengan bijak. Tak jarang, ia merasa bingung, terjebak dalam pemikiran tentang masa depan, cita-cita, dan berbagai tanggung jawab yang ada. Namun, satu hal yang pasti Cinta tahu bahwa ia tidak bisa berjalan sendiri.
Raka sudah lama tahu bahwa Cinta terkadang merasa tertekan dengan segala tanggung jawab yang ia hadapi. Sejak beberapa hari terakhir, dia melihat Cinta semakin sibuk dan jarang ada waktu untuk diri sendiri. Apalagi setelah latihan PMR yang cukup melelahkan, ditambah dengan tugas sekolah yang menumpuk, Raka merasa Cinta pasti butuh istirahat sejenak.
Malam itu, Raka memutuskan untuk datang ke kamar Cinta. Dengan membawa semangkuk mie instan yang sudah dingin. "Gak mau makan, Cin?" tanyanya sambil duduk di kursi seberang.
Cinta menatap mangkuk itu dan tersenyum lemah. "Makasih, Ka. Tapi aku lagi bingung, deh."
Raka mengangkat alisnya. "Bingung apaan?"
"Masa depan, Ka. Aku merasa semua ini kadang nggak seimbang. Les, PMR, sekolah... kayaknya aku nggak pernah punya waktu buat diri sendiri," jawab Cinta dengan suara yang terdengar agak lelah.
Raka mendengus pelan, "Mungkin kamu harus sedikit lebih santai. Semua orang punya tanggung jawab, Cin. Tapi kita juga perlu tahu kapan waktunya untuk istirahat. Jangan cuma mikirin orang lain terus, kalau kamu sendiri yang kepenuhan."
Cinta mengangguk pelan, merenung. Ia tahu apa yang Raka katakan benar. Kadang, ia terlalu fokus pada apa yang orang lain butuhkan, hingga melupakan dirinya sendiri. "Iya, mungkin kamu benar. Tapi kalau aku berhenti sejenak, takutnya aku jadi nggak siap buat semuanya," jawab Cinta.
Raka tersenyum. "Kamu itu pemikir banget, Cin. Udah, makan dulu. Jangan terlalu keras sama diri sendiri."
Setelah malam itu, Cinta mulai mencoba untuk lebih memperhatikan dirinya sendiri. Saran Raka untuk lebih santai dan tidak terlalu keras pada diri sendiri mulai ia coba praktikkan. Memang tidak mudah, karena tanggung jawab yang besar dalam PMR, les, dan tugas sekolah seringkali membuatnya merasa terhimpit. Namun, Cinta mulai belajar untuk menetapkan batasan. Di sela-sela kegiatan yang padat, ia mulai memberi waktu untuk beristirahat sejenak, menikmati momen tanpa memikirkan apapun yang harus diselesaikan.