Dalam upaya terbaru pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, telah dilakukan pemangkasan anggaran sebesar 306,7 triliun rupiah, yang setara dengan sekitar 8% dari total belanja pemerintah yang disetujui untuk tahun 2025. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pengeluaran pemerintah. Namun, menurut kami, kebijakan ini semakin membatasi ruang gerak program-program yang akan dijalankan oleh kementerian kami.
Kebijakan pemangkasan anggaran sebenarnya bukan hal baru. Sejak pandemi COVID-19, pemerintah telah menerapkan berbagai bentuk penyesuaian anggaran, seperti refocusing dan realokasi, untuk menangani dampak pandemi. Misalnya, pada tahun 2020, pemerintah melakukan refocusing anggaran untuk mendukung sektor kesehatan, jaring pengaman sosial, dan pemulihan ekonomi.
Kebijakan tersebut memiliki sisi positif maupun negatif. Saat pandemi, kami memahami bahwa refocusing anggaran adalah langkah yang diperlukan. Namun, dalam situasi saat ini, pendekatan yang sama tidak lagi menjadi solusi mendasar bagi permasalahan utama.
Sebelum membahas lebih lanjut, saya ingin mengajak pembaca untuk melihat kembali sejarah, di mana seorang raja pernah melakukan penghematan besar-besaran demi memperkuat negaranya. Raja tersebut adalah Friedrich Wilhelm I dari Prusia, yang dikenal sebagai "Raja Serdadu". Ia menerapkan kebijakan penghematan yang ketat dan fokus pada efisiensi, yang berkontribusi pada penguatan militer dan birokrasi Prusia.
Dengan meneladani langkah-langkah tersebut, kita dapat belajar bahwa efisiensi dan penghematan anggaran harus disertai dengan strategi yang tepat agar tidak menghambat pelaksanaan program-program penting.
Reformasi Friedrich Wilhelm I
Saya mengambil contoh dari 3 abad lalu karena pendekatannya lebih mudah difahami karena tidak melibatkan instrumen fiskal yang tidak familiar bagi orang awam.
Raja Friedrich Wilhelm I bin Marhum Raja Friedrich I, Elektor Brandenburg dan Raja Prusia (1688-1740), dikenal dengan julukan "Raja Prajurit". Namun, kita tidak akan membahas ketegasan dan kekejaman terhadap putranya, Friedrich yang Agung, ataupun pasukan khusus berbadan tinggi yang terkenal itu. Fokus kita adalah reformasi fiskal yang ia lakukan-sebuah kebijakan yang nantinya memungkinkan anaknya membawa Prusia menjadi negara yang lebih kuat dan disegani.
Berbeda dengan sang ayah, Friedrich Wilhelm I adalah seorang pemimpin yang shaleh, disiplin, dan jauh dari kemewahan. Ia tidak menyukai pesta pora, minuman keras, atau barang-barang mahal. Begitu naik takhta, ia segera menjual koleksi perhiasan, lukisan, dan barang-barang mewah dari istana. Pengeluaran kerajaan dipangkas secara drastis; tidak ada lagi jamuan besar, pesta pora, atau pembangunan istana baru. Bahkan, pola makan sang raja sangat sederhana-hanya terdiri dari sup kentang, daging asap, dan bir biasa, jauh dari anggur mahal dan hidangan mewah yang umum di istana kerajaan lain. Teater dan opera ditutup, yang mungkin dilatarbelakangi pandangannya yang anti seni -dianggap sebagai kewanitaan.
Setelah berhasil mengendalikan belanja istana, Friedrich Wilhelm I mengalihkan perhatiannya ke reformasi perpajakan, terutama yang menyangkut kaum bangsawan Junker (tuan tanah). Sebelumnya, pajak tanah yang dikenakan kepada bangsawan lebih rendah dibandingkan dengan pajak yang dibayar oleh kelas menengah, menciptakan rasa ketidakadilan Banyak pemilik tanah juga memanipulasi laporan luas tanah mereka agar pajaknya tetap rendah. Untuk mengatasi hal ini, sang raja memerintahkan survei kadaster-sebuah pemetaan ulang tanah secara menyeluruh-agar pajak dikenakan sesuai dengan luas tanah yang sebenarnya.
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, ia mendatangkan kaum Huguenot, kelompok Protestan yang terusir dari Prancis, ke wilayah Brandenburg dan Prusia Timur. Wilayah Prusia Timur ini sebelumnya mengalami penurunan populasi akibat wabah, sehingga kedatangan para Huguenot memberikan dorongan baru bagi perekonomian. Mereka menggunakan keterampilan dan pengalaman mereka untuk membuka usaha serta membangun industri baru.
Di bidang administrasi, Friedrich Wilhelm I mengganti banyak pegawai negeri dari kalangan bangsawan dengan sistem meritokrasi, di mana jabatan diberikan berdasarkan kemampuan, bukan garis keturunan. Namun, untuk perwira militer, ia tetap mempertahankan dominasi kaum Junker sebagai bentuk kompromi dengan bangsawan Prusia.
Reformasi ini membawa dampak besar bagi negara. Keuangan Prusia menjadi lebih stabil, dan kas negara menguat. Pendapatan pajak meningkat tanpa harus membebani rakyat kecil, berkat sistem perpajakan yang lebih adil dan pegawai yang bekerja secara profesional. Uang yang berhasil dikumpulkan digunakan untuk membangun infrastruktur dan memperkuat militer, menjadikan Prusia sebagai salah satu kekuatan utama di Eropa.
Kebijakan-kebijakan inilah yang kemudian diwarisi oleh putranya, Friedrich yang Agung, untuk lebih mengembangkan Prusia menjadi negara yang disegani di kancah mancanegara. Friedrich Wilhem memulai dari diri sendiri dahulu.
Pemborosan Uang Negara
Menyebut pemborosan anggaran seperti perjalanan dinas, paket meeting di hotel, dll adalah bentuk penyederhanaan masalah. Perjalanan dinas atau rapat di hotel hanya alat, ada masalah yang berakar yang perlu dipecahkan.
Seminar Kit
Pemborosan uang negara itu memang benar adanya. Coba liat gambar di bawah ini:

Paket Meeting
Dalam banyak organisasi, ketika penyerapan anggaran harus segera dilakukan, strategi yang paling sering digunakan adalah menggelar paket meeting, terutama yang bersifat fullboard di hotel. Sebenarnya, tidak semua paket meeting bersifat insidental atau dadakan-beberapa memang sudah dipersiapkan sebelumnya. Namun, mayoritas meeting di hotel sering kali tidak efektif. Tidak jarang peserta hanya sekadar hadir tanpa interaksi bermakna, tanpa debat atau adu argumen yang konstruktif. Sesi rapat pun diwarnai dengan peserta yang mengantuk, mengangguk tanpa pemahaman, menikmati sajian hotel, atau bahkan merokok di luar ruangan.
Masalahnya bukan pada lokasi meeting di hotel semata, tetapi lebih pada ketidaksiapan organisasi dalam merancang rapat yang produktif. Banyak organisasi, baik kementerian maupun perangkat daerah, hanya membuat program sekadar untuk memenuhi seremonial, tanpa memperjelas output dan outcome yang diharapkan. Rapat pun sering menjadi formalitas belaka.
Alternatif: Kenapa Tidak Rapat di Kantor?
Untuk rapat internal, sebenarnya lebih baik dilakukan di kantor. Namun, dalam realitasnya, jika rapat melibatkan pemangku kebijakan yang lebih banyak, sering kali tingkat kehadiran peserta lebih rendah jika rapat diadakan di kantor. Untuk rapat kecil dengan sekitar 20 peserta dan durasi 1--2 jam, kantor adalah pilihan ideal. Namun, jika rapat berlangsung lebih lama dan melewati waktu makan siang, efektivitasnya menurun. Tidak semua kantor memiliki fasilitas makan siang atau ruang rapat dengan kapasitas cukup.
Konsinyasi: Efektif atau Tidak?
Salah satu alasan utama paket meeting digunakan adalah untuk konsinyasi, yaitu pertemuan yang dilakukan untuk menyelesaikan suatu tugas teknis tanpa gangguan. Teorinya, konsinyasi bertujuan untuk menciptakan suasana kerja yang fokus dan kondusif. Namun, realitasnya tidak selalu demikian. Saya pernah mengikuti konsinyasi dua tahun lalu untuk memeriksa Detail Engineering Design (DED) sebuah proyek perencanaan. Apakah efektif? Tidak sama sekali.
Gangguan justru lebih banyak. Alih-alih fokus bekerja, peserta lebih sibuk membahas destinasi wisata di sekitar Bogor, lokasi tempat kami berkonsinyasi. Perencana tidak segera melakukan perbaikan, dan saya pun kesulitan berkonsentrasi. Inilah yang menjadi alasan bahwa konsep konsinyasi di hotel perlu dievaluasi kembali. Sebelum adanya instruksi penghematan oleh Presiden Prabowo, konsinyasi masih bisa dilakukan di lokasi minimal dua jam dari kantor. Namun, apakah model seperti ini benar-benar memberikan hasil yang maksimal? Masalah sesungguhnya bukan pada paket meeting tapi organisasinya.
Paket meeting sendiri bukanlah sesuatu yang sepenuhnya salah. Yang lebih bermasalah adalah organisasi itu sendiri. Baik di kementerian maupun perangkat daerah, banyak program yang tidak memiliki ide dan gagasan inovatif. Lebih buruk lagi, banyak program yang bagus tetapi tidak berkelanjutan, sehingga manfaatnya berhenti di tengah jalan.
Paket meeting bisa menjadi solusi yang efektif jika hasilnya berbobot dan dapat ditindaklanjuti. Tidak ada gunanya mengadakan diskusi tanpa ada langkah konkret setelahnya. Demikian pula, tidak ada gunanya pelatihan jika tidak dipersiapkan dengan baik dan diisi oleh pengajar yang tidak kompeten. Evaluasi harus dilakukan secara menyeluruh agar setiap anggaran yang dikeluarkan benar-benar membawa manfaat bagi organisasi dan masyarakat.
Perjalanan Dinas
Pernahkah Anda mendengar pernyataan Presiden yang meminta pegawai lebih sering turun ke lapangan? Menteri PUPR sebelumnya, Bapak Basuki, juga pernah menekankan hal yang sama. Tidak ada yang salah dengan perjalanan dinas, terutama jika dilakukan demi memastikan kelancaran program dan proyek di berbagai daerah. Namun, realitasnya, perjalanan dinas sering kali menjadi beban anggaran dan justru menyimpang dari tujuan awalnya.

Perjalanan dinas memiliki dampak positif bagi perekonomian, seperti mendukung operasional maskapai penerbangan di daerah terpencil, menjaga okupansi hotel, dan memberikan keuntungan bagi bisnis penyewaan mobil. Saya sering melakukan perjalanan dinas untuk memeriksa proyek di lapangan, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Secara teori, ini adalah hal yang benar dan seharusnya terjadi. Namun, tidak semua perjalanan dinas benar-benar diperlukan.
Ada kalanya perjalanan dinas dilakukan hanya demi penyerapan anggaran tanpa memberikan dampak nyata. Terkadang, ini menjadi langkah terpaksa agar anggaran terserap dengan cepat, tanpa mempertimbangkan efektivitasnya. Selain itu, kunjungan pegawai pusat ke daerah sering kali membuat instansi daerah kewalahan. Mulai dari urusan penjemputan, pencarian hotel, hingga menjamu tamu di tempat makan, semuanya bisa menjadi beban tambahan bagi pegawai daerah atau rekanan kontraktor. Bahkan, ada praktik tidak sehat, seperti meminta fasilitas gratis dari mitra kerja di daerah.
Saya menyadari bahwa budaya seperti ini tidak sehat. Saat melakukan perjalanan dinas, saya lebih memilih untuk tidak meminta pelayanan berlebihan, cukup didampingi ke lapangan. Saya biasa keluar sendiri di malam hari untuk mencari makan sederhana di sekitar hotel. Namun, hal ini sering kali tidak berlaku bagi pejabat. Pegawai daerah harus sangat berhati-hati ketika menerima kunjungan pejabat dari pusat, karena ini menyangkut reputasi dan kenyamanan mereka. Sayangnya, kadang ini lebih kepada anggapan semata daripada tuntutan yang nyata.
Ada juga contoh positif. Saya pernah melakukan perjalanan dinas bersama direktur saya, dan beliau tetap tenang meskipun tiketnya bermasalah hingga harus naik perahu. Makan malam pun cukup di warung kecil tanpa keluhan. Namun, pegawai daerah tetap merasa harus memberikan layanan terbaik karena tidak semua pejabat memiliki pemikiran yang sama.
Perjalanan dinas yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan tidaklah masalah. Tetapi, ketika tujuannya bergeser menjadi sekadar formalitas, mempertahankan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dan memperumit birokrasi, maka manfaatnya perlu dipertanyakan. Perjalanan dinas harus sesuai dengan mandat tugas dan fungsi, bukan sekadar jalan-jalan atau menghamburkan anggaran.
Adakala ini menjadi dilema. Sebagai contoh, dalam kasus proyek kami yang bermasalah di salah satu provinsi di Indonesia Timur, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) seolah menyalahkan pihak pusat atas mal-administrasi yang terjadi, padahal instansi pelaksana ada di daerah. Pemerintah pusat sebenarnya sudah memiliki wakil di daerah, tetapi tetap saja ada beban yang mengharuskan pegawai pusat untuk turun langsung ke lapangan. Dalam situasi seperti ini, perjalanan dinas mau tidak mau harus dilakukan karena tugas dan fungsi yang tertuang dalam aturan organisasi dan tata laksana meminta kewajiban pelaksanaan pemantauan dan pengendalian. Untuk itu, jangan hanya mengurangi perjalanan dinas, tetapi juga revisi aturan tugas dan fungsi.
Salah satu metode pengurangan perjalanan dinas adalah desentralisasi. Misalnya, dalam Program Pengentasan Kemiskinan Ekstrem yang dilakukan Kementerian PUPR. Sebenarnya lebih efektif dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Pusat hanya memantau mungkin dengan uji petik. Saya lebih suka misalnya Kementerian PUPR hanya memberi dana bantuan ke daerah tanpa harus terlibat dalam konstruksi untuk dilaksanakan oleh OPD setempat sebagaimana dalam program DAK selama ini. Pemerintah pusat memberi reward and punishment berdasarkan hasil evaluasi. Akibatnya birokrasi instansi vertikal lebih ramping. Dengan instansi vertikal yang ramping, maka perjalanan dinas, paket meeting secara otomatis berkurang.
Perjalanan dinas juga dibatasi dengan hasil program dan jumlah tenaga ahli. Jika membutuhkan perjalanan dinas yang melebihi maka harus ditelaah Inspektorat dahulu. Jadi jumlah perjalanan dinas didasarkan pada logika yang benar dan proporsional dengan justifikasi yang kuat.
Perjalanan dinas seharusnya menjadi alat pengawasan dan evaluasi program yang efektif, bukan sekadar aktivitas untuk menyerap anggaran. Jika dilakukan dengan tepat, perjalanan dinas bisa memberikan dampak positif bagi instansi dan masyarakat. Namun, jika dilakukan tanpa tujuan yang jelas, hanya akan menjadi pemborosan dan membebani pegawai di daerah.
Negara-negara maju telah menerapkan efisiensi dalam perjalanan dinas. Misalnya, Jerman dan Korea Selatan menerapkan sistem penganggaran berbasis kinerja yang ketat, memastikan setiap pengeluaran, termasuk perjalanan dinas, memberikan dampak nyata bagi masyarakat. Mereka juga memanfaatkan teknologi untuk mengurangi kebutuhan perjalanan dinas, seperti melalui konferensi video dan alat komunikasi digital lainnya. Dengan demikian, perjalanan dinas dilakukan hanya ketika benar-benar diperlukan dan memberikan nilai tambah yang signifikan.
Dengan mencontoh praktik-praktik tersebut, Indonesia dapat meningkatkan efisiensi dalam perjalanan dinas, memastikan anggaran digunakan secara optimal, dan mengurangi beban bagi pegawai di daerah.
Untuk mengakomodasi berbagai pengeluaran tak terduga dalam perjalanan dinas, banyak instansi memiliki dana taktis. Secara definisi, dana taktis adalah anggaran yang dialokasikan untuk keperluan mendesak, fleksibel, dan tidak terduga. Namun, dalam praktiknya, ada dana taktis yang tidak tercatat dalam DIPA/RKAKL, sehingga tidak dipertanggungjawabkan secara resmi kepada negara. Lalu, dari mana asal dana ini?
Selama ada celah dalam penggunaan uang negara, dana taktis bisa muncul. Contoh sumbernya antara lain belanja habis pakai seperti ATK atau fee dari vendor dan kontraktor. Ada kalanya, dana ini digunakan untuk sesuatu yang dianggap "mulia," seperti makan bersama untuk mempererat kekompakan tim, merayakan ulang tahun rekan kerja, atau acara perpisahan. Namun, karena tidak transparan, dana ini juga rawan penyimpangan.
Seharusnya, negara mengalokasikan dana yang lebih transparan untuk kebutuhan kesejahteraan pegawai, tetapi tetap dengan batasan dan parameter yang jelas. Selain itu, budaya "melayani atasan" yang berlebihan harus dihilangkan. Ketika ada tamu dari pusat, biarkan mereka membayar makan sendiri, tidak perlu diberi oleh-oleh, dan tidak perlu perlakuan istimewa. Sebab, tamu bukan hanya satu orang, dan ini adalah uang negara yang harus dikelola dengan bertanggung jawab.
Perampingan Kementerian/Lembaga
Ada banyak cara untuk meningkatkan efisiensi dalam pemerintahan, mulai dari pengurangan biaya utilitas seperti listrik, air minum, hingga perawatan taman kantor. Bahkan, anggaran untuk perayaan hari-hari tertentu bisa dikurangi. Namun, ada satu aspek yang jarang dibahas secara mendalam, yaitu efisiensi dalam organisasi Kementerian dan Lembaga (K/L).
Kabinet Gemuk dan Beban Anggaran
Presiden Prabowo telah mengusung berbagai kebijakan efisiensi, tetapi ironisnya hal tersebut tidak diterapkan dalam struktur birokrasi pemerintahannya. Kabinet saat ini tergolong sangat gemuk, yang berarti ada beban anggaran besar untuk membiayai operasional menteri, staf khusus, staf ahli, sekretariat jenderal, inspektorat jenderal, pusat data dan informasi, biro komunikasi, hingga sewa gedung bagi kementerian yang belum memiliki kantor sendiri. Belum lagi, pengembangan organisasi yang semakin kompleks, di mana satu kementerian yang sebelumnya hanya memiliki satu eselon 1 kini berkembang menjadi 4 atau 5.
Banyaknya kementerian dan lembaga berarti banyak pengeluaran tambahan, yang bisa dikurangi melalui penggabungan struktur organisasi tanpa mengorbankan efektivitasnya. Oleh karena itu, solusi yang lebih masuk akal adalah menggabungkan beberapa kementerian tetapi memperkuat peran wakil menteri (wamen).
Penggabungan Kementerian dan Pergeseran Ditjen
Berikut beberapa usulan untuk mengoptimalkan birokrasi:
- Kementerian ATR/BPN digabung dengan Kementerian Perumahan
- Ditjen Bina Marga dipindahkan ke Kementerian Perhubungan
- Ditjen Sumber Daya Air yang berkaitan dengan irigasi dan bendungan dialihkan ke Kementerian Pertanian, sedangkan yang terkait sungai dan laut ke Kementerian Lingkungan Hidup
- Direktorat Air Minum dan Direktorat Sanitasi sebaiknya diletakkan di Kementerian Lingkungan Hidup
- Kementerian Lingkungan Hidup digabung dengan Kementerian Kehutanan
- Bappenas dan BPIW dialihkan ke Kementerian Keuangan
- Ditjen HAM, Imigrasi, Pemasyarakatan digabung kembali ke Kementerian Hukum.
Setiap tiga Ditjen yang berkaitan dapat dipimpin oleh satu Wakil Menteri, dengan catatan bahwa wakil menteri ini harus memiliki kekuatan dan kewenangan yang jelas. Dengan adanya wamen yang cukup kuat, kita bisa mengakomodasi kepentingan politik tanpa harus menambah struktur birokrasi yang berlebihan.
Mengapa Wakil Menteri Penting?
Ketika sebuah kementerian memiliki banyak wewenang, tanpa organisasi yang kuat, maka kekuasaan bisa berpusat hanya pada satu orang menteri. Setiap menteri pasti memiliki kecenderungan atau prioritas tertentu, dan jika tidak ada pengawasan dari dalam, maka aspek lain bisa terabaikan. Contoh nyata adalah Kementerian PUPR, di mana isu perumahan sering kali kurang mendapat perhatian dibandingkan proyek infrastruktur besar. Dengan adanya wakil menteri yang bertanggung jawab atas beberapa Ditjen, maka kebijakan bisa lebih merata dan tidak berat sebelah.
Selain itu, struktur birokrasi yang sekarang terlalu besar dan sering kali tumpang tindih. Bahkan saya dapati ada proyek perencanaan yang mirip atau bahkan sama dikerjakan oleh tiga direktorat berbeda di dua kementerian yang berbeda. Ini adalah contoh konkret dari pemborosan anggaran yang bisa dihindari dengan perampingan organisasi.
Optimalisasi Pegawai dan Efisiensi Tata Usaha
Salah satu sektor yang perlu dievaluasi adalah jumlah pegawai Tata Usaha (TU). Di banyak instansi, TU sering menjadi tempat untuk menampung pegawai yang tidak memiliki peran substantif, sementara jumlah mereka cukup besar dan menyedot anggaran yang tidak sedikit. Idealnya, jumlah pegawai tata usaha harus disesuaikan dengan rasio kebutuhan yang proporsional agar lebih efisien.
Reformasi Polri: Membagi Kewenangan untuk Menghindari Sentralisasi Berlebihan
Ada satu institusi yang justru perlu dipisah, yaitu Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Saat ini, Polri terlalu besar dan memiliki kewenangan yang luas. Reformasi yang lebih ideal adalah:
- Polantas dialihkan ke Kementerian Perhubungan
- Polair masuk ke Kementerian Kelautan dan Perikanan
- Brimob berdiri sendiri sebagai satuan khusus
- Bareskrim hanya menangani kasus berat atau lintas provinsi, sedangkan kasus-kasus ringan diserahkan ke kepolisian daerah yang berada di bawah kendali gubernur
Dengan pembagian ini, tidak ada satu institusi penegak hukum yang terlalu dominan, yang berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang.
Kesimpulan
Daripada mewajibkan pemotongan perjalanan dinas, langkah yang lebih efektif adalah merampingkan struktur organisasi birokrasi. Pengurangan jumlah Eselon II (Direktorat Jenderal), Sekretariat Jenderal, Inspektorat Jenderal, serta unit-unit seperti Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) dan Tata Usaha yang berlebihan, akan secara otomatis mengurangi frekuensi perjalanan dinas dan rapat.
Selain itu, penting untuk membimbing organisasi dalam menyusun program kerja yang efektif. Dengan perampingan menyeluruh pada organisasi kementerian/lembaga, kekhawatiran akan duplikasi dan tumpang tindih program dapat diminimalkan. Setiap program kerja seharusnya tidak hanya memiliki outcome dan output yang jelas, tetapi juga memastikan keberlanjutannya, sehingga tidak berhenti pada satu tahun anggaran atau bergantung pada pergantian pimpinan. Pimpinan seharusnya tidak melakukan perubahan program secara sembarangan.
Perampingan birokrasi merupakan langkah mendesak untuk menghindari pemborosan anggaran dan meningkatkan efisiensi pemerintahan. Dengan menggabungkan kementerian yang memiliki fungsi serupa, memperkuat peran wakil menteri, serta merampingkan direktorat yang berlebihan, Indonesia dapat memiliki birokrasi yang lebih ramping, efektif, dan efisien. Pendekatan ini memungkinkan anggaran negara digunakan secara optimal untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat.
Sebagai contoh, negara-negara maju seperti Singapura dan Korea Selatan telah menerapkan struktur birokrasi yang ramping dan efisien. Struktur yang lebih sederhana ini memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih cepat dan pelayanan publik yang lebih responsif.
Korea Selatan telah melakukan reformasi administrasi secara konsisten selama beberapa dekade terakhir. Salah satu langkah utamanya adalah menggabungkan beberapa institusi pemerintah untuk memperbaiki komunikasi dan koordinasi pelayanan publik. Efisiensi administrasi ditingkatkan melalui penerapan e-government dalam layanan publik dan perbaikan berkelanjutan. Debirokratisasi dilakukan untuk menciptakan aparatur yang profesional dan kompeten. Selain itu, desentralisasi diterapkan untuk menyederhanakan proses pengambilan keputusan dan meningkatkan kualitas keputusan sesuai dengan kebutuhan pemerintah daerah.
Dengan mencontoh praktik terbaik dari negara-negara tersebut, Indonesia dapat meningkatkan efisiensi birokrasi dan memastikan bahwa anggaran negara digunakan untuk program-program yang memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI