Seringkali orang Inggris bangga mengaku bahwa mereka adalah penemu olahraga sepakbola, negeri asal sepakbola; sehingga nge-trend kalimat "football is coming home" dalam tiap turnamen akbar yang memiliki makna sepakbola akan kembali ke tempat kelahirannya jika Inggris berhasil juara. Tapi pantaskah Inggris disebut "rumah"-nya sepakbola?
Kalau untuk ukuran klub sih mungkin pantas. Mereka memiliki Premier League, kompetisi paling terkenal di dunia. Inggris juga memiliki paling banyak klub raksasa Eropa yang disebut The Big Six (terdiri atas Manchester United, Liverpool, Manchester City, Chelsea, Arsenal, dan Tottenham Hotspur) yang memiliki fans base besar tersebar di seluruh dunia.
Tapi tunggu dulu. Untuk kompetisi bergengsi Liga Champions saja Inggris masih kalah dengan Spanyol. Â
Negeri Matador cukup mengirimkan 2 wakil saja, Real Madrid (13 gelar) dan Barcelona (5 gelar) untuk total raihan 18 gelar Liga Champions mengalahkan 14 trofi kuping lebar milik Inggris (Liverpool: 6 gelar, MU: 3 gelar, Nottingham Forest: 2 gelar, Chelsea: 2 gelar, dan Aston Villa: 1 gelar).
Apalagi untuk urusan prestasi timnas, mungkin Three Lions mesti "malu" sebagai pengklaim tanah kelahiran sepakbola. Mereka hanya punya 1 trofi Piala Dunia 1966, dan belum sekalipun menjuarai Piala Eropa.Â
Kita bandingkan dengan negara-negara di Benua Biru. Jerman menjadi yang terdepan (4 Piala Dunia: 1954, 1974, 1990, dan 2014/ 3 Piala Eropa: 1972, 1980, dan 1996).Â
Disusul Italia (4 Piala Dunia: 1934, 1938, 1982, dan 2006/ 2 Piala Eropa: 1968 dan 2020), dan Spanyol ( 1 Piala Dunia 2010/ 3 Piala Eropa: 1964, 2008, dan 2012).Â
Prancis yang Ligue 1-nya sering diejek sebagai "liga petani" kalah saing dengan Premier League, justru bisa menepuk dada dengan prestasi timnasnya ( 2 Piala Dunia: 1998 dan 2018/ 2 Piala Eropa: 1984 dan 2000).Â
Nol gelar Piala Eropa, dimana Inggris saat negara lainnya macam Portugal, atau yang tak diperhitungkan seperti Cekoslowakia, Denmark, dan Yunani masih bisa meraih 1 trofi Euro.
Lalu bandingkan lagi dengan raihan negara Amerika Selatan. Brasil (5 Piala Dunia: 1958, 1962, 1970, 1994, dan 2002), Argentina (2 Piala Dunia: 1978 dan 1986), serta Uruguay (2 Piala Dunia: 1930 dan 1950). Melihat ini yakin Inggris minder.
Wajar banyak orang yang mempertanyakan kepantasan Inggris dengan jargon "football is coming home" --nya.
Ketika ditanya wartawan jelang laga Inggris versus Denmark di semifinal Piala Eropa 2020, kiper Kasper Schemeichel yang notabene bermain di Premier League bersama Leceister City pernah berujar sambil tertawa,"Memangnya sepakbola pernah pulang? Saya tidak tahu. Apakah Inggris pernah menjuarai Euro? 1966? Bukankah itu Piala Dunia?"
Saat mencetak gol guna menyamakan kedudukan menjadi 1-1 di final Piala Eropa 2020, bek Leonardo Bonucci berteriak ke arah kamera dengan mengatakan, "It's coming to Rome! It's coming to Rome!"
Ya, banyak fans Italia yang memplesetkan slogan "football is coming home" menjadi "football coming to Rome" alias pulang ke Roma.Â
Legenda hidup sepakbola mereka, Alessandro Altobelli sampai menyindir keras, "Sangat menyenangkan menang di Wembley melawan Inggris. (Inggris) selalu berpikir bahwa mereka adalah yang terbaik, terhebat, paling berbakat, paling indah. Namun, jika Anda melihat lemari piala mereka, cuma ada satu trofi karatan dari tahun 1966! Lihat lemari piala kami, sudah penuh!"
Mungkin banyak orang yang sebal dengan kearoganan publik Inggris dan medianya, padahal mereka belum meraih apa-apa.Â
Selain itu aksi tak terpuji oknum fans Three Lions juga mencoreng nama baik negara mereka, seperti: mengejek lagu kebangsaan lawan, gangguan sorotan laser ke wajah kiper Denmark, berulah dan mabuk-mabukan di jalanan hingga memaksa masuk Stadion Wembley tanpa tiket, serta perilaku rasis terhadap pemain mereka sendiri setelah final.
"Maaf untuk para pemain, tapi kalian (fans Inggris) pantas merasakan trauma setelah kalah adu penalti di final," semprot legenda hidup Jerman, Lothar Matthaus.
Ya, bisa jadi adu penalti akan terus jadi momok menakutkan buat Inggris. Melihat partisipasi mereka di Piala Dunia dan Piala Eropa, rekor penalti Three Lions sungguh mengkhawatirkan: 2 menang dan 7 kali kalah!
Kita lihat:
#Piala Dunia:
- Piala Dunia 1990 (semifinal) : Jerman Barat 1-1 Inggris (Jerman Barat menang penalti 4-3)
- Piala Dunia 1998 (babak 16 besar) : Argentina 2-2 Inggris (Argentina menang penalti 4-3)
- Piala Dunia 2006 (perempatfinal) : Â Inggris 0-0 Portugal (Portugal menag penalti 3-1)
- Piala Dunia 2018 (babak 16 besar) : Kolombia 1-1 Inggris (Inggris menang penalti 4-3)
#Piala Eropa:
- Piala Eropa 1996 (perempatfinal) : Spanyol 0-0 Inggris (Inggris menang penalti 4-2)
- Piala Eropa 1996 (semifinal) : Jerman 1-1 Inggris (Jerman menang penalti 6-5)
- Piala Eropa 2004 (perempatfinal) : Portugal 2-2 Inggris (Portugal menang penalti 6-5)
- Piala Eropa 2012 (perempatfinal): Inggris 0-0 Italia (Italia menang penalti 4-2)
- Piala Eropa 2020 (final): Italia 1-1 Inggris (Italia menang penalti 3-2)
Ada lelucon, kalau tiap turnamen besar mendingan Timnas Inggris perbanyak latihan tendangan penalti (saking banyak kalahnya). Entah mental turut berpengaruh atau tidak, karena pemain sehebat David Beckham, Steven Gerrard, dan Frank Lampard pun pernah gagal dalam adu penalti.
Atau jangan-jangan kiper Three Lions sendiri kurang berkualitas? Ini juga perlu diperdebatkan. Penjaga gawang Timnas Italia, Gianluigi Donnaruma masih berusia 22 tahun.Â
Tapi beberapa tahun terakhir ia sudah menjadi kiper utama klub top AC Milan sehingga kenyang pengalaman bermain di level atas. Mentalnya pun terasah.Â
Sementara kiper utama Timnas Inggris, Jordan Pickford sudah berusia 27 tahun. Tapi mohon maaf, ia bermain di klub selevel Everton yang tak masuk The Big Six elit di Premier League.
Yang pasti apapun itu, kalau mau membawa pulang trofi kembali ke rumah, Timnas Inggris harus memperbaiki rekor adu penalti mereka.
(Bangka, 17 Juli 2021)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H