Ada juga contoh positif. Saya pernah melakukan perjalanan dinas bersama direktur saya, dan beliau tetap tenang meskipun tiketnya bermasalah hingga harus naik boat. Makan malam pun cukup di warung kecil tanpa keluhan. Namun, pegawai daerah tetap merasa harus memberikan layanan terbaik karena tidak semua pejabat memiliki pemikiran yang sama.
Perjalanan dinas yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan tidaklah masalah. Tetapi, ketika tujuannya bergeser menjadi sekadar formalitas, mempertahankan budaya KKN, dan memperumit birokrasi, maka manfaatnya perlu dipertanyakan. Perjalanan dinas harus sesuai dengan mandat tugas dan fungsi, bukan sekadar jalan-jalan atau menghamburkan anggaran.
Namun ini terkadang menjadi buah simalakama. Sebagai contoh, dalam kasus proyek bermasalah di salah satu provinsi di Indonesia Timur, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) seolah menyalahkan pihak pusat atas maladministrasi yang terjadi, padahal instansi pelaksana ada di daerah. Pemerintah pusat sebetulnya sudah memiliki wakil di daerah, tetapi tetap saja ada beban yang mengharuskan pegawai pusat untuk turun langsung ke lapangan. Dalam situasi seperti ini, perjalanan dinas memang perlu, tetapi harus dilakukan dengan perencanaan yang matang dan tujuan yang jelas. Disini saya menyarankan adanya efesiensi organisasi birokrasi.
Perjalanan dinas seharusnya menjadi alat pengawasan dan evaluasi program yang efektif, bukan sekadar aktivitas untuk menyerap anggaran. Jika dilakukan dengan tepat, perjalanan dinas bisa memberikan dampak positif bagi instansi dan masyarakat. Namun, jika dilakukan tanpa tujuan yang jelas, hanya akan menjadi pemborosan dan membebani pegawai di daerah.
Dana Taktis
Untuk mengakomodasi berbagai pengeluaran tak terduga dalam perjalanan dinas, banyak instansi memiliki dana taktis. Secara definisi, dana taktis adalah anggaran yang dialokasikan untuk keperluan mendesak, fleksibel, dan tidak terduga. Namun, dalam praktiknya, ada dana taktis yang tidak tercatat dalam DIPA/RKAKL, sehingga tidak dipertanggungjawabkan secara resmi kepada negara. Lalu, dari mana asal dana ini?
Selama ada celah dalam penggunaan uang negara, dana taktis bisa muncul. Contoh sumbernya antara lain belanja habis pakai seperti ATK atau fee dari vendor dan kontraktor. Ada kalanya, dana ini digunakan untuk sesuatu yang dianggap "mulia," seperti makan bersama untuk mempererat kekompakan tim, merayakan ulang tahun rekan kerja, atau acara perpisahan. Namun, karena tidak transparan, dana ini juga rawan penyimpangan.
Seharusnya, negara mengalokasikan dana yang lebih transparan untuk kebutuhan kesejahteraan pegawai, tetapi tetap dengan batasan dan parameter yang jelas. Selain itu, budaya "melayani atasan" yang berlebihan harus dihilangkan. Ketika ada tamu dari pusat, biarkan mereka membayar makan sendiri, tidak perlu diberi oleh-oleh, dan tidak perlu perlakuan istimewa. Sebab, tamu bukan hanya satu orang, dan ini adalah uang negara yang harus dikelola dengan bertanggung jawab.
Perampingan Kementerian/Lembaga
Ada banyak cara untuk meningkatkan efisiensi dalam pemerintahan, mulai dari pengurangan biaya utilitas seperti listrik, air minum, hingga perawatan taman kantor. Bahkan, anggaran untuk perayaan hari-hari tertentu bisa dikurangi. Namun, ada satu aspek yang jarang dibahas secara mendalam, yaitu efisiensi dalam organisasi Kementerian dan Lembaga (K/L).
Kabinet Gemuk dan Beban Anggaran
Presiden Prabowo telah mengusung berbagai kebijakan efisiensi, tetapi ironisnya hal tersebut tidak diterapkan dalam struktur birokrasi pemerintahannya. Kabinet saat ini tergolong sangat gemuk, yang berarti ada beban anggaran besar untuk membiayai operasional menteri, staf khusus, staf ahli, sekretariat jenderal, inspektorat jenderal, pusat data dan informasi, biro komunikasi, hingga sewa gedung bagi kementerian yang belum memiliki kantor sendiri. Belum lagi, pengembangan organisasi yang semakin kompleks, di mana satu kementerian yang sebelumnya hanya memiliki satu eselon 1 kini berkembang menjadi 4 atau 5.
Banyaknya kementerian dan lembaga berarti banyak pengeluaran tambahan, yang bisa dikurangi melalui penggabungan struktur organisasi tanpa mengorbankan efektivitasnya. Oleh karena itu, solusi yang lebih masuk akal adalah menggabungkan beberapa kementerian tetapi memperkuat peran wakil menteri (wamen).
Penggabungan Kementerian dan Pergeseran Ditjen
Berikut beberapa usulan untuk mengoptimalkan birokrasi:
- Kementerian ATR/BPN digabung dengan Kementerian Perumahan
- Ditjen Bina Marga dipindahkan ke Kementerian Perhubungan
- Ditjen Sumber Daya Air yang berkaitan dengan irigasi dan bendungan dialihkan ke Kementerian Pertanian, sedangkan yang terkait sungai dan laut ke Kementerian Lingkungan Hidup
- Direktorat Air Minum dan Direktorat Sanitasi sebaiknya diletakkan di Kementerian Lingkungan Hidup
- Kementerian Lingkungan Hidup digabung dengan Kementerian Kehutanan
- Bappenas dan BPIW dialihkan ke Kementerian Keuangan
- Ditjen HAM, Imigrasi, Pemasyarakatan digabung kembali ke Kementerian Hukum.