Kisah mengenai Bahtera Nuh, terutama bagi kalangan yang pernah mendapatkan pendidikan agama Samawi di bangku sekolah, selama ini umumnya ditafsirkan sebagai pengingat tentang pentingnya menjaga diri agar senantiasa beriman hanya kepada Allah, entah itu Allah dalam tradisi Yahudi, Kristen, maupun Islam.Â
Di sisi lain, selama ribuan tahun lamanya, kisah ini senantiasa disebarluaskan dan mengambil bentuk yang beragam menurut berbagai tradisi masyarakat setempat. Seluruh versi cerita tersebut, kendati memiliki ragam versi nama tokoh agama dan sosok yang dipertuhankan, mengambil tema serupa, yakni upaya keras seorang pria yang selama ratusan tahun berupaya menyelamatkan kaumnya dari azab air bah yang dikirimkan oleh sosok ilahi. Â
Dalam mitos Sumeria, yang notabene merupakan peradaban yang lebih tua dibanding tradisi Samawi itu sendiri, dikisahkan Ziusudra diutus oleh Dewa Enki (Dewa Air, Pengetahuan, dan Penciptaan dalam tradisi Sumeria) untuk membangun bahtera guna menyelamatkan dirinya, keluarganya, dan kaumnya dari azab air bah yang dikirimkan oleh para dewa yang murka kepada umat manusia.Â
Dalam versi ini, Ziusudra adalah seorang raja Sumeria yang mewarisi tahta dari ayahnya, Ubara-Tutu, yang terlebih dahulu telah berkuasa selama sepuluh sars (setara 3.600 tahun). Ziusudra berkuasa atas wilayah bernama Shuruppak berdasarkan catatan yang termuat pada tablet Gilgamesh XI. Wilayah ini berada sekitar 55 km sebelah selatan Nippur yang bertepian dengan sungai Euphrates di Irak.
Beberapa kemiripan yang dapat kita temukan antara kisah Ziusudra (yang potongannya ditemukan pada tablet berbahasa Sumeria yang dapat dirunut sejarah penulisannya hingga abad ke-17 sebelum masehi) dengan versi kisah Nuh pada agama Samawi ada pada deskripsi banjir bandang yang berlangsung selama berhari-hari diiringi gemuruh badai dan kilat serta keberadaan gunung sebagai lokasi berlabuhnya bahtera.Â
Mungkinkah kemiripan ini hanya kebetulan semata dari dua kisah yang berbeda?
Kisah Ziusudra merupakan satu dari rangkaian mitos air bah Mesopotamia yang berasal dari periode Babilonia Tua sekitar abad ke-20 hingga 16 sebelum masehi. Selain kisah ini, terdapat sembilan versi cerita bencana air bah Mesopotamia dengan yang terakhir dituliskan dalam Bahasa Yunani sekitar abad ke-3 sebelum masehi oleh seorang pendeta Babilonia bernama Berossus.
Dalam versi Berossus, tokoh utama dari kisah air bah ini bukanlah Ziusudra, melainkan Xisouthros. Di luar kedua nama tersebut, berbagai versi bencana air bah lainnya dalam tradisi Babilonia mencantumkan nama-nama tokoh utama seperti Utnapishtim dan Atrahasis.
Selanjutnya di dalam tradisi Hindu, dikisahkan mengenai Vaivasvata Manu, seorang raja sekaligus orang suci dari daerah Dravida yang diperingatkan oleh Matsya (ikan penjelmaan Dewa Wisnu) mengenai datangnya bencana air bah dan bahwa ia harus membuat bahtera untuk mengangkut dirinya, keluarganya, dan tujuh orang suci lainnya agar selamat dari bencana tersebut.Â
Kisah ini termuat dalam berbagai teks seperti Mahabharata dan berbagai Purana (semacam kompilasi literatur India berisi berbagai kisah dan legenda). Versi cerita ini memiliki tingkat kemiripan yang cukup tinggi dengan mitos air bah Mesopotamia di atas.