Sang peraih medali emas Olimpiade Paris 2024 pada nomor Badminton tunggal putri asal Korea Selatan, An Se-Young, tengah menjadi buah bibir hangat di negaranya.
Bukan haru biru dari para fansnya untuk memberikan selamat kepadanya ataupun bonus yang akan diterimanya, namun justru perseteruan sengit antara dirinya dengan Asosiasi Bulu Tangkis Korea (BKA), atau PBSI-nya Korea Selatan.
Tak lama setelah An Se-Young meraih medali emas Olimpiade, ia langsung membuka tabir kebobrokan federasinya, BKA pada khalayak publik.
Mulai dari penanganan cederanya amat buruk dan kurang perhatian, kemudian fasilitas metode latihan yang kurang memadai, terlalu ikut campur kontrak sponsor pemain, praktik perploncoan pemain senior hingga pembatasan partisipasi pemain independen di turnamen internasional.
Sontak apa yang diungkap ratu badminton Korea Selatan, An Se-Young tentunya membuat gempar negaranya bahkan juga dunia badminton pada umumnya, mengingat Korea Selatan adalah salah satu barometer kekuatan dunia tepok bulu.
Jika kita mengikuti perkembangan beritanya, dikutip Hani.co.kr, kasus tersebut kini dalam penyelidikan yang dilakukan oleh Komite Olahraga dan Olimpiade Korea Selatan.
Besar kemungkinan pangkal permasalahannya jelas pada sang ketua BKA sendiri yaitu Kim Taek-gyu yang disinyalir melakukan tindak korupsi pada fasilitas atlet, dan yang baru terkuak adalah pengadaan shuttlecock yang harganya dimainkan hingga 30 %.
Itu baru masalah pengadaan Shuttlecock, bisa jadi permasalahannya bisa lebih besar dari itu, sebagaimana yang diungkapkan oleh An Se-Young.
Apa yang dilakukan An Se-Young adalah perilaku Whistleblower, yaitu seseorang dari bagian internal organisasi yang menyuarakan kritik secara vulgar kebobrokan pada manajemen institusi yang menaunginya, sehingga harapannya bisa dilakukan perubahan untuk lebih baik.
Namun, perilaku Whistleblower memang membutuhkan mental atau nyali untuk siap menerima konsekuensinya. Pada kasus suatu perusahaan atau institusi pemerintahan, tentunya ruang ini teramat sulit, karena terhalang sekat "ewuh pekewuh" alias tidak enakan hingga risiko dikeluarkan dari organisasi, jika ada salah satu karyawannya yang berani menjadi Whistleblower.
Whistleblower diambil dari dua kata, yaitu whitsle yang artinya peluit, dan blower memiliki arti peniup atau penyemprit. Artinya seorang Whistleblower memang harus mempunyai nyali untuk menyemprit peluit terhadap ketidakberesan pada organisasinya.
Biasanya istilah ini dipakai pada perusahaan-perusahaan berpandangan maju, yang memberi ruang "surat kaleng" kepada seluruh karyawannya untuk menyuarakan hal-hal tak baik dalam perusahaan tersebut.
Namun pada kasus Whistleblower An Se-Young cukup menarik, karena terjadi dalam dunia olahraga, dimana ia baru berani mengungkapkannya ketika berhasil meraih prestasi medali emas Olimpiade, karena merasa mendapat angin untuk menyuarakan ketidakberesan BKA, coba saja kalau dia kalah dengan Gregoria Mariska di babak semifinal, mungkin kebobrokan federasi bulutangkis di negaranya pasti terus berlanjut, karena tak ada yang berani mengungkapkannya.
Bagaimana dengan negara kita, apakah baik-baik saja. Coba lihat bang Rocky Putiray, sang striker legendaris nyentrik yang kerap kali menceritakan praktik mafia pengaturan skor dalam dunia sepakbola kita dan Asia Tenggara, namun sayangnya ia mengungkapkannya ketika sudah pensiun sebagai pemain Timnas.
Lalu kemudian baru saja sang peraih medali emas Olimpiade pada cabor angkat besi, lifter Risky Juliansyah yang mengkritik para pejabat yang terkesan mau nampang dengannya ketika dirinya berprestasi, namun untuk fasilitas bagi atlet belum maksimal.
Sebenarnya masih banyak contoh yang bisa ditampilkan tentang dimana banyak atlet di negara kita yang menyuarakan kebobrokan kepengurusan olahraga negara ini, namun kesannya masih di jalan di tempat.
Jika seandainya saran masukan para atlet berprestasi ini selalu didengarkan dan dikongkritkan, saya yakin kita pasti selalu langganan juara umum SEA Games dan bisa terus masuk 5 besar Asian Games dan meraih minimal 3 medali emas Olimpiade pada setiap perhelatannya.
Kalau para atlet masih dianggap obyek, bukan malah harus dijadikan subyek utama dalam pengembangannya, maka hal itu tak ubahnya menganggap dunia olahraga sebagai hal yang remeh dan tak penting alias beban bagi negara.
