Mohon tunggu...
Satrio Arismunandar
Satrio Arismunandar Mohon Tunggu... Penulis - Penulis buku, esais, praktisi media, dosen ilmu komunikasi, mantan jurnalis Pelita, Kompas, Media Indonesia, Majalah D&R, Trans TV, Aktual.com. Pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Penulis buku, esais, praktisi media, dosen ilmu komunikasi, mantan jurnalis Pelita, Kompas, Media Indonesia, Majalah D&R, Trans TV, Aktual.com. Pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Survei "Tidak Ilmiah" YLKI untuk Memojokkan AMDK Galon Isi Ulang

27 Maret 2022   07:12 Diperbarui: 23 September 2022   07:31 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama lembaga perlindungan konsumen bisa memberi wibawa tertentu, untuk suatu kampanye menolak produk tertentu. Apalagi jika kampanye itu dilakukan berbekal suatu penelitian ilmiah, yang bisa dipertanggungjawabkan di depan komunitas keilmuan terkait. Hasil dan rekomendasinya bisa sangat kuat, karena diakui kredibilitasnya.

Namun, jika survei yang dilakukan cuma basa-basi biar dianggap “ilmiah,” dan tidak nyambung dengan materi atau substansi yang diteliti, ini bisa berdampak negatif dan merugikan banyak pihak, termasuk masyarakat. Terutama, jika argumen yang dibangun lemah, dan rekomendasi yang diajukan juga terkesan dipaksakan dan mengada-ada.

Tampaknya, itulah yang dilakukan Ketua Pengurus Harian YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), Tulus Abadi. Pada Jumat (18/03/2022), ia mengumumkan hasil survei berjudul: “Monitoring dan Pengawasan Paska Pasar terhadap Pemasaran Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) di Wilayah Jabodetabek YLKI terkait pemasaran AMDK di Wilayah Jabodetabek.”

Menurut presentasi Tulus, jenis penelitiannya disebut “observasional deskriptif.” Pendekatan metodenya: data kuantitatif. Alat pengumpulan data: kuesioner. Waktu dan tempat survei adalah 25 Februari-17 Maret 2022 di wilayah Jabodetabek.

Dikatakannya, populasi survei post market adalah toko yang menjual AMDK galon. Ini meliputi supermarket, minimarket, agen, dan warung. Total sampel 334 toko. Sedangkan populasi penelitian survei konsumen adalah seluruh konsumen, yang pernah atau berlangganan dalam pengkonsumsian AMDK di Jabodetabek. Total sampelnya 307 konsumen.

Kesimpulan Terkait BPA

Dari situ, Tulus menyimpulkan: (1) Mencermati hasil survei YLKI pada mata rantai distribusi dari proses pengangkutan yang menggunakan truk/kendaraan terbuka (85%), hingga penyimpanan produk yang tidak sesuai pada galon AMDK, sangat beresiko terkena sinar matahari langsung (59% toko), yang dapat berpotensi memicu migrasi BPA pada kemasan galon guna ulang.

(2) Mayoritas penjual menyatakan, baik dari pihak produsen maupun pihak asosiasi belum memberikan edukasi terkait penyimpanan AMDK.

(3) Masih terdapat 10,8% konsumen yang tidak tepat dalam menyimpanan produk AMDK, dengan dilengkapi data 59,2% responden yang belum mengetahui secara jelas dan rinci mengenai label petunjuk penyimpanan AMDK. Serta terdapat 40,1% responden yang sama sekali tidak mengetahui tentang zat BPA pada kemasan galon.

Dari hasil survei yang “mengambang” seperti itu, Tulus membuat tujuh butir rekomendasi. Tetapi saya kutip lima yang terpenting (sesuai presentasi power point yang disajikan Tulus):

Pertama, pihak produsen harus memenuhi standar yang sesuai dalam proses pendistribusian produk AMDK, agar tidak terkena sinar matahari langsung, demi menjaga kualitas pangan dan kemasannya.

Kedua, perlu adanya aturan terkait tulisan peringatan pada label galon AMDK seperti: "Kemasan Ini Mengandung BPA“ serta "Produk AMDK galon ini Berpotensi terjadi migrasi BPA Untuk Perhatian Konsumen Usia Rentan.“

Bisfenol A (BPA) adalah suatu campuran kimia yang --dari hasil penelitian ahli kesehatan-- berpotensi menyebabkan kanker dan kemandulan pada manusia. Campuran zat ini dapat ditemui pada galon guna ulang yang berbahan plastik keras polikarbonat.

Ketiga, upaya penurunan kadar BPA dalam pangan perlu dilakukan untuk melindungi konsumen usia rentan.

Keempat, penjual AMDK Galon agar lebih memperhatikan penyimpanan produk yang baik dan benar untuk menjaga kualitas produk dan mencegah migrasi BPA ke produk air.

Kelima, konsumen agar lebih memperhatikan petunjuk penyimpanan dan pemakaian AMDK yang baik dan benar, agar kualitas air yang dibeli tetap terjaga.

Kelemahan Penelitian

Menanggapi survei yang dipresentasikan Tulus serta rekomendasi-rekomendasi yang ia usulkan, saya ingin menunjukkan beberapa kerancuan dan kelemahan dalam “penelitian,” yang hasilnya dipaparkan Tulus.

Pertama, harus jelas bahwa survei itu pada dasarnya hanyalah mencari opini. Ya, betul: opini. Opini seperti: Apakah pada pilpres nanti, seseorang akan memilih capres A atau capres B? Apakah pada pemilu, ia akan mencoblos parpol C atau parpol D?

Jadi opini tidak bisa dijadikan dasar untuk membuat kesimpulan tentang sesuatu fakta, yang harus diukur dengan alat atau instrumen yang tepat, yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Survei bisa mencari jawaban, misalnya: Apakah konsumen lebih suka menggunakan/mengkonsumsi AMDK botol 600 ml atau botol 350 ml? Atau, apakah konsumen lebih suka minum teh rasa apel, atau teh rasa jeruk?

Namun, survei tidak bisa –dan tidak mungkin menjawab pertanyaan—apakah AMDK Galon yang terpapar sinar matahari itu akan menimbulkan migrasi zat BPA ke air minum atau tidak? Itu harus diukur dengan alat tertentu, dan hasil pengukuran akan bersifat objektif, karena bukan sekadar opini.

Namun, bahkan untuk mengukur keterpaparan sinar matahari pun juga perlu ketersediaan alat ukur dan penguasaan teknis tersendiri, yang masyarakat awam tidak paham dan tidak bisa melakukannya. Ini harus dilakukan oleh orang yang ahli atau profesional di bidangnya.

Cuma Embel-embel

Selain itu, dalam penelitian ilmiah harus ada batasan yang jelas untuk pengertian “terpapar sinar matahari.” Apalagi jika mau mengklaim, “terpapar sinar matahari hingga ke tahap yang berisiko pada kesehatan konsumen.”

Sebagai contoh: Apakah terpapar matahari pada pukul 6.30 pagi bisa disamakan dengan terpapar matahari pukul 12.00? Berapa lama AMDK Galon isi ulang harus terpapar sinar matahari, untuk bisa dikatakan “berisiko pada kesehatan konsumen?”

Lalu, berapa sih sebetulnya suhu maksimal yang bisa terjadi, akibat terpapar sinar matahari di kondisi cuaca/iklim tropis Jabodetabek? Sehingga bisa dikategorikan berisiko bagi kesehatan konsumen? Hal-hal semacam ini lazim dalam penelitian ilmiah, tetapi tidak tercakup dalam survei dan tidak pernah diungkapkan oleh Tulus.

Jadi, survei yang dilakukan sebenarnya cuma embel-embel atau basa-basi. Ini karena survei itu tidak bisa dijadikan landasan, untuk membuat kesimpulan ataupun rekomendasi terkait tentang kandungan dan migrasi BPA di AMDK Galon isi ulang.

