Dan ya, dalam tulisan ini penulis hendak mengargumentasikan mengapa perang tersebut, setidaknya sampai pada batas tertentu, bukanlah satu-satunya faktor yang menyebabkan meroketnya harga minyak dunia. Berikut adalah beberapa faktor penting lainnya yang harus dipertimbangkan:
1. Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar AS
Setidaknya selama 5 tahun belakangan, nilai Dollar AS konsisten berada di rentang Rp. 13.000 -15.000 dengan tren yang cenderung meningkat. Nilainya bahkan sempat melonjak hingga Rp. 16.000 pada awal pandemi Covid-19.Â
Nilai Rupiah yang melemah secara teori akan berdampak pada semakin mahalnya harga barang-barang yang harus diimpor menggunakan mata uang Dollar AS, termasuk di dalamnya minyak bumi yang diperdagangkan di pasar internasional dalam mata uang tersebut.
Situasi saat ini di Rusia di mana Putin baru-baru ini menggulirkan rencana penjualan hasil bumi Rusia hanya dengan mata uang Ruble memberikan peluang tersendiri bagi Indonesia untuk menciptakan alternatif sumber impor migas, selama akses terhadap Ruble tidak sulit dan Indonesia tetap dapat bersikap independen dari intervensi negara lain yang sudah melakukan embargo terhadap Rusia.Â
Kendati demikian, belakangan Ruble sendiri telah mengalami penguatan nilai tukar sebagai imbas dari strategi Putin tersebut. Pasar mungkin telah merespon dengan agak berlebihan, atau mungkin juga tidak.Â
Penulis sendiri di awal perang ini sempat berminat membeli mata uang ini untuk diperdagangkan. Sayangnya sulit untuk memperoleh Ruble di pasar bebas dan kini harganya yang sempat anjlok sudah pulih kembali.
2. Inflasi Amerika Serikat
Inflasi adalah peristiwa di mana nilai suatu mata uang mengalami penurunan dan menyebabkan daya belinya berkurang. Serangkaian kebijakan pemberian insentif yang dilakukan oleh Amerika Serikat sejak awal pandemi Covid-19 dalam rangka menstimulus perekonomian negara tersebut perlahan mulai menimbulkan dampak negatif yang salah satunya terlihat dari lonjakan angka inflasi pada tahun 2021.
Rangkaian kebijakan yang penulis maksud antara lain mencakup Quantitative Easing hingga Stimulus Check. Sementara yang pertama mengambil bentuk pembelian surat berharga dari pasar menggunakan uang yang dicetak oleh Bank Sentral, yang kedua mengambil bentuk pemberian Bantuan Langsung Tunai kepada rumah tangga dan usaha rintisan yang terimbas kebijakan lockdown.Â
Dengan meningkatnya pasokan Dollar AS di pasaran selama pandemi ini, inflasi menjadi sesuatu yang tak terhindarkan. Hal ini salah satunya menyebabkan kenaikan harga, termasuk di sektor migas.Â