Mohon tunggu...
Satria Widiatiaga
Satria Widiatiaga Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Alam

Guru di Sekolah Alam Aminah Sukoharjo

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Antara "Sekolah Mangkat Dewe", Zonasi dan Kemandirian Peserta Didik

22 Juli 2024   04:27 Diperbarui: 22 Juli 2024   04:51 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak SD berangkat sekolah (sumber: Alta School)

Sepintas apakah lirik lagu ini ada pada peserta didik Indonesia ? ternyata bukan. Jika para pembaca sering lihat video-video pelajar di Jepang, lagu tembang "Mangkat Sekolah" lebih cocok disematkan pada siswa Jepang ketimbang anaknya "bunda-ayah" di komplek sebelah.

Kita bisa lihat anak-anak Sekolah Dasar Jepang dari berbagai jenjang kelas, sebagian besar sudah berani sendiri berangkat ke sekolah dan hebatnya hampir semuanya berjalan kaki menuju ke sekolah, bersama teman-temannya.

Atau lihat saja tayangan animasi Doraemon, apa pernah kita lihat ibunya Nobita mengantarkan anaknya ke sekolah pakai Motor Matic tidak pakai helm, terus setelah itu pergi ke pasar beli sayur lalu merumpi dengan orang tua wali murid lainnya tentang siapa anaknya yang hebat waktu menunggu kepulangan anaknya di depan pagar sekolah sambil jajan cilok.

Jujur, anak Indonesia saat ini sudah terlalu dimanjakan oleh orangtuanya. Mulai dari paket data Smartphone full penuh untuk mobile game dan YouTube, makan enak pesan ojol, pas sudah makan terus disuapin sambil nonton YouTube di hapenya, justru inilah yang ditakutkan para guru masa kini, dimana aspek kemandirian pada anak kurang menjadi perhatian, karena sudah terlewat dimanjakan.

Pada lagu "Mangkat Sekolah", saya tertarik pada lirik "Sekolah mangkat Dewe", dimana mengandung makna bahwa bukan kepada si anak mencoba berangkat sekolah sendiri, tetapi kepada jarak sekolah ke rumah memang berdekatan.

Anak-anak SD -- SMP Jepang berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki sendiri, itu dikarenakan sudah memberlakukan sistem zonasi selama puluhan tahun. Lalu kenapa di Indonesia ketika memberlakukan sistem zonasi menjadi heboh.

Mau Zonasi, NEM atau ujian tes calistung, semuanya menurut saya sama saja, jikalau ada pertentangan, maka yang salah bukan sistemnya, tetapi mindset para stakeholder pendidikan kita.

Sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB), selain bertujuan untuk pemerataan kualitas sekolah-sekolah negeri, juga bertujuan untuk melatih peserta didik untuk mandiri bisa berangkat ke sekolah, tanpa harus diantarkan oleh orang tuanya.

Wajar ketika sekarang kita lihat masih melihat banyak orang tua yang mengantarkan anak ke sekolah, dikarenakan jarak antara sekolah dan rumahnya memang jauh dan ditambah traffic lalu lintas negara kita yang rawan laka lantas, utamanya di pagi hari.

Saya sendiri sewaktu di bangku sekolah dasar, pernah mengalami dua kali pindah sekolah, dikarenakan mengikuti ayah dinas mutasi. Sewaktu saya di kelas 1 hingga kelas 2 SD, jarak sekolah dan rumah sangat dekat, dan waktu itu berani berangkat dan pulang sendirian, walau kadang sampai rumah masih menangis, karena dijahili teman.

Namun sewaktu kelas 3 hingga kelas 6 SD saya pindah sekolah ikuti ayah dinas mutasi beda kota, waktu itu saya justru sering diantar dan dijemput oleh orang tua, karena jarak sekolah dan rumah lumayan jauh. Sebenarnya ada sekolah yang di dekat rumah, namun jaman itu masih eranya sekolah negeri 'favorit', orang tua tetap rela menyekolahkan saya di SD favorit, walau cukup jauh jaraknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun