Mohon tunggu...
Satrio Arismunandar
Satrio Arismunandar Mohon Tunggu... Penulis - Penulis buku, esais, praktisi media, dosen ilmu komunikasi, mantan jurnalis Pelita, Kompas, Media Indonesia, Majalah D&R, Trans TV, Aktual.com. Pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Penulis buku, esais, praktisi media, dosen ilmu komunikasi, mantan jurnalis Pelita, Kompas, Media Indonesia, Majalah D&R, Trans TV, Aktual.com. Pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Survei "Tidak Ilmiah" YLKI untuk Memojokkan AMDK Galon Isi Ulang

27 Maret 2022   07:12 Diperbarui: 23 September 2022   07:31 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun, bahkan untuk mengukur keterpaparan sinar matahari pun juga perlu ketersediaan alat ukur dan penguasaan teknis tersendiri, yang masyarakat awam tidak paham dan tidak bisa melakukannya. Ini harus dilakukan oleh orang yang ahli atau profesional di bidangnya.

Cuma Embel-embel

Selain itu, dalam penelitian ilmiah harus ada batasan yang jelas untuk pengertian “terpapar sinar matahari.” Apalagi jika mau mengklaim, “terpapar sinar matahari hingga ke tahap yang berisiko pada kesehatan konsumen.”

Sebagai contoh: Apakah terpapar matahari pada pukul 6.30 pagi bisa disamakan dengan terpapar matahari pukul 12.00? Berapa lama AMDK Galon isi ulang harus terpapar sinar matahari, untuk bisa dikatakan “berisiko pada kesehatan konsumen?”

Lalu, berapa sih sebetulnya suhu maksimal yang bisa terjadi, akibat terpapar sinar matahari di kondisi cuaca/iklim tropis Jabodetabek? Sehingga bisa dikategorikan berisiko bagi kesehatan konsumen? Hal-hal semacam ini lazim dalam penelitian ilmiah, tetapi tidak tercakup dalam survei dan tidak pernah diungkapkan oleh Tulus.

Jadi, survei yang dilakukan sebenarnya cuma embel-embel atau basa-basi. Ini karena survei itu tidak bisa dijadikan landasan, untuk membuat kesimpulan ataupun rekomendasi terkait tentang kandungan dan migrasi BPA di AMDK Galon isi ulang.

Rekomendasi Tulus bahwa perlu adanya aturan terkait tulisan peringatan pada label galon AMDK --seperti "Kemasan Ini Mengandung BPA“ serta "Produk AMDK galon ini Berpotensi terjadi migrasi BPA Untuk Perhatian Konsumen Usia Rentan“— itu sama sekali “tidak nyambung” dengan metode survei yang dilakukan.

Bagaimana survei yang --menurut Tulus- berjenis “observasional deskriptif,” bisa mengambil kesimpulan yang berkaitan dengan “kemasan ini mengandung BPA” dan “produk AMDK galon ini berpotensi terjadi migrasi BPA untuk perhatian konsumen usia rentan?” Itu murni asumsi, dugaan, dan anggapan Tulus sendiri.

Pendapat Pakar Polimer ITB

Rekomendasi yang diajukan Tulus itu jelas sama sekali tidak ilmiah, karena tidak berdasarkan penelitian ilmiah. Namun, rekomendasi itu lebih pada asumsi, dugaan, kecurigaan, prasangka, ataupun “misi” yang memang mau dijalankan Tulus semata-mata.

Marilah kita bandingkan klaim-klaim Tulus dengan pernyataan pakar. Pakar polimer Institut Teknologi Bandung (ITB), Ahmad Zainal Abidin, Senin (republika.co.id, 21/3/2022), menyatakan, galon AMDK berbahan PET yang digunakan untuk sekali pakai lebih berisiko jika terkena sinar matahari dan benturan, dibandingkan yang berbahan Polikarbonat (galon isi ulang).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun