Mohon tunggu...
Sastyo Aji Darmawan
Sastyo Aji Darmawan Mohon Tunggu... Lainnya - ASN; Pengelola Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; Penyuluh Antikorupsi; Negarawaran

Menulis supaya gak lupa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menyoal Metode Pemilihan Vendor Pemerintah Terkini, E-Purchasing

2 Oktober 2024   00:12 Diperbarui: 2 Oktober 2024   02:05 909
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebiasaan Baru, Kebijakan Baru

Sekarang belanja barang/jasa Pemerintah jadi lebih mudah. Era belanja digital bukan hanya menjamur bagi kebutuhan rumah tangga, namun juga disambut secara responsif oleh Pemerintah.

Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) mulai mengembangkan katalog elektronik sebagai marketplace untuk belanja barang/jasa Pemerintah sejak tahun 2015. Pada 2019, jumlah transaksi belanja pemerintah melalui katalog elektronik sebesar 69,2 triliun. Pada semester I 2023 jumlahnya meningkat menjadi 89 triliun.

Jumlah 'pelapak' yang menayangkan produk di katalog elektronik pun melonjak drastis. Dari target 1 juta produk tayang yang ditetapkan presiden Joko Widodo pada 2022, LKPP berhasil membukukan 5 juta produk tayang pada 2023. Lonjakan itu terjadi karena adanya perubahan kebijakan dan regulasi terkait tata cara penayangan produk di katalog elektronik. 

Pada masa-masa awal peluncurannya, LKPP menerapkan kebijakan preventif yang sangat ketat untuk 'menyaring' pelapak yang bisa menawarkan barang/jasanya di katalog. Berbagai persyaratan harus dipenuhi oleh pelapak agar bisa punya 'akun' di katalog elektronik. Tujuannya semata-mata agar produk dan pelapak yang ditayangkan di katalog elektronik hanyalah produk dan pelapak yang berkualitas.

Kebijakan ini berdampak pada pertumbuhan jumlah produk, pelapak dan transaksi yang relatif lambat. Di tengah isu kemudahan berusaha, percepatan belanja pemerintah untuk pertumbuhan ekonomi, beradaptasi dengan 'kebiasaan baru, dan alasan pembenaran lainnya, LKPP pun turut dituntut untuk mengubah strategi.

Pasca pandemi COVID-19 adalah momentum dimana LKPP mengubah strateginya. Ketika perilaku belanja masyarakat mengarah ke kebiasaan baru, katalog elektronik pun mulai mengadopsi teori invinsible hand- nya Adam Smith, yakni memposisikan katalog elektronik layaknya pasar yang sesungguhnya agar produsen/distributor/reseller bebas masuk ke dalam pasar. Harapannya-selain jumlah pelapak dan produk yang ditayangkan semakin beragam-dengan membuka akses masuk seluas-luasnya ke dalam katalog elektronik, harga barang/jasa akan mencapai titik keseimbangan dengan sendirinya.

Bergantung pada asumsi market equilibrium semacam ini bukan tak menuai konsekuensi. Pasalnya, filter untuk menyaring pelapak-pelapak sudah tidak ada. Upaya preventif menyeleksi para pelapak berubah menjadi korektif. Aparat pemerintah harus memgeluarkan effort lebih untuk memverfikasi  calon penyedia-nya. Apalagi, vendor management system yang juga telah dikembangkan oleh LKPP belum berfungsi dengan optimal.

Tidak jarang, LKPP mendapatkan testimoni pembeli tentang pelapak yang tidak cakap. Testimoni tersebut dapat ditindak lanjuti dengan pembekuan akun pelapak dan pencantuman dalam daftar hitam. Akan tetapi, kisah sukses 'liberalisasi' katalog elektronik nya lebih dominan. Lonjakan transaksi pada katalog elektronik, menyumbang kontribusi yang signifikan terhadap realisasi belanja pemerintah pada tahun 2023 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Memilih Vendor Di Katalog Elektronik

Katalog elektronik menawarkan kemudahan dalam memilih vendor dibandingkan metode lainnya yang sah dalam prosedur pengadaan batang/jasa Pemerintah. Kemudahan itu dikenal dengan nama e-purchasing.

Melalui e-purchasing, agen pemerintah dapat memilih vendor secara lebih cepat dibandingkan dengan metode lainnya. Bahkan, untuk belanja dengan nilai di atas 200 juta rupiah, dapat dilakukan hanya dengan memesan barang/jasa dan negosiasi ke satu pelapak. Keistimewaan seperti ini tidak akan ditemui pada metode tender/seleksi.

Sayangnya, e-purchasing hanya dapat dilakukan untuk barang/jasa yang sudah tersedia di katalog elektronik. Sementara, kebutuhan barang/jasa yang belum tersedia di katalog elektronik tetap harus menggunakan metode lain yang diperkenankan. 

Banyak pihak meragukan integritas e-purchasing dengan dalih ketiadaan kompetisi. Akan tetapi, LKPP pun punya dalih. Selain telah melengkapi katalog elektronik dengan fitur mini-kompetisi dan competitive catalogue, membuka akses seluas-luasnya agar calon pelapak dapat berjualan di katalog elektronik adalah upaya LKPP untuk memastikan iklim persaingan di dalam katalog elektronik selalu sehat wal afiat.

Produk Yang Layak Tayang Di Katalog Elektronik

Dalam produk regulasinya, LKPP membatasi bahwa produk yang dapat dipasarkan di katalog elektronik adalah produk yang bersifat standar.

Singkatnya, produk yang standar adalah produk yang jenis/spesifikasi minimalnya dibutuhkan oleh semua agen Pemerintah, atau yang jenis/spesifikasinya sudah terstandardisasi oleh lembaga yang berwenang.

Contoh kebutuhan jenis barang/jasa standar yang dapat ditayangkan di katalog elektronik, antara lain:

  • setiap agen Pemerintah pasti membutuhkan laptop/PC agar para pegawainya dapat bekerja. Laptop/PC sudah menjadi jenis barang yang standar untuk semua agen pemerintah, maka komoditas tersebut layak tayang di katalog elektronik;
  • setiap agen pemerintah juga membutuhkan jasa tenaga kebersihan. Maka, jasa tenaga kebersihan termasuk jasa yang standar.

Contoh kebutuhan barang/jasa dengan spesifikasi standar yang dapat ditayangkan di katalog elektronik, antara lain:

  • setiap agen Pemerintah pusat dapat membeli kendaraan dinas untuk operasional dengan spesifikasi berbahan bakar minyak, tipe minibus, dan kapasitas 1500 cc. Spesifikasi tersebut diatur dalam Standar Barang dan Standar Kebutuhan (SBSK) Kementerian Keuangan;
  • setiap institusi pendidikan dapat membeli laptop untuk siswa dengan spesifikasi yang diatur oleh Kementerian yang membidangi pendidikan.

Lantas bagaimana untuk barang/jasa yang tidak standar atau kebutuhan jenis dan/atau spesifikasi di setiap agen pemerintah berbeda-beda?

Sejauh ini regulasi pengadaan Pemerintah belum mengakomodir e-purchasing untuk barang/jasa non-standar. Terlebih, LKPP belum memuat secara detil tentang apa definisi standar, siapa yang berwenang melakukan standardisasi, dan bagaimana prosesnya.

Menyikapi hal tersebut, LKPP tentu tidak dapat bekerja sendiri. Perlu 'duduk bareng' dengan K/L lain untuk memperjelas norma standar tersebut dengan durasi yang cukup panjang.

Selagi menghadapi kekosongan hukum, agen Pemerintah hanya perlu menyikapinya dengan bijak. Jika memang keputusan membeli jenis dan spesifikasi barang/jasa didasarkan pada kebutuhan. Maka, seharusnya kebutuhan dasar setiap instansi pemerintah adalah sama atau standar. Dan kebutuhan barang/jasa itulah yang layak ditayangkan di katalog elektronik.

Sementara itu, untuk barang/jasa yang bersifat unik atau kebutuhan batang/jasa khusus dari setiap instansi pemerintah dapat 'distandarkan' secara terbatas untuk lingkup tertentu dan ditayangkan pada katalog elektronik sektoral/lokal. Akses pengelolaan katalog sektoral/lokal telah diberikan oleh LKPP ke  masing-masing Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah.

Misal, Kementerian ESDM mungkin membutuhkan barang/jasa yang khusus untuk keperluan pertambangan yang akan digunakan oleh semua satuan kerja di bawahnya. Maka, barang/jasa tersebut dapat ditayangkan di katalog sektoral Kementerian ESDM. Produk unik tersebut menjadi 'standar' dalam ruang lingkup yang terbatas.

Teknologi Baru, Budaya Masih Yang Dulu

Perihal barang/jasa yang bersifat standar belum dipahami secara seragam oleh setiap instansi Pemerintah. Akibatnya, banyak produk-produk custom bermunculan di katalog elektronik.

Harus diakui, respon pelapak dalam memenuhi kebutuhan konsumen cukup proaktif. Tidak ubahnya pasar konvensional, pelapak seolah menangkap peluang bisnis yang prospektif dengan dibukanya 'pasar bebas' katalog elektronik. Saking bebasnya, baik penjual atau pembeli lalai dalam membatasi perilakunya dengan norma yang berlaku.

Produk-produk custom tersebut jelas tidak sejalan dengan gagasan bahwa katalog elektronik hanya diperuntukan bagi barang/jasa yang bersifat standar. Kustomisasi/diversifikasi barang/jasa di katalog elektronik dapat tetap dilakukan, namun bukan berdasarkan permintaan satu-dua pihak. Melainkan sebagai strategi bisnis, untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang berada pada kemampuan anggaran, kemampuan pengoperasian dan pertimbangan objektif lainnya yang dihitung secara agregat.

Yang lebih memprihatinkan adalah-meski e-purchasing dan katalog elektronik digadang-gadang sebagai wujud pemanfaatan teknologi informasi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah-sebagian besar pelapak masih menerapkan cara pemasaran konvensional door to door. Fenomena yang tidak akan anda temukan pada pelapak shopee, tokopedia, dan marketplace lainnya.

Para pelapak akan mendatangi satu persatu kantor instansi pemerintah untuk memperkenalkan produk dagangannya. Berbekal pertemuan itu-lah, kustomisasi produk pada katalog elektronik akan terjadi. Sehingga, kita akan mudah menemukan produk tertentu di katalog elektronik yang hanya dikhususkan untuk satu pihak saja. 

Dari fenomena ini pun kita dapat berasumsi: bukan hanya sifat standarnya yang tidak diterapkan, tapi iklim persaingannya sangat diragukan. Padahal, tujuan awal membuka katalog elektronik sebebas-bebasnya bukan sekedar untuk menciptakan lonjakan transaksi dan jumlah penayangan produk, melainkan demi terciptanya 'pasar persaingan sempurna' dalam pengadaan barang/jasa Pemerintah. Jika iklim persaingan tidak mampu dijaga, jangan bermimpi belanja Pemerintah memberikan multiplier effect bagi perekonomian.

Intervensi Yang Tidak Sia-Sia

Upaya Pemerintah-dalam hal ini LKPP-dalam menciptakan eksosistem pengadaan barang/jasa Pemerintah yang kondusif adalah bentuk intervensi pemerintah untuk memastikan para pelaku pengadaan bersaing secara sehat. 

Dalam kasus e-purchasing-agar intervensi tersebut tidak menjadi sia-sia-Pemerintah mungkin perlu sedikit lagi mengukuhkan posisinya sebagai the invinsible hand di dalam pasar. Caranya, menjadikan katalog elektronik sebagai pasar 'yang sesungguhnya'.

Katalog elektronik saat ini cenderung mempunyai karakteristik pembeli yang homogen, yakni sama-sama aparatur pemerintah. Meski jumlah satuan kerja pemerintah sangat besar dan memberi kesan 'banyak' pembeli, namun preferensi mereka dalam membeli cenderung sama, bahkan kecenderungan untuk berbuat curangnya pun sama. 

Berbeda dengan marketplace lain yang karakter pembelinya adalah dominan perorangan, preferensi mereka pasti didasarkan atas pertimbangan yang rasional dan efisiensi. Sebab, mereka berbelanja dengan uangnya sendiri. Sementara itu, aparat pemerintah berbelanja dengan uang negara/daerah. Sekeras apapun pengawasan dilakukan, rasionalitas nya akan selalu berbeda dan selalu ada celah untuk melakukan fraud.

Padahal, ciri pasar persaingan sempurna harus diisi oleh penjual dan pembeli yang heterogen. Oleh karena itu, membuka katalog elektronik agar dapat diakses oleh pembeli swasta, BUMN, atau rumah tangga patut dicoba. Membuka seluas-luasnya akses untuk pembeli dari kalangan non-pemerintah sekaligus meningkatkan fungsi pengawasan belanja pemerintah oleh publik, yang diharapkan mampu meminimalisir terjadinya penyimpangan.

Dengan disusunnya RUU Pengadaan Publik, realisasi gagasan ini mungkin dapat terbuka lebar. Kemampuan Pemerintah untuk mengintervensi pasar barang/jasa akan semakin meningkat, bukan hanya bagi instansi pemerintah, tapi juga publik secara luas.

Memperbarui infrastruktur pengadaan Pemerintah mungkin lebih mudah ketimbang mengubah sebuah budaya/kebiasaan aparatur. Butuh proses yang panjang dan kesabaran untuk mencapai equilibrium yang benar-benar diimpikan. Apalagi, di setiap fase pembaruan teknologi akan muncul modus-modus penyimpangan yang juga terbarukan. 

Kita memang harus percaya bahwa akan selalu ada setan yang berupaya mengganggu keteguhan iman kita dalam memperbaiki kehidupan. Untuk itu-lah, pembaruan adalah niscaya bagi setiap yang hidup. Dan pembaruan dalam pengadaan barang/jasa Pemerintah mungkin tidak pernah ada akhirnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun