“ anakingsun Pabelan, pun paman ingkang ngaturi, metua inggal, sira ingsun bisiki, lah ta radèn aja maras atènira, sun kang nanggung sirèki, lamun tekèng pejah pu paman belanana, njeng Sultan wus pracaya marang mami, wong dosa pejah yèn ingsun kang ngalingi apan ingsun pinasrahan jroning pura, marang Gusti Aji tuwin ramanira kakang Tumenggung Mayang. Manira wineling kalamun sira ana sajroning puri” (anakku Raden Pabelan, ini paman yang memintamu, keluarlah anakk kau uberitahu, jangan engkau merasa takut dan was-was, aku yang akan menjaminmu, kalaupun sampai mati maka pamanlah yang akan membelamu, karena aku telah diberi wewenang oleh Raja, dan beliau menyerahkan segala sesuatu padaku, termasuk ayahmu, aku diberitahu bahwa kau memang ada di dalam puri kaputren).
Pada saat itu Raden Pabelan sudah dicegah oleh sang putri tidak perlu keluar, kecuali ayahnya sendiri yang datang tetapi Raden Pabelan memang hatinya lemah, mudah percaya pada orang lain, sehinga sikap kewaspadaannya pun berkurang. Ia beranggapan seperti dirinya, orang lain mesti baik seperti apa yang dikatakannya.
Oleh sebab itu Raden Pabelan keluar dari bangsal kaputren;” kawula arsa mijil paman, kang nanggel kula Gusti, pan punika wineling dhateng pun rama, katur Sri Bupati” Aku akan keluar, paman yang memberikan jaminan keselamatanku, dan Gusti ayu sudah menjamin kami berdua, kanjeng Rama juga sudah tahu, dan telah disampaikan kepada kanjeng Sultan).
Sang putri kemudian melepaskan pegangannya, jantungnya semakin berdebar keras, hatinya menjadi semakin gundah, beberapa pintu puri kaputren terbuka, menyembul beberapa orang prajurit pengawal dalam, dengan senjata lengkap. Ngabèhi Wiratanu menyuruh emban pangasuh untuk membawa tuan putri masuk dalam kedaton. Sementara itu pintu keluar sudah terjaga rapat. Pasukan semakin merangseg maju mengepung Raden Pabelan. Raden Pabelan bermaksud mendatangi Ngabèhi Surakarti dan menghaturkan sembah, ketika sedang berjongkok memberi penghormatan, melesat dari kanan dan kiri dua prajurit sandiyuda yang sudah memegang keris, serentak keduanya menghunjamkan senjata kelambung kanan dan kirinya raden Pabelan.
Raden Pabelan menjerit keras, mengerang dan tewas seketika. Kemudian secara bertubi-tubi pasukan yang turut mengepung kaputrèn juga serentak beramai-ramai menghunjamkan senjatanya ke tubuh radèn Pabelan. Tubuhnya terkapar di tanah bersimbah darah, mulutnya tersungging senyum kepuasan. Seluruh tubuhnya berlobang karena tusukan pedang dan keris. Kemudian tubuh yang tak bernyawa itu diseret di buang di kali Lawéyan.
Kedua orang tuanya yaitu Tumenggung Mayang dan isterinya juga menyaksikan nasib malang yang di derita anaknya, mayatnya yang di buang begitu saja di kali Lawéyan, hatinya sedih. Tumengung Mayang menyuruh beberapa orangnya untuk mengambil jenasah anaknya, dan agar di kebumikan dengan baik
Sementara itu Tumenggung Mayang dalam hatinya merasa terharu dan menyesal atas perlakuan pada putranya sendiri, menjerumuskan pada jalan kematian. Betapa pun orang tua terhadap anak ; téga larané ora téga patiné .
ooo ooooo surem surem diwangkara kingkin lwir manguswa kang layon................
Catatan :
Dari kejadian ini, merupakan awal bencana keruntuhan Kasultanan Pajang
Sindoro Sumbing, 2 Juni 2010
Sumber:
Babad Demak II (1937)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H