Mohon tunggu...
Satria Widiatiaga
Satria Widiatiaga Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Alam

Guru di Sekolah Alam Aminah Sukoharjo

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Antara An Se-Young dan Budaya Whistleblower Atlet Nasional

23 Agustus 2024   00:56 Diperbarui: 23 Agustus 2024   00:57 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
An Se-Young dan Gregoria Mariska pada gelaran Olimpiade Paris 2024 (sumber : VOI )

Biasanya istilah ini dipakai pada perusahaan-perusahaan berpandangan maju, yang memberi ruang "surat kaleng" kepada seluruh karyawannya untuk menyuarakan hal-hal tak baik dalam perusahaan tersebut.

Namun pada kasus Whistleblower An Se-Young cukup menarik, karena terjadi dalam dunia olahraga, dimana ia baru berani mengungkapkannya ketika berhasil meraih prestasi medali emas Olimpiade, karena merasa mendapat angin untuk menyuarakan ketidakberesan BKA,  coba saja kalau dia kalah dengan Gregoria Mariska di babak semifinal, mungkin kebobrokan federasi bulutangkis di negaranya pasti terus berlanjut, karena tak ada yang berani mengungkapkannya.

Bagaimana dengan negara kita, apakah baik-baik saja. Coba lihat bang Rocky Putiray, sang striker legendaris nyentrik yang kerap kali menceritakan praktik mafia pengaturan skor dalam dunia sepakbola kita dan Asia Tenggara, namun sayangnya ia mengungkapkannya ketika sudah pensiun sebagai pemain Timnas.

Lalu kemudian baru saja sang peraih medali emas Olimpiade pada cabor angkat besi, lifter Risky Juliansyah yang mengkritik para pejabat yang terkesan mau nampang dengannya ketika dirinya berprestasi, namun untuk fasilitas bagi atlet belum maksimal.

Sebenarnya masih banyak contoh yang bisa ditampilkan tentang dimana banyak atlet di negara kita yang menyuarakan kebobrokan kepengurusan olahraga negara ini, namun kesannya masih di jalan di tempat.

Jika seandainya saran masukan para atlet berprestasi ini selalu didengarkan dan dikongkritkan, saya yakin kita pasti selalu langganan juara umum SEA Games dan bisa terus masuk 5 besar Asian Games dan meraih minimal 3 medali emas Olimpiade pada setiap perhelatannya.

Kalau para atlet masih dianggap obyek, bukan malah harus dijadikan subyek utama dalam pengembangannya, maka hal itu tak ubahnya menganggap dunia olahraga sebagai hal yang remeh dan tak penting alias beban bagi negara.

Padahal prestasi olahraga dalam kancah dunia secara langsung mempromosikan negaranya untuk lebih dikenal, sebagai contoh negara mungil St Lucia yang penduduknya tak lebih banyak dari kecamatan di Indonesia, pasti setelah salah satunya atletnya yang meraih medali emas Olimpiade akan mendapat imbas seperti beberapa sponsor olahraga dunia akan berinvestasi di negara kecil tersebut, artinya ada multiplyer effect disana.

Lalu bagaimana caranya mengelola dunia olahraga secara profesional dan berkomitmen tinggi, agar tidak ada lagi suara-suara sumbang dari para atletnya. Berikut beberapa hal yang kiranya dapat menjadi perhatian kita bersama agar para atlet kita bisa berprestasi optimal.

Reformasi Ketua Federasi

Kasus bobroknya BKA di Korea Selatan  adalah kurang cakapnya ketua federasinya sendiri, diketahui Kim Taek-Gyu bukanlah tokoh Badminton Korea Selatan, dia hanya berlatar belakang sebagai seorang pengamat olahraga yang kebetulan "dekat" orang pemerintahan.

Kondisi demikian juga tak ubahnya di negara kita, dimana para ketua federasi organisasi olahraga sering diisi orang-orang yang terafiliasi "bau-bau" politik, bukannya para mantan atlet yang sudah purna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun