"Saiki aku wis gedhe...
Sekolah mangkat dewe
Ora usah dieterake Â
Bareng karo kancane
Yen mlaku turut pinggiran,
Ora pareng gojegan
Neng ndalan akeh kendaraan
Mengko mundhak tabrakan"
Sekarang aku sudah besar, ke Sekolah berangkat sendiri
Tidak usah diantarkan, bersama teman-teman
Jalan di pinggiran jalan, tidak boleh bercanda
Di jalan banyak kendaraan, Nanti bisa tabrakan
Setiap pagi di Sekolah-sekolah Jawa Tengah, lagu "Mangkat Sekolah" yang saya tulis liriknya di atas sering diperdengarkan ketika para peserta didik telah tiba di sekolahnya.
Liriknya dan nadanya berkategori "dolanan", mudah dipahami, unik tapi berkarakter. Lagu tembang Jawa anak ini, adalah salah satu lagu anak favorit saya. Walau terkesan sederhana, tapi mengandung makna yang sangat mendalam dan harus menjadi perhatian bagi orangtua wali murid.
Saya mencoba Googling, siapa pencipta lagu ini, namun belum menemukannya. Namun yang jelas, dalam istilah tembang macapat Jawa, tembang lagu ini berkategori "Kinanti", yaitu karakter tembang yang berisi wejangan guru kepada muridnya, bagi para guru bahasa Jawa, mungkin paham betul ini.
Pesan yang disampaikan pada lagu tembang ini adalah mengajarkan kemandirian anak untuk bisa berangkat sendiri ke sekolah, namun tetap mempertahankan keselamatan dalam perjalanan.
Sepintas apakah lirik lagu ini ada pada peserta didik Indonesia ? ternyata bukan. Jika para pembaca sering lihat video-video pelajar di Jepang, lagu tembang "Mangkat Sekolah" lebih cocok disematkan pada siswa Jepang ketimbang anaknya "bunda-ayah" di komplek sebelah.
Kita bisa lihat anak-anak Sekolah Dasar Jepang dari berbagai jenjang kelas, sebagian besar sudah berani sendiri berangkat ke sekolah dan hebatnya hampir semuanya berjalan kaki menuju ke sekolah, bersama teman-temannya.
Atau lihat saja tayangan animasi Doraemon, apa pernah kita lihat ibunya Nobita mengantarkan anaknya ke sekolah pakai Motor Matic tidak pakai helm, terus setelah itu pergi ke pasar beli sayur lalu merumpi dengan orang tua wali murid lainnya tentang siapa anaknya yang hebat waktu menunggu kepulangan anaknya di depan pagar sekolah sambil jajan cilok.
Jujur, anak Indonesia saat ini sudah terlalu dimanjakan oleh orangtuanya. Mulai dari paket data Smartphone full penuh untuk mobile game dan YouTube, makan enak pesan ojol, pas sudah makan terus disuapin sambil nonton YouTube di hapenya, justru inilah yang ditakutkan para guru masa kini, dimana aspek kemandirian pada anak kurang menjadi perhatian, karena sudah terlewat dimanjakan.
Pada lagu "Mangkat Sekolah", saya tertarik pada lirik "Sekolah mangkat Dewe", dimana mengandung makna bahwa bukan kepada si anak mencoba berangkat sekolah sendiri, tetapi kepada jarak sekolah ke rumah memang berdekatan.
Anak-anak SD -- SMP Jepang berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki sendiri, itu dikarenakan sudah memberlakukan sistem zonasi selama puluhan tahun. Lalu kenapa di Indonesia ketika memberlakukan sistem zonasi menjadi heboh.
Mau Zonasi, NEM atau ujian tes calistung, semuanya menurut saya sama saja, jikalau ada pertentangan, maka yang salah bukan sistemnya, tetapi mindset para stakeholder pendidikan kita.
Sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB), selain bertujuan untuk pemerataan kualitas sekolah-sekolah negeri, juga bertujuan untuk melatih peserta didik untuk mandiri bisa berangkat ke sekolah, tanpa harus diantarkan oleh orang tuanya.
Wajar ketika sekarang kita lihat masih melihat banyak orang tua yang mengantarkan anak ke sekolah, dikarenakan jarak antara sekolah dan rumahnya memang jauh dan ditambah traffic lalu lintas negara kita yang rawan laka lantas, utamanya di pagi hari.
Saya sendiri sewaktu di bangku sekolah dasar, pernah mengalami dua kali pindah sekolah, dikarenakan mengikuti ayah dinas mutasi. Sewaktu saya di kelas 1 hingga kelas 2 SD, jarak sekolah dan rumah sangat dekat, dan waktu itu berani berangkat dan pulang sendirian, walau kadang sampai rumah masih menangis, karena dijahili teman.
Namun sewaktu kelas 3 hingga kelas 6 SD saya pindah sekolah ikuti ayah dinas mutasi beda kota, waktu itu saya justru sering diantar dan dijemput oleh orang tua, karena jarak sekolah dan rumah lumayan jauh. Sebenarnya ada sekolah yang di dekat rumah, namun jaman itu masih eranya sekolah negeri 'favorit', orang tua tetap rela menyekolahkan saya di SD favorit, walau cukup jauh jaraknya.
Mindset 90an ini mungkin masih terbawa hingga kini dan menjadi polemik ketika diberlakukan sistem zonasi. Pengalaman saya sewaktu di bangku SD, adalah gambaran sebenarnya peserta didik justru lebih menyukai sekolah yang jaraknya dekat, ketimbang sekolah favorit.
Lalu bagaimanakah dalam membuat mindset para orang tua wali murid terpikir untuk menyekolahkan anaknya pada sekolah yang jaraknya dekat, untuk melatih kemandirian dirinya, berikut ulasannya.
Percepat Merger Sekolah
Imbas dari pemberlakuan sistem zonasi dalam PPDB adalah banyaknya sekolah negeri yang sedikit menerima peserta didik baru atau bahkan sama sekali tidak menerima satu pun pendaftaran.
Hal tersebut menurut saya wajar-wajar saja, utamanya yang sekolah dasar, dikarenakan tidak setiap area zonasi merupakan wilayah padat penduduk dan tentunya ada sebagian besar orangtua yang menyekolahkan anaknya di sekolah yang terlabel "sekolah negeri favorit", serta mulai banyaknya sekolah dasar swasta yang berdiri dimana-mana.
Pihak Dinas Pendidikan perlu gerak cepat memetakan sekolah mana saja yang harus segera dimerger. Di area kota Surakarta, saya lihat sudah ada beberapa SD yang dimerger, namun belum semuanya.
Hal ini sangat mendesak untuk disegerakan, karena untuk mensupport sekolah-sekolah yang area padat penduduk. Biasanya sekolah yang dimerger atau digabungkan, bangunannya diperbaharui dan kualitas sarana dan prasarana bisa jauh lebih baik. Artinya diharapkan ketika beberapa sekolah dimergerkan, maka kualitas sekolahnya bisa meningkat.
Jalan Raya Ramah Anak
Jika kita melihat di Jepang, banyak sekali marka lalin jalanan serta rambu lalu lintas yang mensupport perjalanan pedestrian khusus bagi pelajar.
Belum lagi di sana ada semacam kesadaran kode etik bagi orang dewasa di jalanan untuk membantu keselamatan para pelajar di jalan raya, seperti membantu menyeberangkan, hingga kendaraan yang mau berhenti, jika ada rombongan pelajar hendak menyeberang.
Hal ini tentunya harus patut untuk ditiru dan dipakai di Indonesia. Kebanyakan marka penyeberangan anak sekolah itu diadakan jika ada permintaan dari Sekolah kepada Dishub dan Satlantas.
Ke depannya seharusnya kedua instansi ini justru harus wajib memetakan dan membuat marka dan rambu yang membantu keselamatan para pelajar, tanpa harus menunggu permintaan dari sekolah setempat.
Keberadaan marka penyeberang jalan dan rambu lalin yang membantu keselamatan para pelajar tentunya akan mendukung terwujudnya jalan yang ramah anak. Para orang tua pun tidak terlalu mengkhawatirkan anaknya yang pergi ke sekolah sendirian berjalan kaki.
Kerja Sama Polsek/Satlantas
Ada baiknya pihak sekolah berkerja sama dengan Polsek atau Satlantas untuk pengamanan lalu lintas di sekitar jalan raya sekolah pada saat keberangkatan dan kepulangan para pelajar.
Saya rasa itu bukan menjadi beban bagi pak polisi, justru memang harus dilakukan untuk melindungi segenap warganya yang di dalam wilayah wewenangnya.
Jika perlu pak polisi setempat bisa melatih cara pengaturan lalin kepada beberapa pelajar terpilih untuk menjadi "polisi keamanan sekolah".
Dengan keberadaan para pak polisi yang selalu rutin mengamankan perjalanan para pelajar ke sekolah, maka hal tersebut tentunya juga akan mengurangi rasa khawatir para orang tua wali murid.
Edukasi Etika di Jalan Raya
Jika memang pada sekolah tersebut memang banyak siswa yang rumahnya cukup dekat. Maka sekolah tersebut harus memberikan lebih banyak materi tentang edukasi Etika di jalan raya kepada para peserta didik.
Para peserta didik akan diajarkan tentang bagaimana cara berjalan di trotoar, tips menyeberang, dan lainnya.
Pemberian edukasi Etika di jalan raya harus teramat sering dilakukan, entah sewaktu apel sekolah atau pembukaan kelas oleh guru, agar memang materi ini benar-benar dipahami betul oleh para peserta didik.
Program "Polisi masuk Sekolah" juga harus sering dilakukan di setiap jenjang sekolah, tidak hanya terbatas pada PAUD atau TK. Hal ini teramat penting agar mereka sejak muda sudah tertanam tentang etika di jalan raya.
Kemandirian anak dimulai dari keberaniannya menjejakkan kaki kecilnya menuju masa depannya, jangan terlalu sering menuntunnya, kelak si cengeng itu akan menemani hari tuamu dengan penuh rasa kasih sayang dan membahagiakanmu.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H