Mohon tunggu...
Rochani Sastra Adiguna
Rochani Sastra Adiguna Mohon Tunggu... wiraswasta -

sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Runtuhnya Kasultanan Pajang (2)

4 Juni 2010   03:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:45 2366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Begitulah kedua orang yang sedang dimabok cinta melepaskan kerinduannya. Bagi sang retna dyah ayu Murtèningrum, memang belum pernah disentuh oleh seorang pria. Maka saat Raden Pabelan itu mencium pada bagian terpenting yang dapat membangkit libido, ia mulai merintih dan semakin tak terkendali, bagaikan harimau yang kelaparan, tanpa basa basi lagi, sang putri menyambut hangat serangan raden Pabelan. Satu persatu penutup tubuh sang putri dilepas dari tempatnya, kini keduanya bak Adam dan Hawa yang masih di dalam Surga, tiada daun penutup, semuanya transparan, datanpa slintru, padhang anrawang.

Usia sang putri sudah 30 tahun, sudah matang dan dewasa, meski belum berpengalaman, tetapi training sesaat saja sudah bisa melakukan dengan sempurna. Dalam arena pergumulan cinta sudah tidak nampak lagi batas sekat etika. Disitulah manusia menunjukkan hak azasinya yang paling tinggi dengan kebebasan yang se bebas-bebasnya. Tidak ada aturan yang mampu menghentikannya, tidak ada sebuah perintah yang mampu membatalkan tindakannya. Kedua orang itu sudah sama-sama memegang prisip kebebasan mutlak.

Dunia seakan hilang dari pandangan matanya, agaknya yang hidup di dunia hanyalah mereka berdua. Bahkan jika ada orang lain yang memperhatikan pun tidak digubris lagi. Dunia ada di dalam genggaman tangannya. Begitulah yang sedang melakukan ‘ andon asmara ‘ mengadu kepandaian dan kemampuan, saling memukul dan menangkis.

Sesekali mengeluarkan jurus yang dahsyat. Desahan nafas yang keluar serasa menaiki tangga sebuah gedung bertingkat sembilan. Peluh yang keluar dari pori-pori semakin deras karena mendekati puncak energi, keduanya mengeluarkan jurus pamungkasnya dan bagaikan dentuman air pasang yang menghantam pantai, byur, dan keduanya tergeletak tak berdaya. Mata terasa penat, kepala terasa pusing berputar-putar, deru nafas yang menggelegak menjadi berangsur-angsur mereda dan semakin halus, pandangan mata menjadi kabur, suara semakin menjauh dan menghilang. Keduanya tertidur pulas berpelukan.

Pagi harinya, keduanya sudah membersihkan dirinya, dengan wewangian khas keraton , kedua duduk bercengkerama, sambil tertawa kecil , kemudian raden Pabelan merajuk pada sang retna ;” tuan putri, jika punya anak kira-kira kalau lahir laki-laki seperti aku nggantengnya”.
sira aja gumampang, apa becik panemuné, manira dèrèng uninga, kang kadya ambek dika, dèrèng-dèrèng ambek sunu, wekasan ngrusak dagangan” ( jangan menyepelekan, apakah pendapat andika itu benar, aku belum mengetahuinya, belum-belum sudah mikir anak, tetapi akhirnya nanti merusak dagangan).

dagangan larang puniku, datan karuwan ajiné, nora bisa milangana, yèn lamun tan leresa pasthi tinuku ing lampus “( tuanku jika dagangan itu tak bisa dinilai harganya, andaika tidak benarpun, pasti akan dibeli dengan nyawa).

Kemudian sang putri mencubit dadanya, kemudian lanjutnya;” kang-ora-ora pinikir, manira mangsa awèha, lamun dinukan sang Katong nyuwun ngapura, mangsa silèh tégaa ’ ( jangan berpikir yang tidak-tidak, aku tentu tidak rela meski dmarahi sang Prabu, aku mintakan pengampunan, kakang tentu aku tidak tega).

Raden Pabelan kemudian merangkul sang retna dan segera dibopong masuk kedalam kamar pinasri. Sehari semalam Sang Pabelan tidak ingat pulang kerumah, demikian sang putri tidak ingat apa yang terjadi di luar kamar. Sang putri tidak ingin keluar kamar, bagaikan orang yang sedang kelaparan, maka belum terpuaskan juga keinginannya. Bak orang makan, selalu ingin tambah, meskipun berkali-kali , namun tidak ada rasa kenyangnya.

Malam harinya sang retna mendekati Raden Pabelan;” lah kakang, kados punapa lamun awèta mangkéné, becik kakang amantuka matur marang paman Tumenggung, acaosa ing sang prabu, anyuwuna ing manira”( kanda, betapapun kanda disini sebaiknya pulanglah dahulu, kanda minta pada Paman Tumenggung untuk memberitahu kanjeng rama, melamar diriku).

“ nadyan angger kajambara, kanjeng Sultan dhatenga dukané, kawula mangsa sélaka, nadyan pejah gesanga, saking kawratan sihing rum, tan ajrih kawula pejah”(meski hamba ini ketahuan kanjeng Sultan dan mendapatkan amamrahnya, semuanya aku terima, tidak akan berkilah, kakrena demi cintaku dinda, aku tidak takut mati).

“ kakang sampun lami-lami andika ing pura, manawi wonten kang anon, nadyan kathah kang uninga, yèn rama sampun lila tan kuwatir manahingsun, nanging sun wangeni sapasar nunten balia, aja lawas-lawas baé, datan wandé kula pejah yèn pisah lawan andika” ( kakang sebaiknya jangan terlalu lama disini, nanti kalau ada yang tahu, meski banyak yang tahu kalau sudah diijinkan oleh kanjeng rama, hatiku tiak akan khawatir lagi).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun