Dan memang sangat mudah untuk berkesimpulan ke arah sana melihat adanya nuansa perseteruan yang kental antara pihak yang mewakili suara tuhan dalam diri Nuh dengan mereka yang "melawan" tuhan dalam diri mayoritas kaumnya yang terkena azab.Â
Belum lagi ditambah dengan arah narasi yang tendensius dalam kisah tersebut untuk menunjukkan secara kontras sisi mana yang dianggap "good" dan mana yang cenderung "evil".
Merenungi kembali kedalaman kisah bahtera Nuh melalui berbagai spektrum peradaban yang mengisahkannya, penulis kemudian merasa bahwa memfokuskan tema hanya pada "good and evil" justru mengerdilkan signifikansi kisah tersebut.Â
Bagaimana, misalnya, kita dapat mengakomodir persoalan kemerdekaan berpikir dan kebebasan untuk bertindak yang ditantang oleh kisah tersebut melalui ketetapan ilahi yang dari jauh hari telah "menakdirkan" terjadinya bencana air bah?Â
Bagaimana pula kita dapat mengakomodir perdebatan klasik mengenai kemahakuasaan tuhan untuk membolak-balikkan perasaan manusia dalam konteks kekukuhan sikap mayoritas umat Nuh untuk menentang dakwahnya?
Itu artinya secara filosofis, kisah bahtera Nuh bukan hanya menyangkut persoalan aksiologis, melainkan juga menyentuh ranah ontologis dan epistemologis dengan porsi yang cukup signifikan.Â
Kelalaian kita dalam melakukan pembacaan terhadap kisah bahtera Nuh secara lebih mendalam tidak hanya menunjukkan tentang betapa masih sangat tekstualnya pembacaan kita terhadap ajaran agama, melainkan juga turut menjelaskan (paling tidak secara parsial) mengapa kita kerap kali dapat mengulang tragedi dari kesalahan yang sejenis sebagaimana para pendahulu kita secara bersama-sama.Â
Kita cenderung belum mampu untuk mengambil pelajaran dari pengalaman kelam secara holistik sehingga walaupun misalnya kita telah menghindari suatu faktor perilaku, kita tetap abai dan melakukan sejumlah perilaku negatif lainnya yang pada akhirnya secara kolektif tetap menyebabkan tragedi serupa terjadi kembali.
Tengok misalnya bagaimana masyarakat Amerika Serikat mengulang perilaku spekulatif mereka di pasar modal, di mana sebelumnya mereka telah mendapatkan pelajaran pahit dari pecahnya Tech Bubble pada penghujung tahun 1999, dan ironisnya kini tragedi serupa terjadi pada beragam perusahaan rintisan dengan valuasi yang hanya mengandalkan jargon "disrupsi" dan aset kripto yang disokong oleh meme ketimbang utilitas yang jelas.Â
Masyarakat Amerika Serikat hanya belajar untuk tidak berinvestasi pada instrumen dan sektor yang telah terbukti gagal, bukan belajar memahami mengapa dan bagaimana ketidakmasukakalan yang berujung tragedi ini dapat terjadi dalam berbagai situasi.
Dan sebagaimana keseluruhan kisah para Nabi yang dibawakan oleh agama Samawi yang telah menunjukkan bagaimana berbagai umat lintas zaman senantiasa mengulang kesalahan yang sama berupa pengingkaran terhadap ajaran agama tuhan melalui beragam cara, peradaban manusia seakan dikutuk untuk terus mengulang kesalahan yang serupa dalam berbagai dimensi kehidupan.Â