Padahal prestasi olahraga dalam kancah dunia secara langsung mempromosikan negaranya untuk lebih dikenal, sebagai contoh negara mungil St Lucia yang penduduknya tak lebih banyak dari kecamatan di Indonesia, pasti setelah salah satunya atletnya yang meraih medali emas Olimpiade akan mendapat imbas seperti beberapa sponsor olahraga dunia akan berinvestasi di negara kecil tersebut, artinya ada multiplayer effect di sana.
Lalu bagaimana caranya mengelola dunia olahraga secara profesional dan berkomitmen tinggi, agar tidak ada lagi suara-suara sumbang dari para atletnya. Berikut beberapa hal yang kiranya dapat menjadi perhatian kita bersama agar para atlet kita bisa berprestasi optimal.
Reformasi Ketua Federasi
Kasus bobroknya BKA di Korea Selatan adalah kurang cakapnya ketua federasinya sendiri, diketahui Kim Taek-Gyu bukanlah tokoh Badminton Korea Selatan, dia hanya berlatar belakang sebagai seorang pengamat olahraga yang kebetulan "dekat" orang pemerintahan.
Kondisi demikian juga tak ubahnya di negara kita, dimana para ketua federasi organisasi olahraga sering diisi orang-orang yang terafiliasi "bau-bau" politik, bukannya para mantan atlet yang sudah purna.
Makanya perlu ada reformasi tentang pemilihan ketua federasi organisasi olahraga yang lebih terbuka dan independen, diutamakan haruslah para praktisinya langsung, yaitu para mantan atletnya yang sudah makan asam garam tentang tata kelola organisasi keolahragaan.
Atau paling tidak seseorang yang memang memiliki minat dan integritas yang kuat untuk memajukan pada satu cabang olahraga. Ketidakcakapan ketua federasi organisasi olahraga, akan menjadi bom waktu bagi setiap atlet untuk menjadi Whistleblower.
Optimalisasi Atlet Muda
Kasus An Se-Young adalah gambaran betapa atlet muda kadang masih dianggap sebelah mata kontribusinya. Para atlet muda yang telah berhasil terseleksi dalam pelatnas, memang harus menjadi perhatian yang lebih banyak dari federasi ketimbang atlet senior, dikarenakan mereka kebanyakan belum dapat banyak bantuan sponsor dari luar.
Berbeda dengan atlet senior yang sudah malang melintang, sudah pasti telah mendapat support dari sponsorship dan juga bantuan dari Pemda darimana ia berasal.
Namun untuk atlet muda yang baru memulai kiprahnya pada turnamen regional, harus mendapat perhatian khusus dari segala sisi, baik gizi, porsi latihan, alat penunjang latihan, pelatih yang berkualitas dan lainnya, sehingga pada saat usia emasnya atau prime dia dapat optimal meraih prestasi. Jika sudah demikian, tak ada atlet lagi yang terlantar begitu saja di tengah karirnya.
Keterbukaan Finansial
Bukan rahasia umum, pada setiap organisasi keolahragaan manapun masalah paling utama adalah ketidakterbukaan masalah finansial, sekelas FIFA saja disinyalir dipenuhi para mafia judi bola.
Maka dari itu, diperlukan komitmen yang kuat dari segenap insan keolahragaan agar menjadikan federasi organisasi olahraga bukan sekedar tempat naungan bisnis saja, tetapi memang benar-benar ingin memajukan cabang olahraga dan memang memiliki passion disana.
Masalah sponsor dan bantuan dari pemerintah harus benar-benar bisa dipantau oleh publik secara online penggunaannya, begitu pula para atlet juga bisa mengakses sistem Whistleblower, jika dirasa ada yang janggal dalam pengadaan saran prasarana olahraga.
Jenjang Karir Atlet Nasional
Banyak cerita dimana, ada beberapa atlet nasional yang di masa purnanya diangkat menjadi ASN, pada poin ini saya ada kurang setujunya, karena besar harapan para mantan atlet ini masih bisa berkontribusi pada federasi organisasi cabang olahraganya.
Jadi apabila seseorang di waktu mudanya memutuskan menjadi atlet, maka dia pun akan mengetahui pada usia purnanya, dia akan tetap bisa berkontribusi pada cabang olahraganya tersebut, entah sebagai pelatih utama, pelatih teknis atau bagian dari manajemennya.
Untuk menunjang hal tersebut perlu ada komitmen dari kementerian olahraga untuk memantau para mantan atlet agar selalu bisa berkontribusi bagi cabang olahraganya dan mereka pun dibayar untuk itu.
Hal tersebut dimaksudkan, para mantan atlet ini mampu memperbaiki apa saja yang kurang di masa lalu, sehingga atlet-atlet muda yang dibimbingnya bisa merasakan kualitas yang lebih baik dalam pembinaannya
Setiap atlet daerah dan nasional mempunyai hak yang sama untuk menyuarakan hal-hal untuk perbaikan sarana dan fasilitas untuk menunjang prestasinya, karena keolahragaan bukan sekedar senda gurau belaka, namun bentuk dari martabat sebuah bangsa. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H