Para emban yang ada di luar bangsal kaputren semua melihat kejadian itu dan juga mendengar apa yang mereka bicarakan. Sebagai pamomong para emban mempunyai tugas dan kuwajiban untuk menjaga keselamatan tuan putri, apapun yang terjadi di dalam kaputren harus dilaporkan pada sang raja, bila tidak melaporkannya maka sebagai gantinya para emban akan menerima hukuman mati, termasuk seluruh keluarganya.
Para emban juga menyadari seandainya anaknya mendapat pasangan seperti raden Pabelan memang tidak akan menolaknya. Tetapi kali ini persoalannya lain, mereka kini sedang melaksanakan tugas memelihara, mengawasi asuhannya. Sehingga tidak boleh terjadi sebuah kelalaian. Apalagi ada maling aguna yang berani masuk ke dalam kaputren, ini bisa mendapat hukuman yang berat karena lalai tidak memberitahukan pada penjaga kaputren, ataupun kepada sentana dalem.
Geger di halaman Kaputren
Di Sitihinggil kanjeng Sultan Hadiwijaya (1548-1583 M) sedang ada pasewakan agung, hadir para sentana dan nayakapraja, juga segenap para bupati lengkap. Dari Sri Manganti emban Inya berlari sambil menangis “ ketiwasan gusti, ketiwasan gusti”( celaka sinuhun, celaka sinuhun).
Kemudian segera memasuki ruang paséwakan, sambil menangis. “ agé matura inya, aja anangis ana jroning pasewakan, matura enggal “( cepat katakanlah, ada apa sebenarnya, jangan menangis di dalam acara pertemuan ini ).
“ Duh Gusti ketiwasan, kula ingkang rumesèng putra ji, ing kedhaton kalebetan maling aguna, pan inggih nyidra resmi putra paduka atu Sekar kedhaton, cinidrèng ing asmara Raden Padbelan kang nami, inggih Tumenggung Mayang kang darbé siwi” ( celaka Tuanku, kami yang dipercaya untuk menjaga putra paduka sang retna ayu Sekar Kedaton, melaporkan bahwa dipuri kaputren telah kemasukan maling aguna, yang mencuri hati tuanku putri oleh radèn Pabelan putra Tumenggung Mayang).
Sultan Pajang seperti mendengar suara petir di siang bolong,setelah mendengar laporan emban Inya, seketika itu tidak bisa mengendalikan diri, dadanya terasa sesak mengepulkan api amarah yang tak terhingga, kedua matanya merah mengeluarkan bara api yang akan melebur semua yang ditatapnya, tangannya mengenggam erat, gigi gemeretak, bibirnya bergetar menahan luapan amarahnya.
Kemudian memerintahkan wimbasara untuk mengumpulkan pasukan khusus sandiyuda. Kemudian wimbasara maju melaporkan bahwa pasukan sudah siap dan menunggu perintah.
“ Surakarti lan Wiratanu, pakenira pandhégani, lumebwèng jroning puri, cekelen maling aguna si Pabelan anake Tumenggung Mayang, iriden ana ing alun-alun pamagangan, yèn nyembadani sun paring purbawasésa patènana” ( Surakerti dan Wiratanu, kalian aku perintahkan untuk masuk kedalam kaputren, tangkap si maling aguna Pabelan anaknya Tumenggung Mayang, kalau dia melawan bunuhlah).
Yang ada di kaputren, para emban, cèthi semua sudah berikrar untuk ikut mati bersama sang Putri. Sementara itu sang retna sekar Kedaton memegang erat lengan raden Pabelan, serasa tak mau di pisahkan, mereka sudah sepakat untuk rela mati bersama demi hasrat cintanya.
Ketika itu lurahing tamtama Kanjeng radèn Ngabehi Surakarti, yang memimpin pasukan memasuki puri kaputren dan segera mengepungnya, ia pun mendesak maju untuk mendobrak pintu kaputren.
Tetapi dari dalam Ratu Mas Murtèngningrum keluar dari ruang kaputren sudah bergandeng erat, sementara di belakangnya para nyai emban pengasuh tuan putri sudah siap untuk sabéla pati sabéla mukti . Melihat keadaan yang seperti itu, Raden Ngabèhi Surakerti mundur beberapa langkah, dan berembug dengan beberapa pembantunya.
Beberapa prajurit yang lain supaya mengepung melalui pintu lainnya. Kemudian ki Ngabèhi Surakarti, masuk lagi ke dalam puri kaputren dan mendekati Raden Pabelan.