Aku melihat ke sekeliling. Sungguh sebuah tempat yang berbeda dari yang kukenal dulu. Lebih dari sepuluh petak sawah yang telah berubah menjadi lahan yang landai. Di atas lahan ini, kini dibangun beberapa saung kecil semacam gazebo yang terbuat dari bambu berukuran 3 x 3 meter sebagai tempat istirahat para pengunjung, lengkap dengan toilet untuk laki-laki dan perempuan. Tidak ada sampah.
Bougenville, Walisongo, dan bunga-bunga yang ditanam dalam pot yang berjajar di sepanjang sisi tempat ini menambah suasana makin asri. Sebagian lahan kosongnya ditanami rumput Jepang yang rutin disiangi dan sisanya menjadi tempat parkir kendaraan. Di bawahnya masih kulihat sungai dengan air yang juga masih tampak jernih.
Tampak pula tebing yang jauh lebih bersih dan rapi. Tak ada lagi batu-batuan berlumut dan ilalang yang menjulang tinggi. Bahkan kini ada tangga beton yang sangat kukuh yang menghubungkan sungai dengan lahan landai di atasnya itu. Menjadikan tempat ini lebih nyaman untuk dikunjungi.
Kalau pun ada yang tidak berubah dari tempat ini, satu saja. Batu besar itu. Kami menyebutnya Si Nambo. Entah artinya. Tidak ada satu pun orang di kampung yang tahu persis dan bisa menjelaskan apa arti Si Nambo. Keterangan yang agak kuat didapat dari kakekku. Katanya Nambo itu nama setan. Setan Nambo, katanya. Tapi karena keterangan itu tidak populer, kepercayaan tentang Si Setan Nambo terkikis seiring waktu.
Si Nambo tetaplah sebuah batu besar. Batu itu berada di tengah sungai. Saking besarnya, ketika air sungai meluap pun, Si Nambo tak pernah tenggelam. Ia selalu bertengger gagah menantang arus sungai. Tingginya yang lebih dari dua meter seakan menunjukkan bahwa ia adalah penguasa di sungai itu. Bagian atasnya yang pipih dengan diameter kurang lebih 1,5 meter, yang kami sebut punggung Si Nambo, membuat Si Nambo menjadi tempat yang mengasyikkan untuk bercengkerama.
Kami akan menaiki punggung Si Nambo dengan melompati batu-batu kecil yang ada di sekitar Si Nambo dan sekuat tenaga, layaknya pemanjat tebing tanpa peralatan, kami mencoba menaklukkan punggung Si Nambo. Meski harus berpeluh, tapi kami selalu merasa bangga bisa menaiki Si Nambo. Si Nambo inilah sebagian kenangan dari masa kecilku. Aku menarik napas. Teringat masa-masa yang pernah kulewati hampir lima tahun silam.
***
Bersama beberapa orang teman, aku rutin mengunjungi Si Nambo setiap pulang sekolah. Tak peduli dengan perut yang keroncongan, terik matahari yang seolah membakar kulit kami, omelan ibu-ibu kami yang memekakkan telinga, ataupun tugas sekolah yang harus dipersiapkan esok harinya. Kami tetap mengunjungi Si Nambo. Tidak banyak yang kami lakukan. Terkadang hanya duduk-duduk dan menghabiskan waktu sepuluh menit sampai setengah jam. Itu sudah membuat kami puas. Kami pun lantas pulang.
Jika satu hari saja kami tidak mengunjungi Si Nambo, rasanya ada yang kurang. Si Nambo menyihir kami untuk selalu rindu dengannya. Aneh dan lucu memang. Merindukan sebuah batu. Tapi itulah juga yang aku rasakan. Memandang geliat sungai mengalir yang ditingkahi hilir mudik ikan-ikan kecil dari punggung Si Nambo membuatku merasakan kedamaian.
Dan jika tiba di hari Minggu, kami akan berada di sungai seharian. Berangkat pagi sekali dan pulang menjelang magrib. Biasanya kami akan membawa peralatan dan bahan makanan untuk ngaliwet. Selesai memasak di pinggir sungai, kami menyiapkan daun pisang untuk alas nasi liwet kami.
Di atas punggung Si Nambo, kami akan menyantap nasi liwet hasil memasak kami bersama ikan asin, tempe goreng, lalapan, dan sambil terasi. Sesudahnya, kami akan melompat ke sungai, mandi, saling berkejaran di antara derasnya air sungai, bersorak kegirangan dengan saling mencipratkan air ke wajah.
Setelah lelah, kami naik kembali ke atas punggung Si Nambo, mengeringkan baju basah kami yang melekat di badan sambil saling bercerita atau bermain tebak-tebakan. Rasanya tidak ada satu hal pun yang bisa menggantikan rasa senang kami bisa bergembira di sepanjang waktu bersama Si Nambo di antara deru air sungai yang terus mengalir. Sampai suatu peristiwa merenggut kebahagiaan itu.
Samsul. Dia adalah biang kerok yang merusak kebahagiaan kami. Pemuda yang berusia 20 tahun anak bungsu dari Pangiwa Sumardi yang katanya seorang mahasiswa itu, tiba-tiba saja kesurupan. Tak tanggung-tanggung kesurupannya pun menjadi peristiwa rutin di setiap malam Jumat pada saat pengajian bapak-bapak di mushola berlangsung.
Samsul menjerit-jerit tak keruan dengan mata melotot. Ia meronta-ronta seperti ingin berlari. Keringat dingin membanjiri tubuhnya. Orang-orang pun segera datang ke rumahnya. Mereka mencoba membantu memulihkan kesadaran Samsul. Ada yang memegangi kedua tangan dan kakinya. Ada juga yang membacakan ayat-ayat suci dan mantra-mantra untuk menyadarkannya. Ada juga yang hanya sekadar menonton.
Satu dua kali Samsul kesurupan, reaksi orang-orang biasa saja. Samsul kesambet almarhum kakek buyutnya, katanya. Ketiga kali Samsul kesurupan, orang-orang mulai berdesas-desus, menduga-duga mengapa Samsul kesurupan lagi. Kali ini katanya dia kemasukan jurig di sungai, karena sore harinya Samsul sempat nguseup belut di sawah-sawah pinggir sungai. Setelah siuman Samsul bercerita bahwa ia dibawa oleh seorang raksasa hitam yang bertanduk dan bergigi taring yang selalu menyeringai dan membawanya ke sebuah tempat.
Di tempat yang seperti gua itu, kedua tangan dan kaki Samsul diikat dengan tali, mulutnya dibekap, dan ia disuruh menyampaikan pesan kepada orang-orang di kampungnya agar tidak mengganggu rumah sang raksasa. Sontak orang-orang bertanya di mana rumah raksasa itu. Secara mengejutkan, Samsul menjawab bahwa rumah raksasa itu adalah batu besar Si Nambo. Aku dan teman-temanku yang mendengar kabar itu hanya saling diam. Kami saling menatap tak percaya.
Otakku mencoba menyangkal semuanya. Tidak mungkin, pikirku. Selama ini Si Nambo baik-baik saja. Tidak pernah memperlihatkan keadaan yang mengerikan. Kami pun tak pernah memiliki niat jahat kepadanya. Tidak ada yang berniat mengganggu dan diganggu. Kami hanya bermain dan bercengkerama.
Tapi rupanya desas-desus Si Nambo sebagai rumah sang raksasa makin kuat. Pada saat Samsul mengalami kesurupan untuk yang keempat kalinya, kelima kalinya, dan seterusnya, ia menunjukkan amarah yang hebat. Matanya merah dan tajam menatap orang-orang yang mengelilinginya. Dalam ketidaksadarannya itu, Samsul memaki-maki bapaknya agar segera bertindak supaya tidak ada lagi orang-orang yang mengganggu rumah sang raksasa.
Sebagai seorang tokoh kampung dan mantan kepala desa yang masih sangat berpengaruh, harusnya Pangiwa Sumardi secepatnya melarang orang-orang untuk menjauhi batu Si Nambo. Pada kesurupannya yang terakhir, Samsul bahkan menunjuk-nunjuk bapaknya dan mengancam akan membunuh siapa saja yang masih berani mengganggu rumah sang raksasa.
Aku dan teman-temanku hanya bisa menarik napas ketika mendengarkan cerita kesurupan Samsul itu. Sampai akhirnya dalam sebuah kesempatan, aku dan teman-temanku yang biasa bermain di batu Si Nambo memutuskan untuk sementara waktu tidak ke sana dulu.
Desas-desus Si Nambo masih menjadi perbincangan hangat di kampungku, ketika bapakku memanggilku di suatu malam, seminggu menjelang ujian nasional.
"Anwar, Bapak mau menyampaikan sesuatu." Bapak memulai pembicaraan. Di tangannya sebatang rokok yang hampir habis terbakar mengepulkan asap. Aku duduk tertunduk. Jari-jariku menuliskan huruf-huruf tidak jelas di tikar alas tempat duduk kami. Ada cemas yang menyelinap.
"Bapak sudah memutuskan kamu ikut pamanmu setelah lulus SD nanti." Suara Bapak terdengar agak tertahan. Aku mengangkat kepalaku. Belum juga sempat kubuka mulutku untuk menanyakan alasannya, Bapak sudah lebih dulu menjelaskan.
"Bapak tidak punya uang untuk ongkos sekolahmu di sini. Tiga adikmu yang masih kecil juga cukup merepotkan."
"Tapi..." selaku.
"Pamanmu siap membiayaimu. Kebetulan ia juga butuh orang untuk membantunya menjaga toko kelontongannya. Kamu bisa bantu pamanmu setelah pulang sekolah sementara pamanmu beristirahat sebentar." Suara Bapak lebih tegas. Ini artinya sudah tidak boleh membantah.
"Setelah kelulusan nanti, kamu akan dijemput pamanmu." Bapak melanjutkan. Aku masih diam.
"Kamu jangan khawatir. Di sana jauh lebih ramai. SMP di sana juga jauh lebih bagus daripada di sini. Kamu akan banyak teman baru. Bapak yakin kamu akan betah. Apalagi paman dan bibimu tidak punya anak. Mereka akan merasa senang jika kamu mau menemani mereka." Bapak mengelus-elus pundakku. Tidak ada yang harus kusampaikan lagi. Keputusan sudah dibuat. Aku hanya mengangguk dan kembali ke kamar.
Malam jelang keberangkatanku ke tempat pamanku, aku menemukan jawaban dari rahasia besar itu. Rahasia kesurupan Samsul dan desas-desus raksasa penghuni Si Nambo. Aku tidak bisa tidur. Pikiranku resah karena harus berpisah dengan teman-temanku. Hati kecilku sebenarnya menolak keputusan Bapak. Tapi aku tidak berdaya apa-apa selain menurutinya.
Aku mencoba menenangkan hati dan pikiranku dengan pergi berjalan-jalan ke luar rumah. Tiba-tiba saja aku mendengar seperti ada suara-suara yang tengah berbicara di pos ronda. Aku mengendap-endap, mencari tahu siapa yang ada di sana. Ternyata Pangiwa Sumardi sedang berbincang dengan Pak Muktar yang dikenal sebagai pengusaha kayu di kampungku.
"Berhasil juga, Pak." Kata Pangiwa Sumardi.
"Syukurlah. Si Samsul itu ternyata jago akting juga ya." Kata Pak Muktar sambil terkekeh yang disambut Pangiwa Sumardi dengan tertawa lebar. Aku melebarkan daun telingaku.
"Tak apa, Pak. Hanya cara itu yang bisa efektif meyakinkan masyarakat agar menjauh sementara dari lokasi rencana proyek kita. Apalagi banyak anak SD yang suka bermain di sana. Biarkan mereka lupa sejenak dengan tempat bermain itu. Kalau kata orang kota sih, biar lebih mudah mengeksekusinya. Semua itu kan untuk kepentingan masyarakat juga. Nanti masyarakat sendiri yang akan merasakan manfaatnya."
"Betul, Pangiwa. Menurut yang sudah-sudah, daerah yang memiliki tempat wisata itu pasti maju. Sudah saatnya kampung kita juga maju. Sungai Ciberang itu luar biasa potensinya untuk bisa dikembangkan menjadi tempat arung jeram."
"Setuju, Pak. Kira-kira kapan proyek arung jeram itu dimulai? Kemarin kan sudah ada orang dari provinsi yang menyurvei."
"Dalam waktu dekat katanya." jawab Pak Muktar sambil menghirup kopinya.
Percakapan masih terus berlanjut. Tapi aku sudah tak menghiraukannya. Aku sudah tahu kesimpulannya. Jadi, kesurupan dan desas-desus Si Nambo itu hanya cerita yang dibuat-buat agar sungai itu bisa dibuat tempat wisata arung jeram? Aku tidak tahu bagaimana mengungkapkan kekesalanku ini. Mengapa harus bersandiwara? Apa karena mereka takut ditentang masyarakat yang masih awam dan berpikiran kolot? Mereka memang terlalu.
Mereka telah menghancurkan hari-hari kami yang penuh kegembiraan bersama Si Nambo dengan sandiwara murahan itu. Ingin rasanya aku segera memberi tahu teman-temanku. Sayangnya, tak ada waktu lagi. Besok pagi-pagi sekali aku harus segera berangkat bersama pamanku. Hingga akhirnya aku meninggalkan kampungku dan tidak pernah tahu apakah rahasia itu sudah terkuak atau belum.
***
Aku melihat sekali lagi ke sekelilingku. Segalanya sudah berubah setelah hampir lima tahun aku tidak pulang. Aku hanya berdiri. Membiarkan semua gelegak rasa kerinduanku menyatu bersama tempat ini. Entah dengan cara apa aku bisa mengungkapkannya. Terlalu kecewa, pun terlalu rindu. Kecewa dengan cara yang dilakukan untuk semua ini.
Mengapa harus dengan cara naif itu. Tak adakah cara yang lebih bijak dan mendidik? Apalagi untuk hal yang prospektif seperti ini. Aku kembali menatap plang baliho besar itu yang bertuliskan "Selamat Datang di Objek Wisata Arung Jeram Sungai Ciberang". Aku mendesah. Barangkali hanya Si Nambo yang mengerti arti rindu ini.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H