Mohon tunggu...
Sastyo Aji Darmawan
Sastyo Aji Darmawan Mohon Tunggu... Lainnya - ASN; Pengelola Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; Penyuluh Antikorupsi; Negarawaran

Menulis supaya gak lupa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menolak Berpikir Seperti Proletar

5 Oktober 2024   22:01 Diperbarui: 5 Oktober 2024   22:12 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Abdan Syakura, republika.co.id

Menimba Ilmu Adalah Kewajiban

Untuk menguatkan posisinya di hadapan kapitalis-selain beragama-proletar harus membekali dirinya dengan pengetahuan. Untuk dapat mengubah nasib-meskipun miskin harta-proletar harus kaya pengetahuan. 

Agama mewajibkan setiap umatnya untuk menimba ilmu. Tidak ada batasan dinding sekolah atau perguruan tinggi dalam perintah ini. Ilmu dapat diperoleh dari siapapun, dimanapun dan kapanpun. Bahkan dari sesama proletar sekalipun. Apalagi, jika melihat kelakuan orang-orang berpendidikan formal yang tetap saja tidak bermoral. Banyaknya ijazah bukan ukuran orang punya kelurusan berpikir. Profesor sekalipun-jika tak paham agama-akan menyia-nyiakan ilmunya hanya untuk membunuh peradaban.

Sekali lagi, pemuka agama adalah tenaga pendidik yang paling mudah diakses oleh proletar. Karena kesukarelaannya, mereka mudah dijangkau oleh siapapun. Baik yang berduit ataupun yang fakir. Mengunjungi majelis ilmu akan membuka cakrawala ruang berpikir kita. Sehingga, kita siap menghadapi siapapun orang yang menindas ataupun terkesan menindas kita.

Selain ilmu yang kita peroleh dari sesama manusia. Ilmu juga dapat kita peroleh dari yang lain. Dengan beragama, kita akan meyakini Tuhan tidak pernah memberi kesempatan untuk hidup di hari ini dan esok hari tanpa ilmu yang baru. Kita hanya perlu melatih kepekaan untuk menangkap tanda-tanda kekuasaan Tuhan.

Mengubah Nasib Juga Kewajiban

Berpuluh-puluh tahun lalu, Bung Karno muda telah merumuskan ideologi yang tepat bagi bangsa ini. Dalam gagasannya, ia menyempurnakan konsep Marxisme yang hanya berfokus pada pergerakan kaum proletar yang dianggap tidak relevan diterapkan di Indonesia.

Berbeda dengan kampung halaman Marx, rakyat Indonesia bukan hanya didominasi oleh proletar yang notabene adalah kaum buruh/pekerja. Indonesia juga didominasi oleh petani yang punya lahan sendiri namun tak mampu menjual hasil taninya dengan baik dan punya pedagang yang juga bernasib serupa. Kondisi ini terjadi karena sistem perekonomian dan sosial yang tidak mendukung mereka untuk menjadi sejahtera.

Bung karno menyadari bahwa sejatinya rakyat Indonesia berwatak religius. Oleh karenanya, gagasan Marx pun tidak sepenuhnya dapat diterima. Bung Karno pun mencetuskan paham baru-Marhaenisme-yang kemudian akan menjadi cikal bakal Pancasila.

Sayangnya, dugaan Bung Karno tentang religiusitas bangsa Indonesia tidak sepenuhnya benar. Meski asas ketuhanan telah tersirat dan tersurat dalam sila pertama Pancasila, tidak semua rakyat Indonesia mengamalkan sila itu dengan sungguh-sungguh. Akibatnya, kemungkinan sesat pikir akibat tidak konsisten menerapkan asas ketuhanan bisa menjangkiti siapa saja. Dan asumsi Karl Marx tentang sistem kapitalisme bisa menjadi benar.

Akibat lainnya, banyak masyarakat berprofesi lain berisiko berpikir seperti proletar. Pengusaha, birokrat, tentara dan bahkan pemuka agama merasa ditindas oleh penguasa. Alih-alih mengubah nasib dengan cara yang jantan, banyak diantaranya lebih memilih berdamai dengan menjadi antek kapitalis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun