Pagi masih muda ketika alarm melengking, memecah keheningan kamar dan memaksa seseorang untuk duduk, mengucek mata sambil menatap jendela. Matahari baru saja naik, sinarnya samar terlihat dari sela-sela tirai. Dalam kondisi setengah sadar, tangan meraba selimut yang masih hangat, tapi begitu pandangan mengarah ke jam dinding, detak jantung langsung berdegup cepat. "Ya ampun! Udah jam segini!" Pekikan itu terucap sambil melompat turun dari tempat tidur. Rutinitas pagi ini selalu menjadi tantangan sendiri, rasanya setiap hari berlomba dengan waktu, terutama di hari-hari yang penuh jadwal padat. Bergegas, tubuh melangkah cepat, menyambar seragam yang tergantung, buku-buku yang berserakan, lalu berjalan cepat menuju ruang makan.
Sambil menyantap sarapan, pikiran sudah terisi dengan jadwal yang menunggu sepanjang hari. Sekolah di pagi hingga siang hari, kegiatan ekstrakurikuler yang sudah ditunggu teman-teman, dan dilanjutkan dengan bimbel di malam hari. "Kapan bisa sedikit nyantai?" gumamnya lirih, sambil sesekali menguap karena masih mengantuk. Namun, rasa lelah itu segera tergantikan oleh semangat. Kegiatan PMR yang menantinya nanti siang bukan sekadar rutinitas, tapi tempat belajar tentang empati dan cara membantu sesama. Lalu, les malam adalah bagian dari langkah kecil untuk mencapai cita-cita yang sudah lama diimpikan.Â
Cinta menyelesaikan sarapan dalam suapan terakhir, lalu bergegas menuju angkutan umum yang biasa ditumpanginya.
Di sekolah, pelajaran berlangsung seperti biasa, dengan rentetan materi yang menguras energi dan konsentrasi. Namun begitu bel pulang berbunyi, semangat Cinta langsung tumbuh lagi. Ruang PMR di ujung koridor menjadi tujuan berikutnya. Di sanalah ia bertemu teman-temannya, yang sudah siap untuk latihan tentang teknik pertolongan pertama, salah satu materi yang sangat dinantikannya. "Ayo, hari ini kita coba simulasi pertolongan pertama!" seru salah satu kakak kelas yang memimpin kegiatan, sambil membagikan peralatan sederhana. Di sini, Cinta bekerja sama dengan teman-temannya, belajar cara membalut luka dan melakukan teknik CPR. Meski latihan serius, tawa dan canda menyelip di antara sesi-sesi latihan. Di sinilah Cinta merasakan semangat dan kebersamaan, ada rasa bangga yang ia dapatkan ketika menyadari bahwa mereka berbagi keinginan yang sama untuk bisa membantu sesama.
Sore mulai beranjak ketika tubuh yang mulai lelah ini melangkah lagi menuju tempat bimbel. Ruang kelas bimbel penuh, dan perlahan rasa kantuk mulai terasa. Namun, semangat untuk memahami materi tetap mengalahkan rasa lelah. Dalam benaknya, pelajaran tambahan ini bukan sekadar soal nilai, melainkan persiapan untuk masa depan yang sudah ia pikirkan matang-matang. Sesekali, beberapa teman dari sekolah lain menyapa, di sela soal-soal yang rumit, mereka saling bertukar tips belajar dan berbagi cerita singkat. Suasana di sana cukup hangat, penuh canda yang membuat malam terasa tidak begitu panjang.
Setelah sesi bimbel berakhir, Cinta keluar kelas dengan langkah pelan. Jalan pulang yang biasanya terasa singkat, kali ini seperti lebih panjang karena tubuh yang mulai kehabisan energi. Rasa lelah menguasai, tapi pikiran Cinta masih terus berputar, membayangkan betapa banyak hal yang harus ia siapkan esok hari. Sepanjang perjalanan, ia merenung, kadang bertanya-tanya dalam hati, "Aku bisa terus begini gak ya?" Namun, saat mengingat semua teman-temannya di PMR, wajah-wajah ceria yang ia temui setiap hari, serta impiannya yang masih ia kejar, ada semacam dorongan yang kembali muncul. Ini bukan sekadar perjalanan biasa, tapi bagian dari langkahnya menuju masa depan.
Sampai di rumah, Cinta langsung menuju kamarnya. Ia menjatuhkan diri di atas kasur, menatap langit-langit kamar yang remang-remang. Ada keinginan untuk langsung tidur, tapi tugas dan catatan pelajaran yang menumpuk di meja belajarnya seperti memanggil. Ia meraih buku catatan fisika yang tadi dicatat di bimbel, membuka beberapa halaman, mencoba membaca ulang. Namun, semakin lama, huruf-huruf di halaman itu seperti kabur. Matanya berat, dan akhirnya ia menutup buku dan merebahkan diri. "Besok saja, besok aku baca lagi," gumamnya pelan, lalu tertidur tanpa sadar, tenggelam dalam kelelahan.
Keesokan paginya, hari kembali dimulai dengan nada yang sama. Pagi-pagi Cinta sudah bersiap, berseragam lengkap, dan sarapan seadanya. Saat di perjalanan menuju sekolah, ia bertemu dengan Raka, teman sekelas yang juga ikut PMR. Mereka ngobrol singkat, saling menertawakan kelelahan masing-masing. "Kamu keliatan makin kayak zombie, Cin," candanya sambil menepuk pundak Cinta. Cinta hanya tertawa kecil, mengakui bahwa Raka mungkin benar. Bagaimanapun, lelahnya memang terasa, tapi obrolan ringan seperti ini sedikit membantu menghilangkan rasa jenuh.
Di sekolah, Cinta mencoba fokus pada pelajaran, meski kadang pikirannya melayang-layang. Ia berusaha keras mendengarkan setiap penjelasan guru, menulis catatan dengan rapi, meski kadang menguap kecil di sela-sela. Jam demi jam berlalu, dan akhirnya waktu untuk PMR tiba. Cinta langsung menuju ruang PMR, dan kali ini ia merasa antusias. Latihan hari ini bukan simulasi biasa, mereka akan melakukan kunjungan ke panti jompo untuk memberikan sedikit bantuan serta pemeriksaan kesehatan sederhana. Bagi Cinta, ini adalah kesempatan istimewa untuk mempraktikkan apa yang selama ini ia pelajari.
Di panti jompo, Cinta dan teman-teman PMR diterima dengan hangat oleh para penghuni. Wajah-wajah tua yang penuh senyum menyambut mereka dengan ramah, dan Cinta merasakan kedamaian yang sulit dijelaskan. Ia dan tim mulai memeriksa tekanan darah, memberikan bantuan kecil, dan bahkan sempat mendengar cerita-cerita dari para penghuni. Saat mendengarkan cerita seorang nenek tentang masa mudanya, Cinta terhanyut dalam kisah itu, merasa seperti mendengar pengalaman dari dunia yang berbeda. "Dulu, nenek juga kayak kamu, penuh impian dan cita-cita," ucap sang nenek sambil tersenyum. Kata-kata itu tertanam di hati Cinta, sebuah kalimat sederhana yang membuatnya berpikir lebih dalam.
Sepulang dari panti jompo, Cinta merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Pengalaman berinteraksi langsung dengan para penghuni panti tadi seolah membuka perspektif baru. Ia mulai memahami bahwa hidup bukan hanya tentang dirinya sendiri atau pencapaian akademis semata. Di perjalanan pulang bersama Raka, obrolan mereka terasa lebih bermakna. Tak hanya bercanda seperti biasa, kali ini mereka berbicara tentang cita-cita dan impian masa depan.