Rekomendasi Tulus bahwa perlu adanya aturan terkait tulisan peringatan pada label galon AMDK --seperti "Kemasan Ini Mengandung BPA“ serta "Produk AMDK galon ini Berpotensi terjadi migrasi BPA Untuk Perhatian Konsumen Usia Rentan“— itu sama sekali “tidak nyambung” dengan metode survei yang dilakukan.

Bagaimana survei yang --menurut Tulus- berjenis “observasional deskriptif,” bisa mengambil kesimpulan yang berkaitan dengan “kemasan ini mengandung BPA” dan “produk AMDK galon ini berpotensi terjadi migrasi BPA untuk perhatian konsumen usia rentan?” Itu murni asumsi, dugaan, dan anggapan Tulus sendiri.

Pendapat Pakar Polimer ITB

Rekomendasi yang diajukan Tulus itu jelas sama sekali tidak ilmiah, karena tidak berdasarkan penelitian ilmiah. Namun, rekomendasi itu lebih pada asumsi, dugaan, kecurigaan, prasangka, ataupun “misi” yang memang mau dijalankan Tulus semata-mata.

Marilah kita bandingkan klaim-klaim Tulus dengan pernyataan pakar. Pakar polimer Institut Teknologi Bandung (ITB), Ahmad Zainal Abidin, Senin (republika.co.id, 21/3/2022), menyatakan, galon AMDK berbahan PET yang digunakan untuk sekali pakai lebih berisiko jika terkena sinar matahari dan benturan, dibandingkan yang berbahan Polikarbonat (galon isi ulang).

Hal itu karena galon PET memiliki temperatur transisi gelas (Tg) yang jauh lebih rendah dibanding yang berbahan Polikarbonat. Suhu transisi gelas adalah suhu di mana suatu polimer mengalami perubahan dari liquid (yang mengalir, walaupun mungkin sangat lambat) menjadi bentuk solid.

Menurut Ahmad Zainal Abidin, galon berbahan PET memiliki temperatur transisi gelas pada 80 derajat Celcius, sedang galon Polikarbonat pada 150 derajat Celcius. “Dengan demikian, galon berbahan PET akan lebih berisiko jika terkena sinar matahari ketimbang Polikarbonat,” ujarnya.

Pertanyaan saya, secara logika sederhana: Berapa derajat Celcius kah suhu maksimal galon isi ulang ketika terpapar sinar matahari? Mungkinkah suhunya bisa mencapai 150 derajat Celcius? Tampaknya, itu tidak mungkin. Siswa SMP yang belajar fisika dasar saja tahu, air sudah mendidih di suhu 100 derajat Celcius.

Pada suhu 150 derajat Celcius, galon isi ulang tidak akan bisa disentuh dengan tangan saking panasnya! Lebih panas dari air mendidih.

Kapankah Anda dan saya pernah melihat atau meraba galon isi ulang, yang suhunya lebih panas dari mendidih? Artinya, klaim bahwa bahan Polikarbonatnya mengalami perubahan (dan memicu migrasi BPA) akibat terpapar sinar matahari, lebih terdengar seperti klaim yang mengada-ada atau asbun (asal bunyi).

Kepada Zainal ditanyakan soal survei YLKI terhadap galon berbahan PC, yang menyoroti cara penjualan dan pendistribusiannya. Zainal mengatakan bahwa ketika BPOM mengeluarkan izin edar air kemasan plastik, lembaga tersebut sudah melakukan penelitian serupa dan dinyatakan aman.

“Survei (YLKI) itu seharusnya dilakukan secara objektif, tidak hanya terhadap galon PC yang guna ulang saja, tapi lebih ke galon PET, galon sekali pakai yang malah lebih tinggi risikonya,” ucapnya.

Dari sini jelas bahwa survei atau “penelitian” yang dilakukan Tulus cuma akal-akalan atau dalih yang diada-adakan, untuk kampanye dengan misi menolak produk AMDK galon isi ulang. Sayang sekali, nama dan kredibilitas YLKI dipertaruhkan oleh Tulus untuk agenda-agenda semacam itu. ###

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun