Seperti yang pernah dinyatakan Mark Twain, "History never repeats itself, but it does often rhyme." Peradaban manusia akan senantiasa berhadapan dengan "bencana air bah" selanjutnya. "Nuh-Nuh" lain mungkin akan bermunculan untuk menyediakan "bahtera" yang dapat menyelamatkan kita.Â
Namun kita tahu bagaimana kisahnya akan bermuara, bukan?
Problematika fokus dan cakupan pikiran kita dalam merenungi tragedi, terutama ketika berada pada situasi sosial, merupakan separuh gagasan tulisan ini. Separuh lainnya adalah tentang kebalikannya, yakni bagaimana fokus dan cakupan pikiran kita merenungi apa yang kita persepsikan sebagai hal baik, terutama dalam situasi individu.Â
Sebagaimana pada problematika sebelumnya, pikiran kita kerap terjebak dalam interpretasi satu dimensi ketika hal yang kita persepsikan sebagai hal baik terjadi dalam situasi perorangan.
Tengok, misalnya, bagaimana masyarakat secara otomatis mengaitkan keengganan seseorang untuk membalas keburukan yang diberikan oleh orang lain kepadanya sebagai bentuk kesabaran yang patut diagungkan.Â
Atau misalnya bagaimana seorang anak dituntut untuk senantiasa berbakti dan menurut kepada orang tuanya atas dasar "jasa" orang tuanya yang telah menyebabkan kelahiran anak tersebut di dunia.Â
Dalam kedua kasus ini, sikap yang ditunjukkan telah diterima sebagai nilai-nilai keutamaan dan kepantasan yang rasanya tidak perlu diperdebatkan kembali.
Jika Anda secara jujur berada pada pihak mayoritas dalam membaca kedua contoh ini, maka penulis menyarankan Anda untuk mempertimbangkan juga dua alternatif pembacaan ini:Â
(1) ketimbang dilihat sebagai perilaku balas dendam, bukankah pembalasan atas keburukan yang diberikan seseorang dapat dilihat juga sebagai upaya menegakkan keadilan?Â
(2) ketimbang dilihat sebagai kemuliaan, bukankah bakti dan sikap menurut kepada orang tua dapat juga dilihat sebagai pemujaan berlebihan yang dapat menjerumuskan seorang anak, terutama ketika nalarnya telah ditundukkan oleh perasaan emosional yang timbul dari sikap semacam ini?
Kita mungkin lebih sibuk memuji ketabahan Nuh dalam membangun bahtera dan terus mengajak sebanyak mungkin umatnya untuk mengikutinya menuju jalan keselamatan sembari tidak lupa mengolok kebodohan dan kekerasan hati Kana'an yang sampai akhir hayatnya bersikeras tetap bersama dengan mayoritas kaumnya sembari melawan perintah ayahnya.Â