Proletar berpikir dirinya hanya menjadi alat kaum kapitalis untuk mempertahankan status quo-nya. Proletar berpikir hidupnya hanya bergantung kepada upah yang diberikan oleh 'tuan tanah'-nya. Wajar, karena biasanya mereka tidak memiliki pendidikan yang cukup untuk bisa memiliki cara berpikir yang benar. Pemuka-pemuka agama-tenaga pendidik yang dapat mereka akses secara gratis-yang seharusnya meluruskan cara berpikir, justru membuat mereka seolah 'jalan di tempat' dengan bungkus 'kesabaran'. Â Setidaknya, karakter seperti itulah yang dilekatkan Karl Marx kepada kaum proletar. Meski istilah proletar sudah jarang didengar oleh masyarakat di milenium ini. Faktanya, mereka masih ada dan mungkin kita salah satu dari mereka.
Di sisi lain, kaum kapitalis selalu dapat bertahan dari masa ke masa. Meski keberadaannya ditentang, mereka cukup fleksibel untuk masuk ke berbagai kelompok masyarakat yang menganut paham apapun. Dalam catatan sejarah, bangsa yang mengusung sosialis-komunis sebagai paham resmi-nya, sudah bertekuk lutut di hadapan kapitalis. Menghilangkan kapitalis dari dunia ini, sama saja seperti menghilangkan dunia. Dari sudut pandang Islam, eksistensi kapitalis dalam kehidupan adalah sunatullah. Sementara dari sudut pandang orang yang tak beragama-sekalipun kapitalis diberantas-mereka tak pernah benar-benar hilang atau mereka akan terlahir kembali dari evolusi para sosialis yang diberi kekuasaan.
Alih-alih berusaha mati-matian menghilangkan kapitalis atau kapitalisme dalam dunia ini, akan lebih menghemat energi jika proletar mengubah cara berpikir agar dapat bertahan hidup dan keluar dari sesat pikir.
Syarat Pertama: Beragama
Syarat pertama untuk dapat mengubah cara berpikir ala proletar adalah beragama. Beragama adalah pilihan terbaik. Sebab, melawan dengan kekerasan ala komunisme yang anti-agama sudah terbukti tidak efektif. Begitu juga berangan-angan masuk surga hanya dengan bersabar seperti substansi ceramah agamawan dalam piramida kapitalis-nya Karl Marx.Â
Beragama dalam hal ini, berbeda dengan apa Marx pikirkan. Agama bukan sekedar tempat mengadu di kala sulit. Membuat orang mabuk kepayang dengan iming-iming surga asalkan bersabar. Sudah pasti, sabar adalah sikap yang baik. Tapi, beragama juga menuntut kita untuk mengubah nasib dan memperjuangkan kebenaran.Â
Selain itu, meyakini bahwa tidak akan ada kehidupan setelah kematian sama tidak pastinya dengan meyakini kebalikannya. Justru, kehadiran agama menjamin keteraturan, sama dengan aturan yang diciptakan manusia. Agama melindungi hak-hak setiap umat manusia sama dengan yang dideklarasikan oleh PBB. Apapun kondisinya-baik ada kehidupan setelah kematian atau tidak-tidak ada ruginya untuk beragama selama masih hidup.
Dengan beragama, kita akan meyakini adanya Zat Yang Maha Memberi. Kita akan meyakini bahwa salah satu bentuk pemberian Zat tersebut adalah upah. Ya, upah memang diberikan melalui kaum kapitalis atas pekerjaan kita. Tapi sejatinya, upah adalah pemberian dari Tuhan disamping oksigen yang kita hirup setiap detik, air yang bisa hisap dari dalam tanah, kasih sayang yang tumbuh di dalam keluarga, kesehatan, pemandangan indah yang disajikan oleh alam semesta, dan kenikmatan lainnya. Untuk mendapatkannya kita hanya harus berpikir, bicara dan menjalankan kewajiban dengan baik.
Dengan beragama, proletar akan menyadari bahwa mereka bisa bertahan hidup bukan hanya dari upah kapitalis. Tuhan punya banyak cara untuk memberi makan hamba-Nya. Proletar mungkin bekerja untuk kapitalis, tapi posisi mereka sejajar. Hubungan kapitalis dan proletar tak lebih dari sekedar hubungan tolong-menolong. Proletar memberi pertolongan berupa jasa, kapitalis memberi pertolongan berupa upah.Â
Ihwal kapitalis seolah merasa punya derajat lebih tinggi dari proletar, perlu disikapi dengan ilmu yang sepadan. Dan setiap agama pun mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu.