Pada jam full day sekolah kami, saya juga mengampu kelas pengembangan diri bidang Teknologi Informasi. Pada sesi kelas ini, terkadang para peserta didik saya suruh untuk membawa smartphone masing-masing dari rumah.Â
Ada smartphone yang milik orangtuanya, dan adapula yang smartphone milik mereka sendiri. Alasan saya untuk menyuruh  membawa smartphone, adalah selain mempelajari beberapa aplikasi bermanfaat dalam keseharian, juga sebagai sarana edukasi kepada mereka dalam penggunaan smartphone secara bijak.
Salah satu bentuk edukasi kepada mereka dalam penggunaan smartphone secara bijak  adalah saya merazia smartphone peserta didik yang benar-benar mereka miliki sendiri, bagi yang membawa smartphone orangtuanya tidak saya razia dengan alasan privasi. Saya biasanya meminta ijin kepada mereka dan orangtuanya untuk mengecek beberapa hal di dalam smartphone mereka.
Biasanya saya mengecek histori sosial media mereka entah itu Tiktok, Instagram, Youtube, Whatsapp dan juga game apa saja yang sering mereka mainkan. Jika saya menemukan hal yang kurang layak bagi anak seusia mereka, saya langsung mengedukasi mereka.
Banyak hal kurang layak bagi anak seusia mereka yang saya temukan seperti konten joget-joget alay, konten kekerasan vulgar dan konten tak layak lainnya, termasuk game-game yang saya nilai bisa membuat mereka adiktif tak kenal waktu untuk memainkannya terus, sudah saya survey rata-rata mereka main game smartphone rata-rata di atas 2 jam dalam sehari, bahkan ada yang sampai 5 jam hingga larut malam.Â
Pernah saya tanyakan guru SD lain, tentang durasi screen time smartphone murid mereka, ternyata kurang lebih hampir sama, ini artinya sebenarnya di Indonesia sudah darurat over screentime pada anak-anak.
Menurut data laporan firma riset data.ai, "State of Mobile 2023" memberikan hasil riset yaitu durasi screen time orang Indonesia pada smartphone tertinggi di dunia dengan rata-rata 5,7 jam per hari. Lebih di atas Brasil dan Arab Saudi yang mempunyai waktu sekitar 5,3 jam tiap harinya, kemudian disusul Korea Selatan dan Singapura. Dari data tersebut, bukan tidak mungkin durasi screen time anak Indonesia juga sangat tinggi.
Saya memberitahu para murid saya, bahwa dulu saya pun juga menggemari game sewaktu seusia mereka, namun dulu orangtua saya sangat tertib dalam menentukan waktu bermain game.Â
Saya sewaktu SD dibelikan ayah sebuah game console Nintendo, dan hanya memainkannya pada akhir pekan tidak setiap hari.
Mereka pun terheran dengan pembagian waktu tersebut dan saya jelaskan pula bahwa orang tua di jaman itu rata-rata memang memberlakukan hal yang sama seperti itu bukan karena semata-mata ketertiban, tetapi di jaman dulu itu rata-rata keluarga punya TV hanya satu, dan memainkan game console seperti Nintendo atau Sega harus menggunakan media TV, sehingga orang tua hanya memberikan ijin bermain game pada waktu-waktu tertentu, berbeda dengan smartphone yang bisa dimainkan dimana saja dan kapan saja.
Artikel ini tidaklah bermaksud untuk menggurui para orangtua yang masih memberikan kebijakan kepada anaknya untuk mempunyai smartphone sendiri, karena itu sudah ranah rumah tangga masing-masing. Namun setidaknya bisa memberikan pencerahan bagi ayah bunda sekalian, tentang penerapan screen time pada anak. Karena kami para pendidik merasakan ada hambatan pembelajaran di sekolah akibat dari over screentime pada peserta didik di rumah.
Lalu apa sajakah yang harus menjadi perhatian kita bersama dalam penerapan screen time pada anak-anak kita dengan bijaksana?
Berikut hal-hal kiranya yang bisa dijadikan concern bagi ayah bunda dalam menerapkan kebijakan screentime.
Sadari Bahaya Over Screentime
Menurut P2PTM Kemenkes RI dalam laman resminya memaparkan beberapa efek apabila anak terlalu lama menatap gawai smartphonenya yaitu seperti mengganggu kesehatan mata, meningkatnya risiko obesitas, menganggu tumbuh kembang otak anak hingga membuat anak malas berpikir.
Sudah banyak orangtua yang memberikan smartphone kepada anaknya sejak usia balita, hanya demi untuk menenangkan tangisnya atau sekedar membuat suasana tenang di rumah, pada usia tersebut kita belum menyadari efeknya, namun ketika beranjak memasuki usia Sekolah Dasar, banyak anak yang dipanggil oleh orangtuanya hingga harus beberapa kali, karena si anak masih asyik dengan smartphone, anehnya saya melihat beberapa orangtua menganggap hal tersebut masih hal yang biasa. Imbasnya, di sekolah pun demikian, beberapa peserta didik pun jika dipanggil oleh gurunya, kadang tak langsung tanggap menghampiri.
Generasi Alpha adalah generasi yang belum kita ketahui perkembangannya, kita masih menunggu sekitar 10 tahun lagi, seperti apakah mereka kelak ketika beranjak dewasa. Generasi Alpha adalah generasi yang sejak lahir sudah sangat akrab dengan smartphone.
Para orangtua generasi Alpha harus mulai menyadari bahwa lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya dari efek over screentime ini.Â
Saya tidak melarang para orangtua untuk tidak memberikan smartphone pada anaknya, karena itu ranah rumah tangga masing-masing, tetapi bagaimana menjadi bijaksana dalam hal screentime pada anak, agar kelak mereka bisa menjadi insan yang menghargai waktu dan orangtuanya.
Menjadi Role Model
Pernah suatu kali saya bersama keluarga pergi ke sebuah restoran untuk makan malam, di sebelah meja makan saya, tampak seorang ibu bersama anaknya sedang menikmati hidangan. Terlihat sang anak sedang asyik bermain smartphone, sementara ibunya menyuapi sang anak, setelah sang anak tampak sudah kenyang, sang ibu mulai menikmati hidangannya  juga sambil menonton tayangan di smartphonenya sendiri dan anaknya juga terus melanjutkan game smartphone, sambil kakinya ke atas meja, dan ibunya tampak biasa saja.
Jiwa pendidik saya pun berdesir dalam hati melihat pemandangan itu, karena secara usia, sang anak sudah bisa makan sendiri tanpa disuapi, yang parahnya sudah disuapi, sang anak juga masih asyik main game smartphone, belum lagi kelakuan tak sopan sang anak, dianggap biasa oleh sang ibunya.
Pemandangan seperti sudah cukup sering saya lihat di setiap tempat rumah makan yang saya sambangi. Kadang saya berpikir, masalah pendidikan di Negara kita bukanlah pada kurikulum, tetapi masalah kepatutan role model dalam pola asuh keluarga kita.
Artinya jika melarang anak untuk tidak bermain smartphone saat makan, maka orangtuanya pun juga tidak makan sambil menonton tik tok atau Youtube. Pada saat sesi mengajari anaknya di rumah pun harus konsentrasi penuh, tidak sambil bermain smartphone.
Budayawan Sujiwo Tedjo sering mengulas hal ini dalam beberapa acara di televisi, dimana dia tidak menyukai fenomena jaman sekarang dimana banyak orang yang bicara tatap langsung, tapi matanya justru memandangi smartphone bukan kepada lawan bicaranya, dari sudut pandang adab etika, itu hal yang tak baik. Maka dari itu, sebelum Anda menertibkan screen time pada anak Anda, tertibkan juga screen time anda juga, berusahalah di jam-jam prime time seperti belajar bersama atau bermain bersama anak menjauhkan diri dari smartphone.
Penilaian dan Evaluasi
Anak saya yang masih duduk di sekolah dasar, hingga kini tidak saya belikan smartphone, bukannya tak mampu, tetapi saya secara pribadi, secara mentalnya dia belum siap diberikan tanggung jawab untuk memiliki smartphone sendiri. Untuk hiburan main game, dia cukup bermain games di laptop saya. Kesemua gamenya adalah offline dan lebih mengarah ke edukasi.
Hal tersebut adalah bentuk dari penilaian dan evaluasi dari orang tua tentang kecakapan anaknya jika seandainya diberikan smartphone khusus untuk dirinya. Semua kembali ke orangtuanya masing untuk paramaternya, entah itu bisa dilihat dari prestasi belajarnya, manajamen waktunya atau kesigapan dirinya jika diperintah oleh orang tuanya.
Pernah suatu kali saya merazia salah satu smartphone  murid  saya, dimana dia memiliki banyak grup whastsapp yang berkaitan dengan perkumpulan para gamers Mobile Legend, Free Fire dan game online lainnya.Â
Ketika saya tanyakan hal tersebut kepadanya, alasannya agar tidak ketinggalan yang update tentang fitur-fitur game online dan bisa janjian mabar (main bareng).Â
Saya pun geleng-geleng kepala, kok bisa sempat-sempatnya punya grup whatsapp game online sebanyak itu untuk anak seusianya, atau apakah saya yang tidak sempat mengikuti perkembangan zaman. Saya pun hanya bisa mengedukasinya agar pintar-pintar membagi waktu
Dunia pendidikan Indonesia sempat dihebohkan dengan terbongkarnya grup Whatsapp siswa LGBT di sebuah sekolah dasar di Riau pada pertengahan tahun 2023. Tentunya hal tersebut harus menjadi perhatian kita bersama dalam mengawasi dan mengevaluasi anak-anak kita dalam menggunakan smartphonenya.
World Health Organization (WHO) memberikan aturan screen time untuk anak yang dikeluarkan pada tahun 2019 memberikan rincian bahwa Bayi hingga usia 1 tahun, tidak disarankan untuk menatap layar gawai sama sekali , kemudian Anak berusia 2--5 tahun, screen time maksimal 1 jam per hari. Sementara anak berusia 6-12 tahun, screen time yang dianjurkan sebanyak maksimal 90 menit per hari.
Buku Adalah yang Terbaik
Anak Anda 'gabut', lebih baik belikan atau pinjamkan mereka buku yang banyak, arahkan mereka untuk membaca buku konvensional. Buku adalah sarana terbaik bagi mereka untuk mengasah kemampuan kognitifnya.
Filsuf Indonesia, Karlina Supelli mengatakan membaca buku tidak akan bisa tergantikan oleh melihat video-video di sosial media, walau dengan materi yang sama. Karena dengan membaca buku, otak kita diajak berdialog, sehingga kemampuan kognitif kita menjadi lebih meningkat. Maka dari itu, biasakanlah anak Anda untuk terbiasa membaca buku untuk membunuh waktu gabutnya.
Banyak yang mengatakan sang anak tidak hobi membaca, disini perlu saya jelaskan, membaca bukanlah suatu hobi, tetapi suatu keharusan bagi setiap individu, makanya setiap kali ada peserta didik  yang ditanya hobinya, lalu menjawab kegemarannya membaca, langsung saya koreksi bahwa membaca bukanlah hobi, tetapi memang suatu kewajiban bagi setiap insan manusia.
Sekarang sudah banyak perpustakaan atau persewaan buku yang didirikan aktivis literasi di setiap kota, kita bisa meminjamkan buku-buku tersebut kepada anak kita, jadikanlah itu suatu kebiasaan. Lama kelamaan kebiasan over screen time smartphonenya bisa berkurang.
Berasyik ria menatap gawai smartphone bukanlah suatu hal yang haram mutlak, tetapi jadikanlah waktu screen time justru untuk menunjang kegiatan produktif kita, buatlah waktu anak Anda selalu berarti setiap harinya, bukan dihabiskan untuk menatap gawai smartphone tanpa pengawasan kita. Semoga Bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H