Semakin mendekati hari lomba, atmosfer di ruang PMR semakin terasa penuh semangat. Cinta, bersama dengan teman-temannya, terus berlatih tanpa henti. Latihan tidak hanya melibatkan simulasi pertolongan pertama, tetapi juga teknik penyelamatan yang lebih kompleks. Hari-hari terasa cepat berlalu, seiring dengan meningkatnya intensitas persiapan. Cinta juga semakin mendalami teknik-teknik baru yang diberikan oleh kakak-kakak kelas.
Meskipun ada perasaan lelah, rasa kebersamaan dan kepedulian tim menguatkan tekad Cinta. Ada satu hal yang membuatnya merasa bangga dan sekaligus cemas di antara teman-temannya, ia menjadi orang yang diharapkan untuk memimpin. Posisi itu bukanlah sesuatu yang ia rencanakan, tapi ia tahu itu adalah tanggung jawab yang harus dijalani dengan sepenuh hati. Setiap latihan, setiap instruksi yang ia berikan, selalu diikuti dengan tekad untuk memberikan yang terbaik bagi timnya.
Laras, yang semula tampak tertutup dan cemas, perlahan mulai menunjukkan sisi lain dirinya. Cinta menyadari bahwa sahabatnya itu sedang berusaha keras menghadapi tantangan hidupnya sendiri, terutama masalah keuangan yang menghimpit keluarganya. Laras tidak pernah membicarakan hal itu secara terbuka, tapi Cinta bisa merasakan perasaan berat yang menghinggapi sahabatnya itu.
Suatu malam, setelah sesi bimbel yang melelahkan, Cinta memutuskan untuk menemui Laras. Mereka duduk di bangku taman dekat rumah, ditemani hanya oleh cahaya lampu jalan yang temaram.
"Ras, aku tahu kamu gak pernah bilang soal masalah di rumah. Tapi aku bisa lihat kok kalau kamu lagi nggak baik-baik aja. Kalau kamu butuh bantuan, aku ada kok," kata Cinta dengan suara lembut.
Laras terdiam sejenak, menatap langit yang hampir gelap. "Aku cuma nggak mau bikin kamu pusing. Aku tahu kamu juga lagi banyak banget yang dipikirin," jawabnya pelan, suara Laras terdengar sedikit rapuh.
"Tapi itu bukan alasan, Ras. Teman itu ada buat saling bantu, nggak cuma buat seneng-seneng doang. Kamu gak perlu tanggung sendiri," Cinta membalas, mencoba memberi dukungan sekuat tenaga.
Laras menunduk, matanya berkaca-kaca. "Aku takut, Cin. Takut kalau aku bikin orang lain susah. Takut kalau aku nggak bisa bantu keluarga aku."
Cinta meraih tangan Laras, menggenggamnya erat. "Kamu nggak sendirian. Kita bisa cari jalan keluar bareng-bareng. Kamu harus tahu, Ras, kamu bukan orang yang lemah hanya karena meminta bantuan. Aku selalu ada, kok. Kapan saja."
Laras tersenyum kecil, terharu dengan kata-kata sahabatnya. "Makasih, Cin. Aku bakal berusaha lebih baik."
---