Mohon tunggu...
Sastyo Aji Darmawan
Sastyo Aji Darmawan Mohon Tunggu... Lainnya - ASN; Pengelola Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; Penyuluh Antikorupsi; Negarawaran

Menulis supaya gak lupa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menolak Berpikir Seperti Proletar

5 Oktober 2024   22:01 Diperbarui: 5 Oktober 2024   22:12 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Abdan Syakura, republika.co.id

Proletar berpikir dirinya hanya menjadi alat kaum kapitalis untuk mempertahankan status quo-nya. Proletar berpikir hidupnya hanya bergantung kepada upah yang diberikan oleh 'tuan tanah'-nya. Wajar, karena biasanya mereka tidak memiliki pendidikan yang cukup untuk bisa memiliki cara berpikir yang benar. Pemuka-pemuka agama-tenaga pendidik yang dapat mereka akses secara gratis-yang seharusnya meluruskan cara berpikir, justru membuat mereka seolah 'jalan di tempat' dengan bungkus 'kesabaran'.  Setidaknya, karakter seperti itulah yang dilekatkan Karl Marx kepada kaum proletar. Meski istilah proletar sudah jarang didengar oleh masyarakat di milenium ini. Faktanya, mereka masih ada dan mungkin kita salah satu dari mereka.

Di sisi lain, kaum kapitalis selalu dapat bertahan dari masa ke masa. Meski keberadaannya ditentang, mereka cukup fleksibel untuk masuk ke berbagai kelompok masyarakat yang menganut paham apapun. Dalam catatan sejarah, bangsa yang mengusung sosialis-komunis sebagai paham resmi-nya, sudah bertekuk lutut di hadapan kapitalis. Menghilangkan kapitalis dari dunia ini, sama saja seperti menghilangkan dunia. Dari sudut pandang Islam, eksistensi kapitalis dalam kehidupan adalah sunatullah. Sementara dari sudut pandang orang yang tak beragama-sekalipun kapitalis diberantas-mereka tak pernah benar-benar hilang atau mereka akan terlahir kembali dari evolusi para sosialis yang diberi kekuasaan.

Alih-alih berusaha mati-matian menghilangkan kapitalis atau kapitalisme dalam dunia ini, akan lebih menghemat energi jika proletar mengubah cara berpikir agar dapat bertahan hidup dan keluar dari sesat pikir.

Syarat Pertama: Beragama

Syarat pertama untuk dapat mengubah cara berpikir ala proletar adalah beragama. Beragama adalah pilihan terbaik. Sebab, melawan dengan kekerasan ala komunisme yang anti-agama sudah terbukti tidak efektif. Begitu juga berangan-angan masuk surga hanya dengan bersabar seperti substansi ceramah agamawan dalam piramida kapitalis-nya Karl Marx. 

Beragama dalam hal ini, berbeda dengan apa Marx pikirkan. Agama bukan sekedar tempat mengadu di kala sulit. Membuat orang mabuk kepayang dengan iming-iming surga asalkan bersabar. Sudah pasti, sabar adalah sikap yang baik. Tapi, beragama juga menuntut kita untuk mengubah nasib dan memperjuangkan kebenaran. 

Selain itu, meyakini bahwa tidak akan ada kehidupan setelah kematian sama tidak pastinya dengan meyakini kebalikannya. Justru, kehadiran agama menjamin keteraturan, sama dengan aturan yang diciptakan manusia. Agama melindungi hak-hak setiap umat manusia sama dengan yang dideklarasikan oleh PBB. Apapun kondisinya-baik ada kehidupan setelah kematian atau tidak-tidak ada ruginya untuk beragama selama masih hidup.

Dengan beragama, kita akan meyakini adanya Zat Yang Maha Memberi. Kita akan meyakini bahwa salah satu bentuk pemberian Zat tersebut adalah upah. Ya, upah memang diberikan melalui kaum kapitalis atas pekerjaan kita. Tapi sejatinya, upah adalah pemberian dari Tuhan disamping oksigen yang kita hirup setiap detik, air yang bisa hisap dari dalam tanah, kasih sayang yang tumbuh di dalam keluarga, kesehatan, pemandangan indah yang disajikan oleh alam semesta, dan kenikmatan lainnya. Untuk mendapatkannya kita hanya harus berpikir, bicara dan menjalankan kewajiban dengan baik.

Dengan beragama, proletar akan menyadari bahwa mereka bisa bertahan hidup bukan hanya dari upah kapitalis. Tuhan punya banyak cara untuk memberi makan hamba-Nya. Proletar mungkin bekerja untuk kapitalis, tapi posisi mereka sejajar. Hubungan kapitalis dan proletar tak lebih dari sekedar hubungan tolong-menolong. Proletar memberi pertolongan berupa jasa, kapitalis memberi pertolongan berupa upah. 

Ihwal kapitalis seolah merasa punya derajat lebih tinggi dari proletar, perlu disikapi dengan ilmu yang sepadan. Dan setiap agama pun mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu.

Menimba Ilmu Adalah Kewajiban

Untuk menguatkan posisinya di hadapan kapitalis-selain beragama-proletar harus membekali dirinya dengan pengetahuan. Untuk dapat mengubah nasib-meskipun miskin harta-proletar harus kaya pengetahuan. 

Agama mewajibkan setiap umatnya untuk menimba ilmu. Tidak ada batasan dinding sekolah atau perguruan tinggi dalam perintah ini. Ilmu dapat diperoleh dari siapapun, dimanapun dan kapanpun. Bahkan dari sesama proletar sekalipun. Apalagi, jika melihat kelakuan orang-orang berpendidikan formal yang tetap saja tidak bermoral. Banyaknya ijazah bukan ukuran orang punya kelurusan berpikir. Profesor sekalipun-jika tak paham agama-akan menyia-nyiakan ilmunya hanya untuk membunuh peradaban.

Sekali lagi, pemuka agama adalah tenaga pendidik yang paling mudah diakses oleh proletar. Karena kesukarelaannya, mereka mudah dijangkau oleh siapapun. Baik yang berduit ataupun yang fakir. Mengunjungi majelis ilmu akan membuka cakrawala ruang berpikir kita. Sehingga, kita siap menghadapi siapapun orang yang menindas ataupun terkesan menindas kita.

Selain ilmu yang kita peroleh dari sesama manusia. Ilmu juga dapat kita peroleh dari yang lain. Dengan beragama, kita akan meyakini Tuhan tidak pernah memberi kesempatan untuk hidup di hari ini dan esok hari tanpa ilmu yang baru. Kita hanya perlu melatih kepekaan untuk menangkap tanda-tanda kekuasaan Tuhan.

Mengubah Nasib Juga Kewajiban

Berpuluh-puluh tahun lalu, Bung Karno muda telah merumuskan ideologi yang tepat bagi bangsa ini. Dalam gagasannya, ia menyempurnakan konsep Marxisme yang hanya berfokus pada pergerakan kaum proletar yang dianggap tidak relevan diterapkan di Indonesia.

Berbeda dengan kampung halaman Marx, rakyat Indonesia bukan hanya didominasi oleh proletar yang notabene adalah kaum buruh/pekerja. Indonesia juga didominasi oleh petani yang punya lahan sendiri namun tak mampu menjual hasil taninya dengan baik dan punya pedagang yang juga bernasib serupa. Kondisi ini terjadi karena sistem perekonomian dan sosial yang tidak mendukung mereka untuk menjadi sejahtera.

Bung karno menyadari bahwa sejatinya rakyat Indonesia berwatak religius. Oleh karenanya, gagasan Marx pun tidak sepenuhnya dapat diterima. Bung Karno pun mencetuskan paham baru-Marhaenisme-yang kemudian akan menjadi cikal bakal Pancasila.

Sayangnya, dugaan Bung Karno tentang religiusitas bangsa Indonesia tidak sepenuhnya benar. Meski asas ketuhanan telah tersirat dan tersurat dalam sila pertama Pancasila, tidak semua rakyat Indonesia mengamalkan sila itu dengan sungguh-sungguh. Akibatnya, kemungkinan sesat pikir akibat tidak konsisten menerapkan asas ketuhanan bisa menjangkiti siapa saja. Dan asumsi Karl Marx tentang sistem kapitalisme bisa menjadi benar.

Akibat lainnya, banyak masyarakat berprofesi lain berisiko berpikir seperti proletar. Pengusaha, birokrat, tentara dan bahkan pemuka agama merasa ditindas oleh penguasa. Alih-alih mengubah nasib dengan cara yang jantan, banyak diantaranya lebih memilih berdamai dengan menjadi antek kapitalis.

Jangankan untuk mengubah nasib, banyak proletar dan kelas masyarakat lainnya belum mampu memahami nasibnya dengan benar akibat jauh dari Tuhan. Apalagi, menerima sebuah agama adalah pilihan dan Tuhan memilih siapa manusia yang Ia kehendaki untuk menerima hidayah. Hidayah-lah jalan untuk menerima agama yang merupakan hak prerogratif Tuhan.

Oleh karena itu, menggunakan alasan 'mengubah nasib' adalah pendekatan yang tepat untuk memperkenalkan agama dan menjemput hidayah Tuhan. Kepiawaian agamawan dalam berdakwah sangat dibutuhkan dalam misi ini. Kepiawaian itulah yang akan membawa proletar keluar dari risiko sesat pikirnya.

Bahwa kita mungkin ditakdirkan lahir dan mati sebagai proletar atau bukan. Tapi berpikir seperti proletar bisa menjangkiti siapa saja, jika kita jauh dari agama. Maka, beragama adalah satu-satunya pilihan yang rasional untuk membekali diri dari sesat pikir itu. 

Dengan beragama kita akan punya alasan untuk mengubah nasib, yakni menjalankan kewajiban sebagai mahluk yang diberi kesempurnaan untuk menimba ilmu, memperjuangkan kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran. Dialektika nasib bukanlah tujuan, melainkan pemberian Tuhan. Kita hanya diminta berpikir, bicara dan bertindak dengan benar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun