Pernahkah Anda mendengar pernyataan Presiden yang meminta pegawai lebih sering turun ke lapangan? Menteri PUPR sebelumnya, Bapak Basuki, juga pernah menekankan hal yang sama. Tidak ada yang salah dengan perjalanan dinas, terutama jika dilakukan demi memastikan kelancaran program dan proyek di berbagai daerah. Namun, realitasnya, perjalanan dinas sering kali menjadi beban anggaran dan justru menyimpang dari tujuan awalnya.
Perjalanan dinas memiliki dampak positif bagi perekonomian, seperti mendukung operasional maskapai penerbangan di daerah terpencil, menjaga okupansi hotel, dan memberikan keuntungan bagi bisnis penyewaan mobil. Saya sering melakukan perjalanan dinas untuk memeriksa proyek di lapangan, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Secara teori, ini adalah hal yang benar dan seharusnya terjadi. Namun, tidak semua perjalanan dinas benar-benar diperlukan.
Ada kalanya perjalanan dinas dilakukan hanya demi penyerapan anggaran tanpa memberikan dampak nyata. Terkadang, ini menjadi langkah terpaksa agar anggaran terserap dengan cepat, tanpa mempertimbangkan efektivitasnya. Selain itu, kunjungan pegawai pusat ke daerah sering kali membuat instansi daerah kewalahan. Mulai dari urusan penjemputan, pencarian hotel, hingga menjamu tamu di tempat makan, semuanya bisa menjadi beban tambahan bagi pegawai daerah atau rekanan kontraktor. Bahkan, ada praktik tidak sehat, seperti meminta fasilitas gratis dari mitra kerja di daerah.
Saya menyadari bahwa budaya seperti ini tidak sehat. Saat melakukan perjalanan dinas, saya lebih memilih untuk tidak meminta pelayanan berlebihan, cukup didampingi ke lapangan. Saya biasa keluar sendiri di malam hari untuk mencari makan sederhana di sekitar hotel. Namun, hal ini sering kali tidak berlaku bagi pejabat. Pegawai daerah harus sangat berhati-hati ketika menerima kunjungan pejabat dari pusat, karena ini menyangkut reputasi dan kenyamanan mereka. Sayangnya, kadang ini lebih kepada anggapan semata daripada tuntutan yang nyata.
Ada juga contoh positif. Saya pernah melakukan perjalanan dinas bersama direktur saya, dan beliau tetap tenang meskipun tiketnya bermasalah hingga harus naik perahu. Makan malam pun cukup di warung kecil tanpa keluhan. Namun, pegawai daerah tetap merasa harus memberikan layanan terbaik karena tidak semua pejabat memiliki pemikiran yang sama.
Perjalanan dinas yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan tidaklah masalah. Tetapi, ketika tujuannya bergeser menjadi sekadar formalitas, mempertahankan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dan memperumit birokrasi, maka manfaatnya perlu dipertanyakan. Perjalanan dinas harus sesuai dengan mandat tugas dan fungsi, bukan sekadar jalan-jalan atau menghamburkan anggaran.
Adakala ini menjadi dilema. Sebagai contoh, dalam kasus proyek kami yang bermasalah di salah satu provinsi di Indonesia Timur, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) seolah menyalahkan pihak pusat atas mal-administrasi yang terjadi, padahal instansi pelaksana ada di daerah. Pemerintah pusat sebenarnya sudah memiliki wakil di daerah, tetapi tetap saja ada beban yang mengharuskan pegawai pusat untuk turun langsung ke lapangan. Dalam situasi seperti ini, perjalanan dinas mau tidak mau harus dilakukan karena tugas dan fungsi yang tertuang dalam aturan organisasi dan tata laksana meminta kewajiban pelaksanaan pemantauan dan pengendalian. Untuk itu, jangan hanya mengurangi perjalanan dinas, tetapi juga revisi aturan tugas dan fungsi.
Salah satu metode pengurangan perjalanan dinas adalah desentralisasi. Misalnya, dalam Program Pengentasan Kemiskinan Ekstrem yang dilakukan Kementerian PUPR. Sebenarnya lebih efektif dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Pusat hanya memantau mungkin dengan uji petik. Saya lebih suka misalnya Kementerian PUPR hanya memberi dana bantuan ke daerah tanpa harus terlibat dalam konstruksi untuk dilaksanakan oleh OPD setempat sebagaimana dalam program DAK selama ini. Pemerintah pusat memberi reward and punishment berdasarkan hasil evaluasi. Akibatnya birokrasi instansi vertikal lebih ramping. Dengan instansi vertikal yang ramping, maka perjalanan dinas, paket meeting secara otomatis berkurang.
Perjalanan dinas juga dibatasi dengan hasil program dan jumlah tenaga ahli. Jika membutuhkan perjalanan dinas yang melebihi maka harus ditelaah Inspektorat dahulu. Jadi jumlah perjalanan dinas didasarkan pada logika yang benar dan proporsional dengan justifikasi yang kuat.
Perjalanan dinas seharusnya menjadi alat pengawasan dan evaluasi program yang efektif, bukan sekadar aktivitas untuk menyerap anggaran. Jika dilakukan dengan tepat, perjalanan dinas bisa memberikan dampak positif bagi instansi dan masyarakat. Namun, jika dilakukan tanpa tujuan yang jelas, hanya akan menjadi pemborosan dan membebani pegawai di daerah.