Kemudian Raden Pabelan merangkul sang putri dan menciuminya ,“ pun kakang amulih Gusti, angger mangké wayah ngisa “ ( aku akan pulang yayi, tetapi setelah waktu isa’).
“ kakang , wayah bakda ngisa,lah kakang dipun énggal ” ( kakang jangan menunggu setelah waktu Isa’, segeralah kakang ).
Kemudian raden Pabelan bergegas meninggalkan kaputren. Kemudian segera lari mendekat tembok pagar kaputren, ingat akan pesan orang tuanya, cara untuk keluar dari pagar kaputren tanpa harus melompati pagar berduri. Kemudian segera membaca materanya, ilmu yang diberikan oleh Tumenggung Mayang kepada putranya, dan juga cara penggunaannya. Tetapi berkali-jkali dicoba tetapi pagar Baluwarti tak bergeming. Padahal ketika masuk, tembok itu bisa terbuka , tetapi kini kebalikannya, bergeming saja tidak. Berkali-kali matera dibaca, tetapi berkali-kali pula tanpa hasil.
Bergetar juga hati Raden Pabelan, ia merasa cemas, jangan-jangan ketahuan oleh penjaga. Kalau ini terjadi maka tamatlah riwayatnya. Katanya dalam hati ;” lamun ingsun angemasi iki wus dadi takdiring Ywang, pati kang prayoga, ananging barenga sang putri sekaring pura” ( kalau aku mati, itu sudah menjadi takdirku, tetapi aku tidak mati sendiri, harus bersama sekaring kedaton).
Raden Pabelan kemudian berlari lagi kedalam bangsal kaputren, sang retna masih belum tidur. Pabelan segera masuk kamar tidur sang putri dan mendekati. Sang retna menyapanya;” kakang bagéné bali “ (kanda mengapa kembali lagi ).
“ dhuh gusti mirah ingwang, tan sageda tilar gusti putri pisah lan andika, tansah cumanthèl jroning nala yayi ”( dinda pujaanku, aku tak bisa meninggalkanmu, hatiku telah tertambat ), tukas raden Pabelan menutupi kebohongannya.
Tangan raden Pabelan segera ditarik kedadanya, kemudian keduanya duduk bersanding sambil mengungkapkan perasaannya, sesekali tertawa riang, dan akhirnya keduanya asyik masyuk di arena lautan asmara. Semuanya diabaikan, emban Soka yang berkali-kali mengetuk pintu bangsal kaputren, tetap tidak dibukakannya. Beberapa emban menjaga di depan pintu, mungkin ada sesuatu di dalam kamar sang retna, mengapa berkali-kali diketuk tidak dibuka pintu.
“ déné njeng ratu Mas apan wus tigang dina apan iya nora mijil, jro pagulingan ana swaraning jalmi ”( mengapa gusti putri sudah tiga hari ini tidak keluar kamar, tetapi kami mendengar bahwa dikamar sang retna ada suara lain).
Emban satunya berbisik;” iki kaya ana swaraning wong lanang, swarané pating kalesik, apagujengan, payo dèn intip “(ini seperti ada suara lelaki, mereka bercanda, mari kita intip).
Para emban kemudian mendekat disebelah kanan dan kiri bangsal kaputren mencari cara untuk bisa melihat apa yang terjadi didalam kaputren.
Raden Pabelan memegang kedua tangan sang putri, kedua matanya ditatap dalam-dalam, seraya berkata; “ manira anedha janji dhateng ratumas, kados pundi ing karsi, boten sandé kawenangan ing njeng Sultan, kawula dèn pejahi mring ramanta Sultan” ( dinda pujaan hatiku, aku minta pertimbangan darimu, bagaimana kehendak diajeng nanti, karena tak ayal lagi juga akan ketahuan oleh sang Prabu, da tentu aku akan menerima hukuman mati ).
Sang retna menjawab pelan; “ lara pati sun bélani, mangsa tégaa kakang kula labuhi ’ ( sakit hingga kematian yang memisahkan kita, akupun juga tidak akan sampai hati meninggalkan kanda, apapun resiko aku akan hadapi ).